Bagi warga Indonesia di Australia, menonton debat capres dilakukan dengan live streaming. Di Melbourne, waktu penayangan debat capres hampir menjelang pergantian hari, tetapi tidak jadi kendala. Mereka antusias untuk tetap menonton.
Sekelompok pemuda menggelar nonton bareng, atau nobar, yang digelar pada hari Minggu (22/6/2014) malam di kawasan Docklands, Melbourne.
Miranda Anwar, mahasiswi di perguruan tinggi William Anglis, menjadi tuan rumah nonton bareng yang ia gelar di apartemen-nya.
Sepekan sebelumnya, Miranda memposting ajakan untuk menonton bareng debat capres di rumahnya di akun Facebook-nya.
Lima teman yang ia kenal lewat organisasi kepemudaan Australia Indonesia Youth Association (AIYA) pun meresponnya.
Menonton bareng ini memang tidak mudah untuk diadakan di Melbourne, karena dimulai hampir tengah malam.
“Menonton bareng ini menjadi penting bagi kami, karena bisa langsung mendengar sikap para capres. Dengan menonton bareng kita juga bisa berdialog dan bertukar pikiran,” ujar Miranda.
Marcus Tantau, mahasiswa ilmu politik di Monash University yang sudah sering ke Indonesia untuk berlibur dan magang. mengatakan kalau menonton debat presiden ini sangat penting baginya.
- Advertisement -
“Pertama karena Indonesia adalah tetangga terdekat Australia dan hubungan diantara kedua negara jadi fokus utama pemerintah Australia. Kedua karena malam ini khusus membahas kebijakan luar negeri kedua kandidat,” ujar Marcus.
Dalam debat calon presiden hari Minggu kemarin, Joko Widodo (Jokowi) menanyakan soal apa pendapat Prabowo Subianto soal hubungan Indonesia dengan Australia.
Prabowo mengatakan kebijakannya nanti adalah ingin tetap bersahabat dengan Australia, meski mungkin Australia memiliki ketakutan atau phobia dengan posisi Indonesia. Menurutnya hal tersebut perlu diatasi dengan memumpuk rasa saling percaya, atau trust.
Jokowi yang tampil menggunakan batik malam itu menegaskan pentingnya diplomasi budaya dan pendidikan di antara kedua negara.
“Tapi sebenarnya jika melihat jawaban soal penanganan masalah perdagangan manusia (human trafficking) atau soal ketegangan di Laut Cina Selatan, keduanya masih memberikan jawaban yang terlalu umum,” ujar Ghaisany Sjah, mahasiswa ilmu politik dan hubungan internasional dari University of Melbourne.
“Beberapa jawaban juga terdengar seperti sudah pernah diungkapkan sebelumnya, jadi tidak ada yang baru.” ujar Ghaisany Sjah lagi.[]