More

    Seni “Nyampah” di Bandung

    Seorang pengunjung tengah melihat instalasi karya mahasiswa Itenas di Art Up Festival 2016. Foto : Fauzan
    Seorang pengunjung tengah melihat instalasi karya mahasiswa Itenas di Art Up Festival 2016. Foto : Fauzan

    Sampah selalu menjadi persoalan di setiap kota. Mulai dari sistem pengelolaan sampah yang tidak tepat hingga kapasitas tempat pembuangan sampah yang terbatas, membuat sampah menjadi menumpuk. Meski demikian, masih banyak masyarakat yang acuh terhadap persoalan sampah.

    Melalui tangan mahasiswa dan pelajar di Kota Bandung, sampah bisa menyita perhatian masyarakat. Mereka menjadikan sampah menjadi instalasi seni yang unik dan menarik.

    Karya-karya tersebut hadir dalam acara Art Up Festival 2016 bertajuk Waste Meets Art yang digelar di Teras Cikapundung, Kota Bandung, dari tanggal 28 – 30 Nomvember 2016. Karya-karya yang dipamerkan merupakan hasil dari Upcycling Competition yang diikuti oleh Itenas, Semi Palar, Unpar dan ITB. Mereka membuatnya langsung di venue selama 30 jam.

    - Advertisement -

    Salah satunya adalah kaca beling yang diurai menjadi batangan kayu untuk menopang berbentuk abstrak dengan tinggi sekitar 1,5 meter dan lebar 60 CM dengan berat 20 Kg. Instalasi ini merupakan karya mahasiswa FSRD Itenas. Para mahasiswa menamakan isntalasi tersebut dengan “Suara Dari Seorang Ibu”.

    Zulfikar, salah satu mahasiswa pembuat instalasi mengatakan, kaca sebagai material sering dianggap ringkih dan tidak bisa terkena hentakan yang keras. Namun setelah diolah dia mampu menopang benda yang berat.

    “Kebetulan kami memang sedang eksplorasi kaca. Kaca yang kita eksplorasi menjadi struktur ternyata bisa menampung gas LPG tiga kilo,” kata Zul yang merupakan mahasiswa FSRD Itenas ini.

    Dari sana, menurut Zul, mereka menganalogikan struktur yang dibuat dari batang-batang sebanyak 120 buah sebagai penyanggah tersebut sebagai sosok Ibu. Sehingga mereka menamakan proyek instalasi tersebut dengan “Suara dari seorang Ibu”.

    “Batangan kaca-kaca itu kita analogikan sebagai sosok ibu yang bisa menanggung beban berat, tapi tidak bisa diperlakukan secar kasar. Pesannya adalah bahwa Ibu harus diperlakukan secara lemah lembut dan tidak bisa semena-semena. Dia terlihat ringkih tapi bisa menanggung beban dan tanggung jawab yang besar,” ungkap Zul.

    Namun menurutnya, tidak ada seorang Ibu tanpa kehadiran seorang anak. Karenanya mereka mengambil material yang menunjukkan sebagai seorang anak yang bisa ditopang oleh sang Ibu.

    “Anak yang dimaksud adalah bongkahan besi dengan berat 20 Kg,” kata Zul.

    Selain karya mahasiswa Itenas, terdapat juga karya dari SMA Semi Palar. Mereka membuat karya yang berjudul

    Instalasi sampah dari mahasiswa Unpar. Foto : Fauzan
    Instalasi sampah dari mahasiswa Unpar. Foto : Fauzan

    “Bukan Alasan Untuk Batasan”.

    Karya yang dibuat berupa instalasi seperti wujud manusia yang sedang terbang. Instalasi seperti manusia bersayap tersebut terbuat dari kawat dan besi yang tengahnya diisi oleh gelas plastik berwarna hijau. Bangunan manusia itu ditopang oleh bambu dan kawat, yang dibalur dengan kain berwarna merah.

    Lian Kaila, salah satu pembuat instalasi menjelaskan, karya ini terbuat dari kawat, bambu, sampah plastik, dan kain berwarna merah. Mereka menyebutnya dengan mixed media. Namun media yang paling banyak adalah sampah gelas plastik.

    “Kami memilih temanya tentang manusia. Dari tema itu kami ingin menjelaskan tentang usia manusia,” kata Tian yang saat ini duduk di kelas dua SMA.

    Menurut Tian, masing-masing media yang mereka gunakan memiliki arti. Seperti kawat yang melambangkan umur. Kemudian tusukan bambu melambangkan paradigma orang tentang anak SMA yang tidak mampu untuk berkarya, dan kain sebagai emosinya. Sementara sampah gelas plastik sebagai masalah.

    “Nah dari instalasi orang yang bentuk badannya melayang itu, kami ingin menyampaikan bahwa semua umur bisa berkarya, termasuk siswa SMA seperti kami. Karena karya itu masalah ide bukan usia,” ungkap Tian.

    Selain karya dari Itenas dan SMA Semi Palar terdapat juga karya yang tak kalah menarik dari dua kampus lain yaitu Unpar dan ITB. Kampus Unpar menghadirkan karya dengan tema “PePeLing alias Pemuda Peduli Lingkungan”. Mereka menyulap tumpukan sampah plastik bekas air mineral menyerupai gelombang banjir.

    Sementara itu ITB menghadirkan batangan besi yang dibuat berkotak-kotak dan segitga. Kemudian di tengahnya di pasang tali dari atas, bawah dan tengah dengan menggunakan tali berwarna merah dan kuning. Tim ITB ini ingin menggambarkan keberadaan masyarakat yang semakin homogen.

    Via, Koordinator Art Up Festival menjelaskan, keempat tim yang berkompetisi merupakan hasil kurasi dari dua kurator senior yaitu Robin Ali dan Heru Hikayat. Dari 10 peserta, terpilihan empat peserta tersebut.

    “Empat finalis yang terpilih yaitu Itenas, ITB, SMA Semi Palar, dan Unpar,” kata Via.

    Ia menuturkan, melalui seniman muda, sampah yang sebelumnya dianggap kotor dan tak bernilai menjadi sesuaitu yang bernilai. Targetnya adalah agar pemuda Bandung peduli dengan isu sampah.

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here