
BOGOR, KabarKampus – Basuki Tjahja Purnama atau yang dikenal dengan Ahok, calon Gubernur DKI Jakarta, banyak disebut telah menghina profesi dosen dalam debat terbuka yang digelar oleh KPU DKI Jakarta, (13/01/2017). Dalam debat tersebut, Ahok mengatakan “Kalau cuma ngomong-ngomong doang tapi enggak dikerjain itu kan dosen”.
Kata-kata Ahok ini bayak dipersepsikan sudah menghina profesi dosen, yang dianggap hanya mampu mengajar di kampus. Profesi yang kebetulan ditekuni salah satu kandidat saingannya.
Prof. Dr. Muhammad Firdaus, S.P, M.Si, Guru Besar Insititu Pertanian Bogor (IPB) dalam surat terbuka yang ditujukan kepada Ahok mengatakan, apa yang dikatakan Ahok tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap sejarah Bangsa, dan pemahaman terhadap Undang-Undang yang ada. Menurutnya, sejak awal zaman kolonial, pendirian Peguruan Tinggi (PT) di Indonesia antara lain didorong untuk memecahkan masalah kesehatan di tengah masyarakat, dan bidang-bidang lain seperti teknik dan pertanian.
“Jadi keberadaan PT bukan hanya menghasilkan sarjana yang bisa ber”teori”. Ini menuntut dosen yang berperan sebagai pendidik mereka, tidak boleh hanya tahu isi “text book”, tanpa memahami situasi terkini persoalan yang dihadapi masyarakat dan bangsa,” kata M Firdaus yang juga Wakil Dekan FEM IPB bidang Sumberdaya, Kerjasama dan Pengembangan IPB seperti yang disampaikan lewat akun Facebooknya Muhammad Firdaus Ipb, Minggu, (15/01/2017).
Ia mengatakan, diskusi peran PT yang bukan hanya di bidang pengajaran sudah mulai diinisiasi oleh para Pendiri Bangsa sejak awal kemerdekaan termasuk di dalamnya oleh Ki Hajar Dewantara. Secara fomal, dengan dalam UU no. 22 tahun 1961, secara jelas disebutkan PT sebagai lembaga ilmiah yang mempunyai fungsi tidak hanya melakukan kegiatan pengajaran, namun juga dibarengi dibarengi dengan kegiatan penelitian serta pengabdian kepada masyarakat atau yang dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
M. Firdaus mencontohkan, pengewejantahan amanah UU tersebut pada era awal banyak dimotori oleh mantan Dosen dan Rektor IPB yang kemudian menjadi birokrat. Salah satunya Prof. Thojib Hadiwidjaja, seorang dosen yang kemudian menjadi birokrat.
Menurut M Firdaus Prof. Thojib Hadiwidjaja, ia anggap mumpuni karena menjabat Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan pertama (persis Kemenristekdikti saat ini) pada zaman Sukarno. Kemudian ia menjadi Menteri Perkebunan dan Pertanian di zaman Suharto. Tak hanya itu, di sela-sela peralihan rezim pemerintahan ia juga sempat menjadi Duta Besar untuk Luxembourg.
“Saya merasa dengan jabatan sebagai Menteri Pertanian selama satu dekade sampai akhir tahun 1970-an, berbagai upaya yang dilakukan kemudian mengantarkan Indonesia mampu mencapai swasembada beras pada awal 1980-an. Ini membuktikan bahwa seorang dosen saat diberikan tugas menjadi birokrat, dapat sukses dalam menjawab berbagai tantangan dan persoalan,” M Firdaus yang kini juga menjabar sebagai Wakil Ketua Dewan Pengupahan Kab. Bogor dan Sekjen ISEI Bogor Raya ini.
Kemudian pria yang menamatkan gelar S1 dan S2 di kampus ITB ini mengatakan, pada tahun 2005, dikeluarkan UU no. 14 tentang Guru dan Dosen. Secara jelas disebutkan bahwa dosen dievaluasi dalam menjalankan tugas bukan hanya dari kegiatan mengajar saja, tetapi juga bagaimana dia mampu melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dengan baik.
Dengan dua tugas terakhir ini, kata M Firdaus, dosen harus mampu mengidentifikasi urgensi persoalan yang harus dijawab. Kegiatan penelitian, baik riset dasar maupun terapan, harus dapat memberikan kemanfaatan, bukan sekedar “for the sake of research”. Termasuk bila ia dimaksudkan untuk pengembangan disiplin ilmu, tentulah ilmu yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup manusia.
Ia menjelaskan, kegiatan pengabdian kepada masyarakat menuntut dosen untuk bersentuhan langsung dengan persoalan terkini yang ada di masyarakat. Seperti di DKI Jakarta yang masih menghadapi berbagai persoalan semisal kemacetan, pemukiman kumuh, atau bahkan reklamasi yang diperdebatkan, seyogyanya juga dapat menjadi perhatian serius dosen, yang kemudian menjadi bahan masukan bagi Pemerintah dalam mendesain berbagai program.
“Saya mengkhawatirkan saat peran PT atau dosen atau pihak lain diabaikan, maka solusi untuk mengatasi berbagai persoalan tadi datang hanya dari kepala sendiri,” ungkapnya.
Bagi M Firdaus, sudah sangat lazim mendengar yang disebut dengan ABGC; bahwa Akademisi (dosen, mahasiswa) bersama-sama Pelaku Usaha, Pemerintah dan Masyarakat (LSM, ormas dll.) bersama-sama mengatasi persoalan pembangunan. Oleh karena itu, sangat tidak elok salah satu pihak “melecehkan” peran dari pihak lainnya.
“Terima kasih Pak Basuki, semoga ke depan Anda memahami lebih baik peran akademisi, karena tentu Anda pernah belajar dari mereka saat duduk di PT. Saat ini pun Anda bisa melihat contoh seorang dosen yang tengah menjadi birokrat dan sukses membuat daerahnya di tanah Sulawesi terang-benderang,” tutup M Firdaus yang saat ini juga menjabat sebagai Anggota TPR Kemenaker ini.[]