More

    Australia Sekarang Lebih Asia di Mata Yunisa KD

    ABC AUSTRALIA NETWORK
    Yunisa KD

    Yunisa KD yang dikenal sebagai penulis novel, di antaranya Sepotong Kata Maaf, berada di Melbourne selama dua bulan bersama keluarganya. Dia sebelumnya pernah belajar di Universitas Newcastle di New South Wales. Inilah penuturannya mengenai Australia yang dilihatnya sekarang serta perjalanan hidupnya sejauh ini.

    Yunisa KD
    Yunisa KD

    Dalam hidup, tidak semua keinginan anak dapat dikabulkan orang tua.

    - Advertisement -

    Tetapi sebagai anak, kita punya dua pilihan: pertama, marah, tidak puas dengan orang tuanya, menyalahkan mereka, menuduh orang tua pilih kasih, dan seterusnya. Lalu merengek sampai orang tua melakukan sesuatu.

    Dan kedua, menganggap hal itu sebagai sebuah tantangan untuk membuka jalan sendiri.

    Tantangan Pertama: Kalau mau kuliah di luar negeri, cari sendiri universitasnya. Jangan ke Amerika, kejauhan!
    Waktu itu belum ada internet di Yogyakarta. Saya menyurati beberapa kedutaan besar di Jakarta dalam bahasa Indonesia. Kedutaan Singapura dalam bahasa Inggris menyuruh saya mengontak National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University (NTU). Belum ada Singapore Management University (SMU).

    Peringkat NUS di Asia Pasifik waktu itu adalah nomor 2, jauh lebih tinggi daripada peringkat universitas di Australia. Saya hanya melamar masuk NUS.

    “Mengapa Anda ingin masuk NUS?”
    Dahulu saya tidak tahu bahwa itu adalah pertanyaan esai wajib setiap application form universitas top di luar negeri. Jawaban saya pendek: Saya ingin go global dan jika saya tetap tinggal di Yogyakarta, saya merasa tidak ada tantangan lagi. Mungkin petugas seleksi pendaftaran tepok jidat membaca jawaban ini.

    Hanya demi Pengalaman
    Sebelum ujian akhir, saya sudah diterima oleh NUS. Sementara itu di SMA Stella Duce 1 Yogyakarta juga ditawarkan penerimaan bibit unggul di Universitas Atmajaya. Disuruh ikut, ya saya ikut saja dan diterima. Karena saya juga ingin merasakan UMPTN, saya juga ikut dan memang hasilnya diterima di UGM.

    Salah jurusan
    Meski cinta matematika sejak SD, saya merasa salah jurusan Applied Mathematics di NUS karena semua teman ingin menjadi dosen matematika (dan saya tidak). Sebagai kompensasi, saya mengambil double minors: Management IT dan Computational Finance.

    Mengapa menulis novel?
    Kuliah di NUS itu stressful. Waktu itu jumlah mahasiswa asing di NUS hanya 2% dari jumlah mahasiswa yang diterima. Di jurusan matematika, mahasiswi itu mungkin hanya 10%. Kalau dalam Tutorial 5 soal untuk seminggu, pukul 3 pagi tiba-tiba muncul ide menggarap satu saja, saya sudah jingkrak-jingkrak.

    Agar tidak stress, saya menulis naskah Sakura Bersemi di Yokohama. Namun naskah terbengkalai karena tergoda mencari duit dengan menjadi penerjemah dan guru les Bahasa Indonesia untuk bule-bule Australia di Singapura yang sering pergi ke Indonesia.

    Suami saya, Jemmy Soenjaya, tidak setuju jika saya bilang kuliah di NUS itu bikin stress. Maklum, dia memang suka jurusannya, Ilmu Komputer, terpilih untuk memberikan pidato kelulusan (valedictorian), dan menggondol Medali Emas Lee Kwan Yew.

    Tantangan ke-2: MBA saat pengalaman kerja dan dana masih sedikit
    Dengan pengalaman kerja minim plus duit sendiri yang masih sedikit (karena menolak dibayari orang tua), saya sadar, pilihan universitas bagus untuk MBA sangat terbatas. University of Newcastle, NSW adalah pilihan terbaik. Terjun dari matematika ke bisnis lumayan mudah penyesuaiannya. Seperti iklan dekan Fakultas Sains NUS: matematika adalah ibu dari semua ilmu pengetahuan.

    Selama 1½ tahun kuliah MBA, digenjot menulis makalah 2.000 kata hampir setiap 2 minggu. Mahasiswanya lebih gahar NUS, apalagi murid asal China yang beasiswa. Beban produktivitas makalah untuk tingkat pasca sarjana Universitas Newcastle lebih berat daripada tingkat sarjana di NUS.

    Tantangan ke-3: Apakah ada penerbit yang mau berinvestasi untuk novelmu?
    Tahun 2004, Dr Dede Selamat Sutedja, gastroenterolog di Singapura yang menjadi dokter keluarga, tiba-tiba memberi ucapan: Really think you have a word for prose… Saya jadi terpacu untuk menyelesaikan draf novel pertama. “Kalau memang tulisanmu bagus, bakal ada penerbit yang mau berinvestasi pada dirimu…” demikian opini orang tua.

    Saya mengirimkan naskah ke Gramedia Pustaka Utama (GPU), dan ditolak. Namun Oktober 2005, sebuah penerbit kecil di Bandung menelepon saya. Dari penerbit kecil, merambah ke penerbit mayor, termasuk grup Kompas-Gramedia (GPU dan Grasindo).

    Australia dan novel saya
    Novel kedua saya, Sydney Darling Harbour (2008), terinspirasi dari ritme/suasana Australia dan tersedia di National Library http://trove.nla.gov.au/version/38801130

    Tetapi karena saya lebih lama di Singapura, pengaruh Singapura lebih kuat dituangkan menjadi latar novel dalam novel: Schoolaholic Princess 2: Romansa Singapura (2008), Schoolaholic Princess 3: Simfoni Cinta (2008), Memory and Destiny (2010), novel filantrofis untuk PMI: Sepotong Kata Maaf (2013), dan novel terbaru Heart Actually (2014).

    Setelah kunjungan dua bulan menemani suami bersama dua anak, Gloria (2) dan Greg (1) di Melbourne ini, banyak pengalaman baru yang bisa dituangkan kembali menjadi novel bernuansa Australia.

    Australia dahulu dan sekarang
    Bagi saya, faktor “orang” dari suatu tempat itu yang paling penting. Setelah hampir 14 tahun berlalu, saya merasa Australia sekarang lebih Asia. Australia di awal abad ke-21 jauh lebih “bule”, semua berbahasa Inggris saja kecuali Chinatown. Kini Australia sudah terimbas Korean wave (di mana-mana ada restoran dan orang Korea), juga membludaknya turis China sehingga papan pengumuman selalu dilengkapi dengan terjemahan dalam karakter China Sederhana.

    Dari sudut sifat suka menolong, Australia lebih baik daripada Singapura, tetapi belum mengalahkan Inggris dan AS untuk courtesy dan random kindness to strangers. Misalnya saja saat twin-pram Gloria-Greg terjepit di jalanan yang tidak rata, selalu ada orang yang tak dikenal yang mau membantu. Banyak juga yang ramah menyapa, mengira mereka berdua kembar.

    Namun di trem, masih ada juga segelintir orang yang tidak mau minggir meski berdiri di dekat pintu sehingga menghadang jalan meski saya sudah permisi sampai orang-orang tersebut ditarik oleh penumpang lain. Ada juga bule rasis hooligan yang meneriaki Gloria-Greg dalam kereta saat kami menyeberang jalan menuju Konservatorium di Fitzroy Garden untuk sesi pemotretan ultah pertama Greg. Foto ini adalah hasil jepretan sepupu saya dari pihak ibu, Ed Purnomo (instagram: @edpurnomo).

    Sejarah berulang di Melbourne
    Faktor ada sanak saudara saat kita berada jauh dari rumah sangat membantu dan mengurangi homesick. Ed adalah sepupu yang paling peduli saat saya pertama kali kuliah di Singapura. Setelah lulus dari Universitas Melbourne, jurusan fotografi, Ed memilih menjadi fotografer spesialisasi fashion.

    Manfaat menulis novel
    Dengan menulis novel, kelancaran berbahasa Indonesia secara tertulis tetap terjaga. Tidak dinyana, karena saya memang published author (bukan self-published), Apple merekrut saya sebagai onsite lead linguist untuk Bahasa Indonesia di Cupertino. Dan beberapa tahun kemudian, Google Singapura juga. Bukan saya yang melamar pekerjaan, tetapi ada saja yang headhunt, “Eh Yunisa, minta resume-mu dong.”

    Novel Filantrofis
    Mungkin belum banyak novelis Indonesia yang menyumbangkan 100% royalti dari karya tunggal (bukan novel keroyokan) seperti novel Sepotong Kata Maaf (Grasindo, 2013). Tetapi penulis di LN sudah biasa melakukan hal semacam ini, misal: Meg Cabot dan Roald Dahl.

    Setelah menikah, karakter jahat yang saya temui bertambah kompleks. Bukan lagi soal rebutan warisan ataupun politik kantor. Sekarang levelnya sudah ilmu hitam, jual badan, sampai percobaan pembunuhan. Meski jelas bukan tipe dongeng Cinderella ataupun kisah sukses inspirasional, antagonis jelek juga merupakan ide cerita yang menantang untuk dituliskan. Daripada misuh-misuh sendiri, lebih baik emosi negatif diuangkan dan hasilnya disumbangkan untuk kemanusiaan.

    Masih menulis?
    Sebelum lahiran anak pertama, suami membuatkan website www.yunisakd.com agar info novel-novel saya dari berbagai penerbit terdokumentasikan lebih rapi. Setelah lahiran anak ke-2, energi tersedot, para editor juga maklum kalau saya belum setor naskah lagi. Semoga setelah kembali di Indonesia, saya jadi lebih punya banyak me-time untuk merevisi dan menyelesaikan naskah.

    Kiat bagi calon novelis
    Selesaikan naskah Anda. Minta beberapa orang dekat untuk membaca. Jika responsnya bagus, kirim naskah ke beberapa penerbit. Penerbit mayor: antrenya panjang, proses terbit juga lama. Penerbit kecil biasanya jauh lebih cepat responsnya. Kalau ingin terbit cepat di penerbit mayor, rajin ikut lomba yang mereka adakan. Selamat berkarya! []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here