More

    Tidak Rela Warga Gunung Kendeng Jadi TKI

    13 03 2016 Petani Kendeng 01
    Deni Yuliantini, mantan TKW dan pejuang Gunung Kendeng

    Dari sembilan perempuan yang melakukan aksi protes memasung kaki dengan semen di Istana Negara, Jakarta, perempuan yang satu ini adalah yang paling muda. Usianya baru 28 tahun. Dia juga merupakan satu-satunya “Kartini” dari Kabupaten Grobogan.

    Dialah Deni Yuliantini, warga desa Mayahan, di kecamatan Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah. Perempuan yang akrab disapa Deni ini merupakan mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang pernah bekerja di Hongkong dan Singapura selama tiga tahun.

    Deni pulang ke kampung halamannya pada pertengahan 2015 lalu. Ia mengaku pulang karena ingin membantu orang tuanya bertani dan membuka usaha baru.

    - Advertisement -

    Deni mengaku pulang ke Indonesia, karena merasa lebih nyaman tinggal di kampung daripada di luar negeri. Di kampung halamannya, ia lebih bisa bersosialisasi dengan banyak orang.

    Saat ini usaha yang direncanakan telah berjalan. Ia merintis usaha sablon bersama adiknya. Ilmu menyablon tersebut ia dapat secara otodidak dari internet.

    “Alhamdulillah sekarang orderan bisa 40-50 kaos satu minggunya,” ungkapnya.

    Namun ada banyak hal yang mengganggu ketika ia pulang kampung. Deni mendapati hutan di sekitar kampung halamannya bertambah rusak. Galian jenis C alias tambang warga untuk mengambil kerikil dan batu gamping yang merupakan batu khas gunung kars ada dimana-mana.

    “Dengan kondisi ini saja beberapa daerah di Grobogan bagian dalam ada warga yang sudah beli air. Itu belum semen masuk seperti yang dikabarkan Gunung Kendeng akan dibangun pabrik semen,” kata Deni.

    Hal inilah yang mendorongnya untuk turut dalam aksi menolak pabrik semen di Gunung Kendeng yang tak jauh dari rumahnya. Menurutnya, ketika gunung yang merupakan sumber mata air itu dibangun pabrik semen, maka petani yang bergantung pada pertanian akan kehilangan mata pencahariannya.

    “Lalu ketika mata air dan hutan di gunung tersebut dirusak, bagaimana petani bisa bertani. Sementara petani mengandalkan pertaniannya,” katanya.

    Deni khawatir, ketika lahan masyarakat untuk bertani tidak ada dan masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka justru menjadi TKI seperti dirinya dulu.

    “Saya merasa tidak rela teman-temannya kerja ke luar negeri. Saya hanya bisa berharap teman-teman tidak kerja ke laur negeri. Memang kerja di sana gajinya besar. Tapi yang dikorbankan adalah kita dan keluarga,” ungkap Deni.

    Ia menjelaskan, nyawa TKI itu untung-untungan. Kalau majikannya baik bisa selemat. Namun bila jahat banyak sekali kejadian TKI yang dibunuh.

    “Sebenarnya banyak TKI yang dibunuh, tapi banyak yang tidak terekspos oleh media. Rasanya saya tidak rela,” katanya.

    Saat ini Deni masih berjuang bersama teman-temannya di Jakarta. Baginya memasung kaki dengan semen rasanya tidak seberapa dibandingkan bila pabrik semen dibangun di Gunung Gendeng. Bila pabrik semen jadi dibangun, maka hidup warga yang akan lebih terbelengu.

    “Saya mohon kepada Bapak Presiden Jokowi untuk adil dan membatalkan pembangunan pabrik semen di Gunung Kendeng,” ungkap Deni.[]

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here