More

    Kisah Haru Atlet Difabel Terganjal Kursi Roda yang Mahal

    ENCEP SUKONTRA

    Persoalan regenerasi dan fasilitas untuk mendukung seseorang menjadi atlet profesional menjadi persoalan pelik. Hal inilah yang dialami oleh atlet-atlet difabel yang berlaga di Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) 2016 di Jawa Barat.

    Salah satu nomor pertandingan bulutangkis kelas wheelchair Papernas 2016 di GOR Lodaya, Bandung. Kursi roda khusus atlet masih terbatas. FOTO : ENCEP SUKONTRA
    Salah satu nomor pertandingan bulutangkis kelas wheelchair Papernas 2016 di GOR Lodaya, Bandung. Kursi roda khusus atlet masih terbatas. FOTO : ENCEP SUKONTRA

    Salah satu yang menjadi persoalan utama atlet difabel bulutangkis adalah ketersediaan kursi roda khusus. Kursi ini harganya mencapat puluhan juta rupiah. Jika ingin bertanding para atlet akan saling meminjam kursi khusus agar bisa tampil. Sementara saat latihan, mereka menggunakan kursi roda biasa.

    - Advertisement -

    Purwadi dan Sri Maryati adalah 2 atlet difabel bulutangkis mengisahkan kepada KabarKampus sejumlah persoalan serta usaha-usaha para atlet difabel bulutangkis Indonesia yang berjuang melawan keterbatasan.

    Pembibitan Atlet
    “Pembibitan atlet terlalu sulit. Khususnya di daerah pedalaman. Seperti kelas wheelchair kan paling banyak di Jawa, di luar Jawa masih jarang, apalagi wheelchair perempuan,” kata Purwadi, kepada Kabar Kampus di GOR Lodaya, Bandung, baru-baru ini.

    Atlet dari Kontingen Jawa Tengah ini mengatakan, pembinaan-pembinaan sebenarnya sudah sampai ke kabupaten atau pelosok. Hanya saja mereka terkendala peralatan seperti kursi roda khusus untuk atlet yang berbeda dengan kursi roda biasa.

    Ia menduga, keberadaan kursi roda khusus atlet kurang dikenal atau kurang sosialisasi. “Dari pengcab-pengcab olahraga mungkin ketersediaan alat belum ada. Hanya kabupaten tertentu yang punya alat,” kata atlet yang baru kali ini ikut Peparnas.

    Masalah dukungan alat tersebut berdampak pada lambatnya regenerasi. Padahal dari sisi potensi atau SDM, sebenarnya banyak difabel tuna daksa yang ingin menjadi atlet bulutangkis.

    Lambatnya regenerasi atlet bulutangkis terlihat pada bulutangkis Peparnas XV 2016 Jawa Barat di mana banyak atlet senior yang masih berlaga. Regenerasi yang lambat awalnya dari terbatasnya akses terhadap peralatan.

    “Banyak atlet senior tapi regenerasi tak ada. Jadi mereka terpaksa turun lagi,” katanya.

    Dalam setiap pertandingan tiap atlet harus membawa rodanya sendiri-sendiri. Begitu juga pada Peparnas. Bagi atlet difabel, roda adalah alat yang sangat personal sehingga harus membawa sendiri.

    “Sangat riskan jika atlet difabel tidak menggunakan roda sendiri. Dengan roda sendiri kita kan tidak perlu lagi penyesuaian. Tinggi dudukan, lebarnya, sudah sesuai dengan posisi duduk kita,” terangnya.

    Purwadi sendiri menggunakan roda atlet buatan lokal selama latihan bulutangkis. Sedangkan untuk bertanding di Peparnas ia meminjam roda impor punya teman. Kualitas roda impor masih jauh lebih baik dibandingkan roda buatan lokal. Roda impor jauh lebih ringan, keseimbangannya terjaga, dan lebih leluasa saat dipakai maneuver di arena.

    Namun harga kursi roda impor sangat mahal, antara Rp25 juta sampai Rp70 juta. Harga tersebut berbanding jauh dengan kursi roda lokal Rp15 juta. Soal harga, kata Purwadi, mungkin yang memberatkan Pengcab-pengcab untuk pengadaan kursi roda buat atlet bulutangkisnya.

    Kaum difabel yang ingin menjadi atlet bulutangkis tentu akan berpikir ulang untuk membeli harga semahal itu. Sehingga otomatis mereka sangat memerlukan bantuan dari pemerintah untuk membelikan kursi roda atlet.

    Masalah peralatan yang berdampak pada regenerasi juga menjadi kekhawatiran Sri Maryati, atlet difabel bulutangkis dari Kontingen Jawa Barat. Veteran PON/Peparnas 2012, Riau, ini berharapan pemerintah meningkatkan pembinaan para atlet, termasuk memerhatikan fasilitas kursi roda.

    “Dengan diperhatikan, cabor bulutangkis akan ada penerus baru. Saya sebagai atlet yang sudah senior berharap ke depan bulutangkis terus main, jangan sampai punah,” kata atlet di kelas wheelchair yang sudah berusia 40 tahun ini.

    Sri Maryati tersenyum masam saat disebut atlet langka karena jarangnya atlet perempuan di kelas wheelchair. Senada dengan Purwadi, Sri Maryati menyatakan pembibitan memang menjadi kendala tersendiri bagi cabor bulutangkis. Bahkan untuk pembibitan atlet bulutangkis perempuan lebih sulit lagi.

    Sri Maryati merupakan atlet peraih emas pada PON/Peparnas 2012, Riau. Saat itu, PON/Peparnas 2012 hanya menyediakan satu medali emas, tanpa menyediakan perak dan perunggu.

    Satu medali itu harus diperebutkan dua orang atlet, yakni Sri Maryati dan seorang atlet perempuan dari Jawa Tengah. Bertanding pada cabor yang memperebutkan satu medali oleh hanya dua atlet memiliki beban mental berbeda dibandingkan dengan pertandingan yang diikuti banyak atlet.

    Waktu itu Sri Maryati berhasil menjadi pemenang dan menyumbangkan medali satu-satunya dari bulutangkis untuk Kontingen Jawa Barat. Kini ia tampil lagi di Peparnas 2016. Minimnya atlet bulutangkis perempuan membuat perempuan asal Bogor ini harus kembali membela Jawa Barat yang kali ini menjadi tuan rumah.

    Menurut Sri Maryati, kursi roda khusus untuk atlet memiliki peran besar dalam mencetak atlet-atlet baru. Masalahnya memang perusahaan kursi roda lokal belum sanggup menyediakan kursi roda berkualitas internasional.

    Baik unit maupun komponen kursi roda saat ini semua didatangkan dari luar negeri. Misalnya ban kursi roda tidak bisa menggunakan ban sepeda meski pada kursi roda biasa masih bisa memakai ban sepeda. Tapi untuk pertandingan, tidak mungkin memakai kursi roda biasa dengan ban sepeda.

    Sri Maryati mengawali kariernya sebagai atlet sejak 2011. Pada awal-awal kariernya ia harus meminjam kursi roda untuk suatu pertandingan. Pada PON Riau, ia baru bisa memiliki kursi roda sendiri.

    Setelah itu kariernya sempat vakum karena tidak adanya turnamen. Ia pernah ikut Sea Games 2015 di Singapura dan dihempaskan lawan berat dari Thailand. Pembinaan olahraga bagi kaum difabel di Thailand sangat baik. Kualitas atlet senior dan junior Thailand sama baiknya.

    “Pembinaan di Thailand bagus, perhatiannya juga bagus. Mudah-mudahan pembinaan dan perhatian Indonesia seperti Thailand,” harapanya.

    Peparnas XV 2016 sudah berlangsung sejak 15 Oktober 2016. Sebagai kompetisinya kaum difabel, Peparnas XV 2016 Jawa Barat juga menjadi parameter sejauh mana pemerintah membangun aksesibilitas, termasuk menyediakan sarana dan prasarana.

    Jadi jangan hanya mau bangganya saja Pak Gubernur![]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here