Hima Sakina Firdahusy
Apa yang kamu pikirkan ketika kamu mendengar kata filsafat? Tentu, masing-masing pribadi mempunyai pemahaman yang berebeda-beda. Tidak ada yang salah dalam pendapat-pendapat tersebut, namun bisa menjadi masalah yang besar jika kita mengelakkan hal tersebut.
Laksana kabut di pagi hari, setidaknya kalimat tersebut mampu menunjukkan betapa samar dan tidak jelasnya makna sebuah kata filsafat di benak kita. Namun harus kita sadari bahwa filsafat juga merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Filsafat yang dimaksud dalam penulisan ini adalah filsafat yang menumbuhkan cinta dalam diri seseorang untuk melestarikan lingkungannya.
Permasalahan lingkungan memang sedemikian pelik. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menjelaskan bahwa akibat pemanasan global telah terjadi kenaikan suhu minimum dan maksimum bumi antara 0,5-1,50 Celcius.1 Selanjutnya, hasil penelitian Spiritual Science Research Foundation (SSRF) menunjukkan bahwa ada dua alasan yang menjadi penyebab bencana alam, yaitu disebabkan oleh 30% alasan dasar (hukum alam) dan 70% alasan bahwa bencana terjadi karena sebuah respon terhadap perilaku manusia yang menjadi faktor penyebab utama terjadinya penyebab dasar.2 Berdasarkan penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa manusia adalah penentu nasib masa depan bumi.
Mungkin kita akan mendapat jawaban dari pertanyaan tersebut dengan berfilsafat. Plato mengibaratkan orang yang berfilsafat seperti orang yang keluar dari gelapnya gua gelap gulita tanpa penerangan melihat terangnya cahaya pencerahan.3 Maksudnya, dengan berfilsafat orang akan diterangi cahaya kebijaksanaan sehingga mampu membeda-bedakan segala sesuatu secara benar. o
Sedangkan tanpa berfilsafat, orang hanya akan hidup dalam kegelapan ketidaktahuan yang menyesatkan. Filsafat berakar kata philos dan sophia yang berarti gandrung akan kebenaran.4 Ciri dari kegandrungan adalah adanya upaya seseorang untuk mengejar sesuatu yang menjadi kecintaannya. Demikian pula bagi orang yang gandrung akan kebenaran, dia akan mencari kebenaran itu sampai kapanpun dan dimanapun kebenaran itu berada.
Tolok ukur keberhasilan manusia dalam mencintai lingkungan yang ditindak lanjuti dengan pelestarian lingkungan tidak dapat diukur dari seberapa besar keberhasilan metode penyelamatan bumi saat ini. Tolok ukur tersebut akan lebih tepat jika diukur dalam proporsi yang tepat yaitu sesuai dengan porsi subyek yang melakukannya. Mungkin bagi lembaga, gerakan, maupun instansi-instansi besar dapat melakukan upaya yang terlihat seperti penanaman hutan mangrove, penanaman 1000 pohon, kerja bakti massal, dan sebagainya. Lantas bagaimana dengan kita sebagai manusia biasa?
Perlu digarisbawahi bahwa sesuatu yang sederhana bisa berdampak besar bagi suatu hal. Sering kali kita melupakan hal yang sederhana dan berpikir muluk-muluk tentang hal yang besar, padahal sesuatu yang sederhana jika terumuskan dengan kokoh dalam hati dan pikiran seseorang dapat menghujam ataupun memunculkan terobosan-terobosan yang luar biasa.
Setelah melalui proses berfilsafat dan penelaahan yang matang, maka tidak diragukan lagi kebenarannya. Manusia dapat menyelamatkan lingkungannya mulai dari hal sederhana yaitu dengan menerapkan green lifestyle yang meliputi kebiasaan jalan kaki dan bersepeda, membuang sampah pada tempatnya, menghemat pemakaian energi, merawat kebersihan dan keindahan lingkungan sekitar, dan lain-lain dalam kehidupannya.
Hukum alam, sebab akibat, dan kearifan lokal masyarakat akan membantu untuk hidup harmonis dengan alam. Intinya, filosofi yang dipakai oleh nenek moyang untuk selaras dengan alam, masih sangat diperlukan dan lebih dari pantas dipertahankan di tengah-tengah modernisasi dan globalisasi. []