More

    Menggali Semangat 17 Tahun Peristiwa Mei ’98

    Penulis: Fedian (Sekjend FMN UI/Mahasiswa 2013 Kriminologi UI)

    Aksi mahasiswa menolak UU Dikti di depan gedung MK, Dok, FMN
    Ilustrasi / FMN

    Selama 32 tahun rezim fasis Soeharto berkuasa, telah menyisahkan berbagai sejarah panjang rakyat atas perjuangan meraih kebebasan demokrasi menuju masyarakat yang partisipasif, mandiri dan berdaulat. Pengambilalihan kekuasaan melalui pembantaian hampir 3 juta rakyat di masa 1965-1968, menjadi catatan buruk perkembangan demokrasi pasca kemerdekaan Agustus 1945 di Indonesia.

    Cita-cita rakyat Indonesia untuk mengisi kemerdekaan melalui penegakan demokrasi dan HAM , harus pupus dengan upaya pembungkaman, penculikan, pembunuhan dan pengebirian,  hak-hak rakyat selama 32 tahun yang sangat bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.  Tindakan fasisme yang dijalankan Soeharto selama 32 tahun, menjadi konsekuensi atas kepemimpinan Soeharto yang menjadi Kaki tangan atau rejim boneka bagi imperialisme khususnya AS, terbukti setelah Soeharto mengambil alih pucuk pimpinan pada tahun 1967, Soeharto mengeluarkan berbagai kebijakan yang anti rakyat dan pro imperialisme seperti; UU PMA No. 1 Tahun 1967,  UU Pertambangan No. 11 Tahun 1967, UU kehutanan No. 5 Tahun 1967, UU PMDN No.6 Tahun 1968, serta regulasi lain yang merampas hak kebebasan sipil rakyat Indonesia seperti penyensoran pers di Indonesia, NKK/BKK hingga pelarangan pembentukan organisasi yang mandiri, independen kecuali organisasi yang dibentuk Orba seperti Golkar, SPSI, FKPPI, PWI.

    - Advertisement -

    Di bawah tirani rezim fasis Soeharto usaha-usaha penghisapan dan penindasan rakyat semakin masif dan meluas di seluruh wilayah NKRI.  Penggusuran tanah, politik upah murah, peristiwa Talangsari, Kedung Ombo,  Petrus, serta korupsi yang merajalela, menjadi tontonan yang membuat rakyat semakin menderita. Puncak keruntuhan kekuasaan  Rezim fasis Soeharto terjadi pada tahun 1997 yang ditandai dengan badai krisis yang diikuti inflasi hingga 400%, melemahnya Rupiah terhadap Dollar AS  dari Rp. 2.480 menjadi Rp.16.800 PHK massal, pengangguran, kenaikan harga kebutuhan pokok, dan terjadinya huru-hara dimana-mana. Kondisi demikian adalah akibat dari kegagalan 32 tahun pembangunan nasional Soeharto yang menyandarkan pada Utang luar Negeri dan investasi asing terutama dari imperialisme AS, baik melalui perusahaan trans-nasionalnya maupun lembaga-lembaga internasionalnya (IMF, Word Bank, ADB, IGGI).

    Salah-satu puncak dari kemarahan rakyat Indonesia dikenal dengan Gerakan Reformasi Mei 1998. Seluruh rakyat khususnya mahasiswa-mahasiswa turun ke jalan membawa tuntutan yang sama yakni adili Soeharto, Hapuskan Dwi fungsi ABRI, Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN, tegakkan Supremasi hukum, dan laksanakan amandemen UUD 1945. Perjuangan mahasiswa dan rakyat yang meluas dan masif  dari kota ke kota, telah membakar kebencian rakyat selama 32 tahun di bawah rezim fasis dan anti demokrasi Soeharto yang membuat sangat rakyat menderita. Akan tetapi, peristiwa momentum besar menjatuhkan Rezim Soeharto telah mengorbankan pejuang-pejuang reformasi yang diculik dan dibunuh oleh Soeharto.

    Kerusuhan Mei 1998 adalah provokasi dan tindakan refresif rejim Soharto menyikapi gelombang massa aksi khusus dari golongan mahasiswa yng menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Tindakan  penculikan dan pembunuhan Rejim Soeharto pasca krisis 1997, dimulai dari peristiwa Trisakti pada 12 Mei 1998. Tindakan refresif ini mengakibatkan empat kawan mahasiswa Trisakti tewas, dan puluhan lainnya luka-luka. Kawan-kawan yang tewas antara lain adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977-1998), Hafidin Royan (1976-1998), dan Hendriawan Sie (1975-1998). Keempat kawan ini tewas akibat terkena tembakan di bagian vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.

    Kemudian huru-hara semakin memuncak mulai dari 13-15 Mei 1998 khususnya di Ibu kota Jakarta dan di beberapa kota seperti Medan dan Surakarta. Kejadian ini setidaknya menewaskan 1.217 orang dan 31 orang hilang hingga saat ini. Peristiwa ini juga meninggalkan cerita kelam tentang kekerasan terhadap perempuan Tinghoa  Indonesia. Tercatat terjadi pemerkosaan terhadap 52 korban dan 29 korban kekerasan serta pelecehan seksual.

    Akan tetapi, semenjak Soeharto  turun meletakkan jabatannya 21 Mei 1998 hingga saat ini, upaya untuk mengungkap kejahatan kemanusian, pelanggaran HAM, pembungkaman demokrasi yang sama halnya dengan pembantain Holocoust di zaman Nazi Adolf hitler yang dijalankan Soeharto beserta kroni-kroninya, tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan Soeharto dalam proses peradilan berulang kali mendapatkan keistimewaan di masa Megawati dan SBY, dengan memberhentikan kasus penyelewengan kekuasaan Soeharto.

    Adapun pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kerusuhan Mei 1998, hanya melahirkan laporan terkait pelanggaran HAM namun tidak mampu menyeret pelaku yakni Soeharto dan kroni-kroninya untuk diberikan sanksi berat sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Bahkan hingga saat ini pelaku-pelaku pelanggaran HAM Mei 1998 masih tetap berkeliaran bebas untuk bermanuver yang sangat dekat dengan akses kekuasaan Negara dan Parpol. Lucunya, Prabowo dan Wiranto hanya tuding-menuding atas kerusuhan Mei 1998 yang dipertontonkan semasa Pemilu silam.

    Peristiwa ini tentunya menjadi bagian sejarah kelam yang mencoreng nilai demokrasi. Watak dan tindakan fasis  reziim Soeharto adalah bukti nyata bahwa pemerintahan dapat menjadi aktor utama yang berpotensi besar merampas demokrasi baik atas hak politik, ekonomi sosial budaya dari tangan rakyat jika memang tidak sesuai dengan kepentingan pemerintah yang lebih melanggengkan dominasi imperialisme, pengusaha besar dan tuan tanah besar di Indonesia.

    Awas Demokrasi Kita Semakin Terancam: Perjuangan Belum Selesai !!!

    Demokrasi adalah nilai luhur yang sesuai dengan keinginan rakyat Indonesia. Perjuangan dan kemenangan-demi kemenangan kecil telah  dapat diraih oleh gerakan massa untuk menuntut demokrasi. Peristiwa Mei ’98 adalah lompatan besar bagi sejarah bangsa Indonesia, dan di sisi lain membuktikan bahwa kemenangan hanya bisa diraih dengan partisipasi aktif dari perjuangan massa, karena perubahan sejati adalah karya berjuta massa rakyat Indonesia tidak terkecuali mahasiswa. Namun, setelah 17 tahun menjajaki Orde Reformasi, selama itu pula masih terus berupaya merampas hak-hak demokrasi rakyat.

    Kini,  Indonesia yang dipimpin oleh pemerintahan Jokowi-JK, berlahan-lahan mulai menanggalkan nilai demokrasi dalam mengemban tugasnya sebagai Kepala Negara di Republik Indonesia. Jokowi-JK di masa kampanye menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang demokratis, nasionalis dan pro-rakyat. Namun, saat ini berlahan-lahan Jokowi-JK menunjukkan wajah aslinya yang tidak jauh berbeda dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.  Jokowi-JK yang sejenak memberikan harapan bagi rakyat Indonesia, ternyata mempunyai kemiripan akan konsep pembangunan nasional baik semasa Soeharto hingga SBY. Jokowi-JK masih memilih Investasi asing dan Utang Luar Negeri (ULN) sebagai sandaran utama untuk membiayai pembangunan nasional di Indonesia. Hal ini sudah pasti, tidak akan memberikan perubahan yang siknifikan atas kesejahteraan dan kedaulatan rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Namun, investasi asing dan ULN hanya akan memberikan semata-mata keuntungan yang besar bagi negara-negara maju beserta perusahaan-perusahaan TNC/MNC. Celakanya. Ketika pemerintahan masih menjauhkan aspirasi rakyat akan kemandirian dan kedaulatan ekonomi dan politik melalui reforma agraria sejati dan industri nasional, tentu  pemerintahan Jokowi-JK hanya akan mempertahankan Indonesia sebagai Negara satelit (setengah jajahan setengah feodal) bagi Negara maju/imperialisme untuk terus mengeruk kekayaan alam dan mengeksploitasi masyarakat Indonesia.

    Atas keadaan tersebut, Jokowi-JK untuk menjaga dan memuluskan kepentingan asing di Indonesia, sudah pasti akan menggunakan cara-cara kekerasaan baik terselubung (regulasi) maupun kekerasaan terbuka (TNI & Polri). Sebut saja Babinsa masuk desa, Penyegaran Menwa di kampus di bawah TNI, mempertahankan UU Ormas, UU Intelijen.  Selain itu secara nyata melakukan penembakan terhadap satu orang massa aksi saat menolak BBM naik di Makassar, penembakan  1 orang masyarakat adat Kalteng,  penembakan 5 siswa di Paniai Papua, pengusiran ratusan masyarakat Papua oleh TNI, pelarangan aksi saat KAA, mengangkat pejabat negara dari pelanggar HAM semasa Orba (AM Hendripriyono), kriminalisasi terhadap aktivis anti korupsi, pemblokiran situs dan 1 semester telah menangkap aktivis sekitar 200 orang.

    Kampus juga tidak luput menjadi sasaran kebijakan anti demokrasi dari Jokowi-JK. Berbagai pelarangan seperti jam malam, larangan berkegiatan di luar kampus, larangan berorganisasi, pembatasan ruang-ruang berpendapat, hingga pelibatan pihak TNI dan Polri menjaga keamanan di kampus. Hal ini demi upanyanya mengkerdilkan mahasiswa dari proses berdemokrasi dan menjauhkannya mahasiswa dari sikap kritis atas realita keadaan pendidikan dan rakyat Indonesia.

    Fenomena kehancuran ekonomi di Indonesia juga semakin buruk saja. Saat ini, krisis terus melanda Indonesia sebagai dampak transformasi krisis AS dan Eropa yang dibebankan ke Indonesia melalui program Investasi dan ULN. Hal ini dibuktikan dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS, kemudian kebijakan pencabutan subsidi BBM & TDL, kenaikan bahan pokok, serta kenaikan biaya pendidikan dan kesehatan. Inilah capaian yang  dilakukan pemerintah Jokowi-JK selama sekitar satu semester menjabat. Belum lagi, praktik politik upah murah, praktik keji perampasan tanah di pedesaan-pinggiran kota demi perluasan bisnis serta semakin sempitnya lapangan kerja. Carut marut ekonomi ini harusnya dapat dihindari agar tidak berpotensi mendorong situasi politik yang kisruh pula.

    Oleh karena itu, dalam memperingati 17 tahun Peristiwa Mei ’98 Front Mahasiswa Nasional UI menyampaikan dengan rendah hati dan penuh ketulusan rasa hormat dan bangga kepada para aktivis, massa rakyat yang telah mengorbankan nyawanya dalam proses perjuangan atas tegaknya Demokrasi rakyat di Indonesia.  FMN UI juga mengajak kepada seluruh mahasiswa untuk bersama-sama melanjutkan tongkat estafet perjuangan mahasiswa atas demokrasi baik di kampus-kampus dan di tengah-tengah rakyat Indonesia. Katakan Tidak untuk Rejim Anti Demokrasi.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here