Kisruh di Institut Francais D’Indonesie (IFI) Bandung masih berasa. Kenapa ada kelompok berkuasa bisa membubarkan acara?
Jessisca Fam adalah anak muda yang haus dengan pemikiran baru dalam seni dan budaya. Sejumlah acara, galeri, dan atau ruang pertunjukkan kerap didatanginya. Dan ketika mendengar ada pementasan monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” garapan sutradara Wawan Sofwan dari Mainteater Bandung, dia pun melangkahkan kaki menuju IFI Bandung di jalan Purnawarman tepatnya di seberang Bandung Electronic Centre (BEC).
“Di luar aspek hiburan, menonton seni budaya salah satunya seperti teater, untuk menyeimbangkan otak kanan dan kiri saya. Menemukan hal-hal baru, pandangan baru, serta melihat beragam interpretasi orang tentang bermacam hal,” kata Jessisca Fam memberikan alasan kenapa dirinya selalu hadir di ruang seni budaya.
Namun kali ini Jessisca Fam tak mengira saat datang ke IFI pada Rabu lalu (23/03/2016). Secarik kertas putih menginformasikan pementasan pementasan monolog Tan Malaka dibatalkan.
Kenapa?
Saat itu situasi di IFI Bandung sudah ramai orang berkumpul. Ada yang berteriak dengan dengan keras di hadapan penonton. “Mereka berteriak di depan orang-orang yang ingin menonton,” ungkap Jessica Fam kepada KabarKampus. Dia merasa diintimidasi. Cemas.
Selang beberapa lama barulah Jessisca Fam mulai mengetahui kenapa ada ribut-ribut di IFI Bandung. Orang-orang yang baru datang pun tidak perlu berlama-lama untuk mengetahui siapa biang kerok kekisruhan di IFI Bandung.
Lantas KabarKampus mencari tahu kenapa FPI menolak pementasan monolog Tan Malaka.
Setelah mengobrol dengan sejumlah orang dan mendengarkan langsung, kesimpulannya : FPI tidak suka bila tokoh komunis dijadikan “bahan” untuk sebuah pertunjukkan. FPI sangat khawatir lewat pementasan monolog, ajaran komunis kembali berkembang.
(Baca juga : Ini Alasan FPI Bubarkan Monolog Tan Malaka)
Di ruangan yang lain, pihak penyelenggara yakni Mainteater bersama pengelola IFI Bandung, sejumlah seniman, anggota kepolisian, dan FPI terlibat pembicaraan serius. Mainteater lewat Ahda Imran yang menulis naskah, menjelaskan kenapa Tan Malaka menjadi inspirasi dalam berkarya. Dia pun menjelaskan kenapa pementasan ini digelar.
Jika mencermati naskah yang Tan Malaka maka si penulis naskah ingin menggambarkan bagaimana pergulatan pemikiran sosok Tan Malaka di masa revolusi. Bukan mementaskan apa itu komunisme. Bukan pula mementaskan kenapa Tan Malaka memilih partai komunis sebagai jalan memperjuangkan nasib bangsa terjajah.
Bahkan Ahda Imran menyerahkan naskah pementasan monolog kepada FPI. Naskah itu tak dibaca. FPI tetap dengan pendiriannya. Mainteater dan IFI Bandung kecewa berat. Ruang dialog yang seharusnya menjadi pintu membuka masalah menjadi terang terkunci rapat. Sederet penjelasan dari pukul 13.00-16.00 WIB, sikap FPI tak menggoyahkan. Tan Malaka komunis, habis perkara.
Informasi pembatalan acara tersebar di media sosial. Heliana Sinaga, pimpinan produksi menyebarkan pengumuman. Publik merespon dengan kecewa. Mengutuk.
Di luar ruangan, di sekitar cafe, Jessisca Fam masih berharap kali-kali ada secercah harapan dari situasi pelik ini. Dia bertahan, menunggu. Dia pun kembali mencari informasi kepada kawan-kawan seniman. Jessisca Fam beruntung bisa mengenal baik sejumlah wartawan dan seniman di Bandung. Ini buah dari intensitas dirinya mengikuti perkembangan seni budaya di Bandung selama lebih 12 tahun.
Hasilnya tetap sama.
Setelah informasi pembatalan, bagaimana suasana di IFI Bandung?
Suasana masih tegang. Sempat pula terjadi adu mulut antara FPI dan orang-orang yang ingin menonton. Diantara penonton ada yang mengucapkan istighfar melihat tingkah FPI. Ada juga yang berusaha memberikan penjelasan bahwa dirinya seniman tapi bukan komunis.
“Saya ga bodo. Saya juga belajar sejarah dari kelas 1 sampai 6. Kita tau. Kita ga bodo,” ungkap salah seorang anggota FPI dengan tegas.
KabarKampus mencermati anggota FPI lupa. Datuk Tan Malaka sejak kecil sebagaimana tradisi orang Minang, ditempa secara Islam di Nagari Pandan Gadang, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, tempat kelahirannya. Bahkan Datuk Tan Malaka lebih lama belajar dan mengaji di surau ketimbang FPI.
Dalam catatan sejarah pula, Tan Malaka mengajarkan Al Quran kepada anak-anak di kampungnya.
Di kemudian hari, Tan Malaka menjadi orang yang berpengaruh dalam gerakan sebelum kemerdekaan. Dia adalah ketua partai komunis yang memperjuangkan rakyat Indonesia di hadapan kolonial Belanda. Banyak buah pemikirannya menyuarakan anti kolkonialisme di Hindia Belanda saat itu. Bagi Tan Malaka, Islam dan Komunisme dapat bergandengan melawan penindasan kolonial.
Apalah daya, seperti biasa, seperti yang lalu-lalu juga, tanpa tabayyun dan tergesa-gesa FPI membabi buta.
Tetapi penonton yang telah membeli karcis tetap bertahan. Diantara penonton dan anggota FPI, terlihat juga anggota kepolisian tapi tak sanggup berbuat banyak. Apakah pihak kepolisian takut dengan FPI? Bisa ya bisa tidak.
Melihat situasi tak berubah. Anggota kepolisian yang tidak bertindak maka FPI pun semakin geram ngeliat orang-orang yang ngeyel. Anggota FPI meningkatkan rasa amarah, membuat tampang lebih seram, dan menakuti-nakuti dengan teriakan ayat suci Al-Quran. Anggota FPI menunjuk wajah orang-orang dengan sangat dekat.
Mereka bertakbir menyebut nama Allah yang Maha Besar, “Allahu Akbar!”
“Istighfar…” kata penonton.
Kalimat suci Al Quran yang seharusnya bisa menenangkan dan mendamaikan tapi di mulut anggota FPI berasa menakutkan. Benar saja, seorang anak perempuan kecil berumur kira-kira 5-6 tahun menangis dengan keras melihat kekisruhan di IFI Bandung.
“Saya kaget banget dan berasa serem,” kata Jessisca Fam yang baru pertama kali mengalami mau nonton pertunjukkan teater ada aksi demo FPI.
Tidak hanya Jessisca Fam. Banyak orang yang hadir saat itu diselimuti rasa takut, kecewa, dan geram melihat tingkah FPI. Untunglah para penonton tidak terpancing emosi untuk melawan intimidasi dengan kekerasan. Para penonton Bandung lebih mengedepankan akal sehat melihat persoalan ini.
Sejurus kemudian keluarlah kalimat sakti yang sering digunakan sekelompok orang untuk memantik rasa nasionalisme. “Yang peduli NKRI silakan keluar dari sini,” ungkap salah satu anggota FPI. Ungkapan itu pun mengundang senyum orang-orang yang mendengar.
Anggota FPI kehabisan kata-kata. Para penonton disuruh bubar eh malah pada nongkrong-nongkrong. Ngobrol-ngobrol.
Pementasan monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” pada hari Rabu harus batal. Dialog bersama FPI menemukan jalan buntu. Publik Bandung bereaksi. Lewat media sosial warga mengutuk tindakan FPI yang membatalkan pementasan. Kabar ini pun didengar Ridwan Kamil sang Walikota Bandung. Selang beberapa jam, Heliana Sinaga, pimpinan produksi pementasan monolog Tan Malaka mengabarkan pertunjukkan akan tetap berlangsung karena Ridwan Kamil memberikan jaminan.
Kabar itu membuat Jessisca Fam dan penonton yang lain menjadi bersemangat kembali. Keesokan harinya pementasan dapat berlangsung dengan penjagaan ketat polisi di sekitar IFI Bandung.
“Saya ga suka kenapa ada sekelompok orang bisa punya kuasa seperti itu untuk membubarkan acara,” ungkap Jessisca Fam.
***
KabarKampus melihat intimidasi yang dilakukan FPI terhadap penonton serta pelarangan teater harus menjadi pelajaran penting dalam kehidupan berbangsa saat ini, khususnya di kota Bandung. Bukan tak mungkin kejadian bisa terulang. Ini tentunya sangat kontra produktif dengan klaim kota Bandung sebagai kota yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Mencomot petikan pernyataan tertulis Heru Hikayat, kurator independen, di media sosial,”Perbedaan pendapat seharusnya tidak mengakibatkan penindasan hak sebagian orang, dan (penyelenggara) negara seharusnya menjamin hak-hak itu.”
Ini berarti pekerjaan masih banyak untuk memberikan pemahaman tentang hidup yang rukun, hidup yang damai, dan hidup saling menghargai.
Atas dasar hak-hak kebebasan berekspresi yang direstui dan dilindungi negara, FPI harus diingatkan atas tindakannya yang membuat rasa tidak aman. Tindakan dan cara-cara FPI yang main sruduk dan tak mendengar pendapat pihak lain sudah keterlaluan.
Sudah seharusnya FPI meminta maaf. []
Note : Tulisan ini telah mengalami perubahan untuk meletakkan proporsi pernyataan narasumber dan pandangan KabarKampus terhadap peristiwa pembatalan monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” yang terjadi pada Rabu, 23 Maret 2016. Perubahan dilakukan pada hari Senin, 28 Maret 2015.