More

    Aktivis Bandung Ajak Mahasiswa Unpar Melawan Rendahnya Minat Baca

    ENCEP SUKONTRA

    BANDUNG, KabarKampus-Pembaca buku yang dijajakan Perpustakaan Jalanan Bandung (Perpus Jalanan BDG) tiap malam Minggu di Taman Dago Cikapayang, Bandung, Jawa Barat, sangat beragam. Mulai mahasiswa hingga anak-anak, karyawan hingga pedagang asongan, anak sekolah hingga anak jalanan.

    Buku yang dijajakan Perpus Jalanan BDG juga tidak kalah beragam, mulai komik, novel, sastra, filsafat, agama, juga majalah bekas. Ada juga buku politik atau ideologi kanan, tengah, kiri sebagaimana lazimnya perpustakaan.

    - Advertisement -

    “Ada yang baca Nietzsche, tapi tidak semua pembaca,” tutur Kang Lahar, salah seorang pegiat Perpus Jalanan BDG, dalam Diskusi Publik: “Apakah Bandung Di Bawah Militerisme?” di Co-op Space Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Jalan Menjangan, Bandung, Jumat (02/09/2016) malam.

    “Kita sadar pembaca di Perpus Jalanan BDG memiliki pendidikan beragam, ada yang tinggi, ada kakek pedagang asongan yang membaca Majalah Sabili. Setidaknya (si kakek) mengalami mengakses buku. Ada juga anak kecil yang nanya-nanya ini buku apa hingga ikutan workshop. Mereka itu yang ingin kita akomodir,” ungkap Kang Rahar.

    Selain menjajakan buku, perpus dengan slogan “Matikan TV Mulailah Membaca!!!” itu kerap menggelar workshop sablon, zine, kolase, dan lain-lain. Mereka juga sering menggelar diskusi-diskusi informal dan main musik.

    Perpus Jalanan Bandung mulai berdiri akhir 2010. Tahun ini usianya genap enam tahun. Awal pendirian perpus, cerita Kang Rahar, didorong keinginan sederhana. Bahwa kegiatan Perpus Jalanan BDG dibentuk tidak dalam kerangka gerakan literasi atau intelektual sebagaimana yang digembar-gemborkan pihak tertentu yang membuka perpustakaan. Apalagi menjadikan Bandung makin kreatif dan menghasilkan profit.

    “Kita dari awal tak pernah berpikir perpus ini dalam kerangka intelektualisme dan seterusnya. Kita hanya berangkat dari omongan iseng (para pendiri) untuk memindahkan buku dari rak-rak buku di rumah dan kosan ke jalan. Kita tak tahu cara kita ini apakah akan meningkatkan intelektualisme atau tidak. Kita jalan dengan upaya kecil mungkin sampai nanti jalan kita akan begini-begini saja,” paparnya.

    Para pendiri Perpus Jalanan Bandung melihat fenomena turunnya minat baca di Bandung karena sulitnya mengakses buku. Hal ini membuat sulitnya tercipta kebiasaan membaca. Kebiasaan membaca erat kaitannya dengan sediaan buku bacaan.

    Sementara buku-buku yang ada selama ini berjarak dengan masyarakat. Buku-buku di Bandung banyak, di perpustakaan pemerintah daerah maupun komunitas. Namun hanya kalangan tertentu saja yang bisa mengaksesnya. Sebagian masyarakat sungkan ke sana.

    “Ada gap antara buku dan pembaca. Kita ingin memperkecil gap itu,” ujarnya.

    Gap antara lain dibuat oleh birokrasi atau administrasi, misalnya sistem keanggotaan yang menuntut sejumlah persyaratan. Selain itu sebagian masyarakat juga masih melihat mengakses buku sebagai sesuatu yang mewah, membuat mereka segan masuk perpustakaan maupun bergabung dengan komunitas pegiat literasi.

    Pemkot Bandung saat ini mengklaim sedang meningkatkan minat baca. Namun sepertinya tidak melihat adanya gap itu.

    “Masyarakat yang menganggap membaca itu mewah akan segan menjadi anggota perpustakaan, belum lagi yang tidak punya KTP. Untuk menghilangkan gap itu menurut kita segala macam birokrasi harus kita hilangkan, maka kita buka di trotoar. Tidak ada pertanyaan dari mana, mau ngapain. Yang penting datang dan membaca. Kita ingin hilangkan sekat-sekat itu,” ungkapnya.

    Terobosan yang dilakukan Perus Jalan BDG antara lain tidak mengenal kartu anggota. Orang yang mau pinjam buku cukup menuliskan nama dan nomor ponsel saja.

    Dalam diskusi publik tersebut hadir pula Zen RS, penulis esai yang bereaksi keras pada peristiwa pembubaran Perpus Jalanan BDG oleh militer beberapa waktu lalu. Zen RS mengajak peserta diskusi yang sebagian besar mahasiswa Unpar untuk mengorganisir diri terlibat dalam melawan rendahnya minat baca.

    Menurutnya, rendahnya minat baca akan menumpulkan daya kritis, juga memicu munculnya sikap anti-intelektualisme. Bentuk anti-intelektualisme adalah sikap pembiaran terhadap ketidakadilan yang terjadi di lingkungan sekitar, misalnya membiarkan militer mencampuri urusan sipil.

    Minat baca, kata Zen, akan menumbuhkan intelektualisme yang mau berpikir dan menelah realitas, terbuka pada perbedaan, kesediaan meninjau ulang terus menerus. “Berteori kan pada dasarnya terbuka pada ketidaksetujuan. Setiap teori harus siap disanggah oleh fakta baru,” katanya.

    Dengan membaca, lanjut Zen RS, mahasiswa tidak akan mudah terpropaganda, tidak akan langsung percaya pada informasi-informasi hoax. “Sikap intelektualisme membuat kita tidak mudah nge-share berita hoax,” katanya.

    Ia mengajak mahasiswa yang menyimpan buku di rumah atau kosan untuk mengikuti jejak Perpus Jalanan BDG. “Maka ayo pinjamkan buku, buka lapak,” ujarnya. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here