More

    Metode Perbandingan Hukum, Bisa Menjadi Acuan Masalah “Gereja Yasmin”

    Sejumlah perguruan tinggi rancang pembentukan Assotiation of comparative law. Foto. Fauzan
    Susi Dwi Harijanti, dosen Unpad (paling kiri), Topo Santoso, Dekan FH UI, dan Farida Pattitinggi, Dekan FH Unhas. Foto. Fauzan

    DEPOK, KabarKampus – Sejumlah Dekan dan Dosen Fakultas Hukum dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia merancang Asosiasi Perbandingan Hukum Indonesia. Asosiasi ini dirancang diantaranya untuk mengevaluasi hukum nasional, mereformasi dan membentuk instrumen hukum yang lebih ideal serta membantu dalam berbagai hal-hal yang lebih praktis.

    Salah satunya adalah bisa menjadi acuan dalam melihat sejumlah kasus Freedom of Religion di Indonesia. Diantaranya adalah kasus rumah ibadah Gereja Yasmin.

    Menurut Susi Dwi Harijanti, Dosen Perbandingan Hukum Universitas Padjajaran (Unpad), persoalan Gereja Yasmin adalah mereka  tidak bisa mendirikan rumah ibadah dan sebagainya. Dalam konteks ini, ketika menyoroti masalah tersebut, bisa melihatnya dengan membandingkan dengan negara lain.

    - Advertisement -

    “Untuk di Indonesia mendirikan rumah ibadah ada aturanya dan itu masuk ke dalam aturan hukum administrasi.  Dengan demikian orang harus tunduk pada aturan itu,” kata Susi saat ditemui usai pertemuan pembentukan Asosiasi Perbandingan Hukum Indonesia di Depok, Senin, (13/04/2015).

    Menurut peraih gelar Doktor Hukum dari Melborne ini, kalau mereka tidak memenuhi persyaratan administrasi atau tidak mendapatkan tanda tangan dari masyarakat, mereka tidak bisa membangun rumah ibadah. “Tapi jangan berkelit di balik Freedom of Religion, gara-gara tidak bisa mendirikan rumah ibadah,” kata Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat Fakultas Hukum Unpad ini.

    Susi menjelaskan, bila mengacu pada perbandingan hukum kasus serupa ketika sekumpulan orang muslim di Australia ingin mendirikan masjid, kemudian mereka pergi ke pemerintah setempat.“Pemerintah setempat mengatakan, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Anda tinggal minta izin dari penduduk sekitar, karena ini persoalan administratif,” tutur Susi.

    Artinya, jelas Susi, secara hukum administratif negara menyerahkannya kepada masyarakat. Selanjutnya, apakah masyarakat ingin memberikan izin atau tidak, itu terserah masyarakat.

    “Nah ketika itu dikembalikan di Indonesia,  mereka harus tahu kalau persoalan rumah ibadah adalah permasalah administrasi,” kata Susi.

    Kemudian Susi mengungkapkan, pertanyaan teroitis ketika mendirikan rumah ibadah adalah sebenarnya yang asasi itu beribadah menurut agama dan kepercayaannya  atau mendirikan rumah ibadah? Sementara orang bisa tetap beribadah tanpa membangun rumah ibadah.

    Jadi, kata susi ketika membahas isu yang sangat sensistif bagi indonesia seperti ini, bisa mengunakan metode perbandingan hukum. Namun metode tersebut digunakan dengan sangat hati-hati dan tidak mengambil kesimpulan yang tidak didasarkan pada kreteria perbandingan secara akademik dan ilmiah.[]

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here