More

    Rasionalisasi dan Relevansi Pengaturan Pengeras Suara

    Oleh: Rizki Irwansyah, Kader Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ciputat.

    Ilustrasi
    Ilustrasi

    Insiden pembakaran sejumlah rumah ibadah yang terjadi di Kota Tanjungbalai-Sumatra Utara pada Jumat (29/07/2016) kian santer di media massa. Bahkan berita tersebut mampu bersaing dengan berita-berita Pilkada, Resuffle Kabinet, dan Kicauan Freddy Budiman.

    Menurut berbagai sumber, insiden tersebut bermula dari adanya permintaan seorang wanita Tionghoa setempat kepada pengurus masjid Al Makhsum Jl. Karya, agar mengurangi volume pengeras suara masjid. Entah merasa terganggu oleh suara azan atau suara lainnya, setelah mendengar ada keluhanan dari seorang warga Tionghoa, para pengurus dan jama’ah masjid selepas shalat isya mendatangi kediaman wanita itu. Entah apa yang dibicarakan, akhirnya menimbulkan keributan berkelanjutan.

    - Advertisement -

    Suasana pada saat itu sudah agak memanas, sehingga keduanya dibawa ke kantor lurah oleh aparat desa guna mencairkan suasana. Akan tetapi rupanya keadaan tidak membaik. Mereka kemudian diamankan ke Polsek Tanjungbalai Selatan untuk mediasi yang melibatkan para Ketua MUI, tokoh agama, dan tokoh masyarakat setempat.

    Keadaan mulai membaik setelah mediasi kedua, namun suasana kembali mencekam ketika warga kembali mendatangi rumah wanita Tionghoa tersebut sekitar pukul 22.30 WIB. Mereka datang diduga karena adanya informasi dari media sosial (Facebook) terkait postingan provokasi dari warga perihal wanita Tionghoa.

    Hal ini kemudian menyulut emosi umat muslim Kota Tanjungbalai-Sumut, untuk melakukan aksi SARA. Tidak tanggung-tanggung akibat aksi tersebut sejumlah rumah etnis Tionghoa, Vihara juga Kelenteng, beserta barang-barang yang ada di daerah tersebut hancur akibat amukan massa.

    Penulis menyangkan sifat umat Islam Tanjungbalai yang merasa kuat karena posisi umat muslim di Tanjungbalai. Hal itu membuat umat muslim menjadi mudah terprovokasi dan melakukan aksi-aksi spontan yang cenderung reaksioner.

    Pengeras suara yang tak sendu.

    Merujuk pada akar masalah yang terjadi di Tanjungbalai-Sumut, Yusuf Kalla, Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang juga menjabat sebagai Wakil Presiden RI, meminta agar pengeras suara azan masjid tidak digunakan berlebihan. Supaya tidak menganggu orang lain. Hal tersebut disampaikan JK dalam acara Pelantikan Pengurus Pimpinan Wilayah Dewan Masjid Indonesia DKI Jakarta di Balai Kota DKI Jakarta, Jl Medan Merdeka Selatan, Kamis (18/02/2016).

    Gagasan yang disampaikan JK selaku Ketua DMI pada Febuari lalu, yang meminta agar masjid-masjid di Indonesia mengatur penggunaan pengeras suara untuk azan dinilai sangat rasional dan memiliki relevansi yang jelas, melihat pada insiden yang terjadi belakangan ini.

    Selain itu, pada dasarnya agama memiliki dua aspek nilai yang begitu penting dan mendasar, yaitu nilai ibadah dan nilai sosial. Dalam aspek sosial, pengunaan pengeras suara azan harus memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat sekitar.

    Jika masjid-masjid di Indonesia mengatur pengeras suara dengan baik, dengan memperhitungkan aspek sosial dari agama dan demi terciptanya kenyamanan dan ketenangan masyarakat sekitar. Maka sikap intoleransi dan saling membenci sesama antar umat beragama dapat dihindari. Begitulah mengapa harus memperhitungkan aspek sosial demi terciptanya kenyamanan dan ketenangan masyarakat di sekitar.

    Selain itu, jika pengeras suara diatur sedemikian baik setiap suara azan yang terdiri dari ayat-ayat suci yang dikumandangankan akan lebih  terdengar merdu di telinga masyarakat, tidak menghilangkan kesucian azan tersebut. Wallahu A’lam Bishawab.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here