Mega Dwi Anggraeni

PRIGEN – KabarKampus – Populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis) semakin terancam. Selain faktor perburuan dan menyempitnya habitat, kini satwa yang statusnya dinyatakan terancam punah itu harus menghadapi serangan elephant endotheliotropic herpes viruses (EEHV).
Sejak November 2014 lalu hingga awal Februari 2015, sebanyak enam anak ekor gajah ditemukan mati di Pusat Konservasi Gajah Taman Nasional Way Kambas (PKG TNWK) Lampung Timur. Kuat dugaan, keenamnya mati akibat serangan EEHV.
EEHV sudah ditemukan sejak tahun 70-an. Mereka menyerang gajah afrika (Loxodonta africana) dewasa. Virus tersebut memang tidak menyebabkan kematian. Namun, tumbuh bintil menyerupai bisul pada bagian kepala dan belalai.
Tahun 2009, virus serupa kembali ditemukan. Kali ini, mereka menyerang gajah asia (Elephas maximus) yang ada di Amerika. Hasil penelitian menyatakan, EEHV memiliki enam tipe. Tipe dua hingga enam yang menyerang gajah pada tahun 70-an dan 2009 dinyatakan bukan virus mematikan. Berbeda dengan EEHV tipe satu.
Doktor hewan Taman Safari Indonesia (TSI) 2 Prigen, Jawa Timur, Nanang Tejolaksono memaparkan EEHV tipe 1A dan 1B menyerang pembuluh darah dan memicu detak jantung hingga menimbulkan kematian. Salah satu ciri gajah yang terkena virus tipe ini adalah, luka-luka seperti sariawan pada bagian mulut serta mata berwarna ungu kebiruan akibat penurunan hemoglobin. Saat dibedah, organ dalam mengalami pendarahan.
“Penyebaran virus sangat cepat, biasanya melalui air liur,” katanya kepada wartawan saat Orientasi Wartawan Konservasi (OWA-K) Forum Konservasi Satwa Liar Indonesia (FOKSI), Sabtu (7/2/2015).
Biasanya, lanjut dia, virus akan menyerang gajah usia satu hingga empat tahun yang daya tahan tubuhnya masih belum maksimal. Terlebih gajah-gajah muda yang masih bergantung pada air susu itu kerap menyusu pada gajah betina selain induknya.
Meski begitu, Nanang belum mendapat kepastian apakah tipe tersebut yang menyebabkan kematian enam gajah muda di Way Kambas. Sampai saat ini, dirinya masih menunggu sample darah yang sudah dikirimkan ke Intitut Pertanian Bogor (IPB) untuk diteliti.
Untuk mencegah menyebarnya virus ke gajah lain, maka dibutuhkan screening atau pemeriksaan terhadap gajah-gajah yang ada di Way Kambas. Menurut Nanang, yang paling utama adalah tidak memisahkan gajah kecil dengan induknya dan tidak membiarkan mereka pergi ke hutan. Hal tersebut juga akan dilakukan di TSI sebagai lembaga konservasi.
“Famciclovir sebenarnya bisa digunakan untuk menyembuhkan gajah yang terserang EEHV. Obat ini bisa langsung menyerang virus,” katanya.
Koordinator Utama FOKSI, Tony Sumampau, mengatakan jika penyebaran virus tidak segera ditangani, maka dikhawatirkan EEHV akan menyerang gajah lain yang masih hidup di pusat konservasi maupun di dalam hutan.
“Pengobatan ini akan membutuhkan dana yang luar biasa besar,” ujarnya.
Sebagai gambaran, saat ini terdapat 482 ekor gajah tersebar di 51 institusi di Indonesia. Angka tersebut tidak termasuk gajah liar yang jumlahnya belum bisa dipastikan hingga saat ini. Untuk melakukan pemeriksaan, paling tidak dibutuhkan dana sebesar 700 ribu rupiah per ekor.