Kain tenun ikat dari pulau-pulau bagian timur Indonesia mungkin belum sepopuler batik ataupun kain khas Bali di mancanegara. Tapi jumlah koleksi kain tenun tradisional kawasan timur Indonesia di seputar Kota Melbourne, Australia, ternyata cukup untuk menyelenggarakan acara pameran dan peragaan busana.
Di sebuah taman seni budaya bernama Gasworks di kawasan Albert Park, yang terletak sekitar satu jam dari pusat Kota Melbourne, tergantung sejumlah kain tenun ikat Pulau Sumba, Kepulauan Savu, Flores dan Timor Barat.
Kain-kain tersebut dipajang di dinding putih dalam salah satu ruang pameran taman tersebut , di bawah pencahayaan yang cukup kuat, hingga warna dan motifnya terlihat jelas.
Selain kain-kain tenunan tersebut, dipajang juga perhiasan, bahkan sebuah aksen interior rumah tradisional Lio, Flores, yang berukuran cukup besar.
Pameran tekstil yang berjudul ‘Weaving an Identity: Wearable Art from South East Indonesia’ diselenggarakan olehMuseum of Indonesian Arts Inc, dan akan berlangsung hingga tanggal 29 Juni 2014.
Saat pembukaannya, pengunjung tak hanya bisa melihat kain tenun ikat tradisional Indonesia dipajang, melainkan juga dikenakan sebagai busana kontemporer, melalui sebuah peragaan busana.
Museum of Indonesian Arts (MIA) bukanlah sebuah gedung di mana pengunjung bisa melihat berbagai artefak sejarah, melainkan jaringan individu-individu di Australia, baik orang Australia maupun Indonesia, yang ingin lebih memperkenalkan seni budaya Indonesia ke Australia.
Kain-kain yang dipamerkan dalam acara kali ini pun kebanyakan merupakan koleksi pribadi beberapa anggota MIA.
Menurut Nani Pollard dari Asia Institute, University of Melbourne, tidak sulit mencari kain-kain untuk dipamerkan.
“Pameran ini diadakan karena Ibu Irma [Wisnandar], istri konsulat jenderal [Indonesia] untuk wilayah Victoria dan Tasmania meninggalkan Australia dan ia siap menitipkan beberapa kainnya dari Nusa Tenggara Timur pada kami, untuk dipamerkan…” jelasnya dalam perbincangan dengan Dina Indrasafitri dari ABC.
Kurator pameran ini, Marguerite Heppel, mengaku bahwa ia harus menyeleksi kain-kain yang akan dipamerkan, karena ternyata jumlah yang ditemukan dari koleksi-koleksi pribadi cukup banyak.
Salah satu kriteria untuk dipamerkan adalah kualitas tenunan yang baik dan rapat.
“Secara tradisional, desainnya harus amatlah bagus. Harus benar-benar teliti,” jelas Heppel.
Kebanyakan kolektor yang dikenal oleh penyelenggara pameran adalah akademisi atau ilmuwan yang menghabiskan banyak waktu di Indonesia, ceritanya.
Menemukan Kain Ikat di Toko Barang Bekas
Menemukan kain tradisional yang bagus di tempat asalnya, misalnya di Flores, mungkin sudah lazim. Namun, sehelai kain hasil tenunan khas Indonesia bisa pula ditemukan di tempat yang tak terduga. Contohnya, di toko pakaian bekas.
Hugh O’ Neill, yang terkenal ahli dalam bidang arsitektur, terutama arsitektur Asia, bercerita bahwa Ia sempat menghabiskan beberapa tahun di Indonesia.
Namun, salah satu kain koleksinya yang dipamerkan dalam ‘Weaving the Identity’ justru Ia temukan di toko barang bekas di Australia
“25 dollar (Rp 279.000) [harganya],” ceritanya sambil tersenyum.
Di rumah O’Neill, kain berwarna cerah itu ia taruh di atas piano, karena ia ingat bahwa semasa kecilnya ada tetangganya yang juga melakukan itu.
“Waktu saya masih kecil pada tahun 30an di Melbourne, Kew, ada tetangga saya yang punya grand piano, dan di atasnya ada kain ikat,” tuturnya.
Kurangnya Minat Anak Muda
Pembukaan pameran hari Sabtu (14 Juni 2014) kebanyakan dihadiri oleh mereka yang tampak sudah berusia lanjut.
Kurator pameran Marguerite Heppel pun menyayangkan kurangnya minat anak muda terhadap tekstil tradisional Indonesia.
Ia bercerita telah berusaha mempromosikan pameran ini ke sekolah-sekolah, Dewan Kesenian Victoria, dan juga para penggemar tenun, namun menurutnya sulit mengajak warga Melbourne untuk meninggalkan kesibukan mereka untuk mengunjungi pameran, kecuali memang kenal secara pribadi.
“Lucunya, bila ini bisa disebut lucu, anak muda amat tertarik pada hal-hal yang diciptakan secara alami. Karena mereka dibesarkan dikelilingi teknologi, dan saya rasa anak muda senang dengan hal-hal yang diciptakan dengan menggunakan bahan alami,” ucap Heppel.
Ia mengiyakan bahwa beberapa jenis tenun ikat adalah contoh kain yang pembuatannya cenderung lebih alami, tanpa bahan kimia.
Namun, kolektor dan ketua MIA Halina Nowicka menyatakan bahwa, di lain pihak, di Indonesia mulai banyak anak muda yang tertarik dan mengkoleksi tenunan khas Indonesia.
“Saya tahu beberapa orang yang memiliki kain-kain, misalnya dari batak, jadi dia dapat banyak kain-kain dari batak, kemudian Ia perlihatkan ke teman-temannya yang upper middle class, dibeli kemudian dijahit oleh mereka, kemudian dipromosikan,” tuturnya.
Beberapa karya busana dari tenunan khas Indonesia yang diperagakan saat pembukaan bisa saja menjadi bentuk kontemporer untuk mempromosikan kain tersebut.
Tetapi menurut Halina hingga kini masih sulit untuk mendapatkan busana siap pakai dari kain tenun kepulauan Timur Indonesia di Australia.[]