More

    Seno Gumira Ajidarma Ajak Kritik Masyarakat Mayoritas

    IMAN HERDIANA

    Seno Gumira Ajidarma saat berdiskusi bersama anak muda Bandung dalam rangkaian kegiatan Festival Indonesia Menggugat #3 : Pekan Literasi Kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Selasa (06/12/2016). FOTO : AHMAD FAUZAN SAZLI
    Seno Gumira Ajidarma saat berdiskusi bersama anak muda Bandung dalam rangkaian kegiatan Festival Indonesia Menggugat #3 : Pekan Literasi Kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Selasa (06/12/2016). FOTO : AHMAD FAUZAN SAZLI

    BANDUNG, KabarKampus-Sastrawan Seno Gumira Ajidarma mengatakan, kritik zaman sekarang berbeda dengan zaman dulu. Kritik zaman dulu ditujukan pada penguasa, sedangkan kini sasaran kritik bisa lebih luas, yakni kritik sosial pada suara mayoritas, bahkan pada kawan dekat.

    Kritik sosial yang luas itulah yang mestinya digarap para penulis atau pengarang Indonesia di era kekinian. Ia menuturkan, di jaman Orde Baru (Orba), penulis dihadakan pada dua pilihan, yakni menulis sastra dengan bahasa estetik dan menulis kritik sosial yang ditujukan pada penguasa otoriter (Soeharto).

    - Advertisement -

    “Jaman dulu membuat kritik itu susah. Kalau sekarang kan mudah sekali, mudah demonstrasi, jadi aktivis,” katanya, dalam diskusi buku Dunia Sukab, rangkaian Festival Indonesia Menggugat#3: Pekan Literasi Kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintiskemerdekaan, Bandung, Selasa (06/12/2016).

    Kini kritik sosial tidak harus selalu menggugat penguasa. Kini justru yang dikritik adalah masyarakatnya. terutama masyarakat mayoritas yang tidak jarang bertindak superior terhadap yang lain.

    “Itu menjadi lebih relevan,” ujar penulis yang produktif menulis cerpen ini.

    Seno Gumira Ajidarma yang juga wartawan di era Orde Baru (Orba) bercerita, negara otoriter yang membungkam rakyat yang kritis selalu menjadi sumber inspirasi kritik.

    “Sekarang tidak, tapi mayoritas atau orang-orang dekat yang menjadi sumber inspirasi kritik, berani tidak? Sekarang sasaran kritiknya adalah masyarakat,” terangnya.

    Ia menyebutkan, kritik terhadap masyarakat juga digarap dalam buku Dunia Sukab, kumpulan cerpen yang mengalami dua kali cetak. Ia kemudian menyinggung situasi politik Indonesia saat ini, di mana suara-suara rakyat bisa terbelah dalam konteks pemilu.

    Contohnya, kata dia, Pilpres 2015 lalu terjadi “pertengkaran” antar relawan yang bisa jadi antar kawan dekat. “Pertengkaran” ini berlanjut di Pilgub DKI kini.

    “Relawan-relawan ini bisa berbuat mengerikan, seolah-olah bisa mengancam,” ujar pria berambut gondrong yang baru saja menjabat Rektor Institut Kesenian Jakarta. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here