More

    Soekarno Harus Dikritik, Jangan Hanya Sekadar Simbol

    ENCEP SUKONTRA

    Jika kita jalan-jalan ke Jalan Asia-Afrika, akan terasa nuansa yang Sukarnois. Banyak gambar atau simbol Presiden pertama RI, Soekarno, yang menghiasi kawasan Gedung Merdeka hingga Jalan Cikapundung Timur yang menjadi Jalan Sukarno.

    Dari kiri ke kanan, Eka Santosa, Tito Zaini Asmarahadi (cucu Inggit Garnasih), Bonnie Triyana, dan Ren Muhammad (penyelenggara) dalam diskusi Tribute To Sukarno di di Rumah Inggit Garnasih, Jalan Ciateul, Bandung, Jumat (30/09/2016). FOTO: Encep Sukontra
    Dari kiri ke kanan, Eka Santosa, Tito Zaini Asmarahadi (cucu Inggit Garnasih), Bonnie Triyana, dan Ren Muhammad (penyelenggara) dalam diskusi Tribute To Sukarno di di Rumah Inggit Garnasih, Jalan Ciateul, Bandung, Jumat (30/09/2016). FOTO: Encep Sukontra

    Padahal Soekarno sendiri adalah gagasan, lebih dari profil atau simbol visual. Sebagai gagasan, Soekarno harus dikritik, didiskusikan, dan diimplementasikan.

    - Advertisement -

    Implementasi tidak akan terjadi jika menjadikan Soekarno hanya sebagai simbol visual.

    “Yang penting Soekarno jangan dijadikan fosil, harus dikritik, dibicarakan, diragukaan, sehingga menjadi ide yang dinamis. Sekarang cuma jadi simbol, cuma gambar doang,” kata Bonnie Triyana, Pemimpin Redaksi Majalan Historia, dalam Tribute to Sukarno di Rumah Inggit Garnasih, Jalan Ciateul, Bandung, Jumat (30/09/2016).

    Soekarno sebagai simbol hanya menghasilkan profil dan kesenangan visual, terutama bagi anak muda. Sehingga terlepas dari konteks dan gagasannya.

    “Tugas kita merelevansikan pikiran-pikiran Soekarno, sehingga kritik penting, sehingga ide-ide akan terus berkembang. Dan saya kira Soekarno selama hidupnya dikenal sangat kritis,” tambah pegiat sejarah kelahiran Banten ini.

    Ia mencatat ada lima pemikiran Soekarno yang bisa diambil relevansinya untuk kondisi negara saat ini. Pertama, kata dia, Soekarno adalah generasi pertama orang Indonesia yang merumuskan kebangsaan dengan cara modern.

    Rumusan Soekarno tentang kebangsaan berbeda dengan gerakan Boedi Oetomo (1908) yang merumuskan protonasionalisme, yakni kebangsaan yang berdiri di atas konsep etnis. Rumusan kebangsaan Soekarno berbeda pula dengan konsep national indische-nya dr Cipto Mangunkusumo.

    Bung Karno merumuskan kebangsaan Indonesia dalam pidatonya yang terkenal sebagai hari kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945.

    Soekarno menyampaikan nilai kebangsaan dengan mengutip filsuf Prancis Ernest Renan, bahwa sebuah bangsa adalah sekelompok manusia yang bersatu karena memiliki sejarah yang sama walau di dalam kelompok itu terdiri dari berbagai suku, ras, agama, bahasa dan nilai-nilai primordial lainnya.

    Nasionalisme yang dirumuskan Soekarno melampaui kesukuan, ras, etnis, dan setererusnya.

    Soekarno kemudian mempertahankan konsep kebangsaannya melalui Partai Nasinalis Indonesia (PNI). Partai yang didirikan di Bandung menjadi partai pertama yang menjadikan nasionalisme modern sebagai dasar partai, “Nasionalisme yang melampaui ras, suku, etnis, agama dan sekat-sekat primordial lainnya.”

    Jika Tan Malaka menjadi orang pertama yang memberikan sentuhan politik pada bentuk kebangsaan Indonesia, maka Soekarno menjadi orang pertama yang mendefinisikan bangsa Indonesia yang modern, yang melampaui nilai-nilai primordial.

    Bonnie Triyana mengatakan, Tan Malaka dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) menyebutkan bahwa bentuk kebangsaan Indonesia adalah republik, bukan kerjaan atau kesultanan.

    “Kita sebagai bangsa Indonesia yang baru, yang melampau hal-hal yang terlalu kecil seperti etnis dan agama,” katanya.

    Pemikiran Bung Karno yang kedua, kata dia, adalah berdikari di bidang ekonomi. Ia menyebut Bung Karno sebagai orang paling konsisten memegang teguh pendiriannya bahwa Indonesia harus mandiri, termasuk dalam mengelola kekayaan alamnya.

    Dalam sebuah pidatonya, Bung Karno menyampaikan dialog dengan anaknya, Megawati yang waktu kecil disapa Adis. Saat itu Adis bertanya kepada Bung Karno tentang kenapa Indonesia belum mengelola kekayaan alamnya.

    Soekarno menjawab, Indonesia harus bersabar menunggu insinyur atau ahli-ahli dalam negeri untuk mengelola kekayaan alam sendiri. “Bahwa berdikari perlu kesabaran revolusioner,” ujarnya.

    Kemudian pada tahun 60-an memang banyak anak-anak bangsa yang dikirim ke luar negeri, ke Eropa hingga Rusia. Dengan maksud mereka kembali membangun negeri.

    Ketiga, lanjut Bonnie Triyana, Soekarno berusaha membangun kepribadian bangsa atau nation building. Upaya ini sebagai antithesis dari mental hamba kolonial. Pada masa penjajahan, sistem sosial Hindia Belanda terdiri dari berbagai strata, yakni orang Eropa, orang timur asing dan pribumi (inlander).

    Strata Eropa lebih tinggi kedudukan sosialnya dari timur asing dan pribumi. Strata ini dimanfaatkan penjajah Belanda untuk menguasai alam pikiran pribumi. Orang pribumi harus hormat dan patuh pada orang Eropa.

    “Itu yang dilawan Soekarno, mengubah Indonesia yang bermental feodal, jongos, menjadi bangsa yang berkarakter,” katanya.

    Ketiga, kata Bonnie Triyana, Soekarno juga sebagai tokoh yang rasional dan modern. Ia sangat memegang teguh sains dan menolak klenik. Disebutkan dalam suatu perdebatan halal dan haram, Soekarno membuat polemik tentang transfusi darah. Menurut ulama tradisional waktu itu, transfusi darah harus seagama.

    “Soekarno mendebatnya bahwa transfusi darah bukan soal agama tapi soal kemanusiaan,”
    tuturnya.

    Salah satu pandangan terkenal Soekarno terhadap Islam adalah mengenai tamsil masyarakat unta dan kapal selam. “Menurut Soekarno kita harus mengambil api Islam, bukan abunya. Kita hidup di masyarakat kapal selam bukan di masyarakat unta. Indonesia harus meninggalkan kegelapan masa lalu,” tutur dia, mengutip salah satu pidato Bung Karno.

    Buah pikiran Soekarno yang kelima, sambung dia, adalah pentingnya menciptakan keadilan sosial. Bangsa Indonesia yang baru lepas dari penjajahan memerlukan kesejahteraan sosial.
    Bonnie Triyana menegaskan, buah-buah pikiran tersebut tersebut akan sulit tergali jika memperlakukan Soekarno sebagai fosil atau simbol belaka. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here