IMAN HERDIANA
Konon, penghormatan kolinialis Belanda terhadap Tatar Priangan lebih tinggi daripada penghormatan pemerintah saat ini.
Sanjungan tertinggi orang Belanda terhadap Negeri Pasundan setidaknya bisa dilihat dari kalimat indah M.A.W Brouwer (1923-1991). Budayawan ini mengatakan, “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.”
Kini tulisan M.A.W Brouwer ada di salah satu sisi jebatan di Jalan Asia-Afrika. Kalimat itu pula yang dikutip musikus Acil Bimbo dalam diskusi diskusi “Problem dan Solusi Untuk Masa Depan Kawasan Bandung Utara (KBU). KBU: Berkah atau Malapetaka?” yang digelar Badan Pengurus Pusat Ikatan Mahasiswa Angkatan Muda Siliwangi di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Rabu (18/01/2017).
“Belanda yang katanya kafir, saat membangun justru sangat memerhatikan keindahan. Gedung Sate menurut saya bagunan terbaik di Indonesia,” kata Acil Bimbo.
Personel grup musik Bimbo ini mengatakan, Gedung Sate sengaja dibangun menghadap utara, bertemu muka dengan Gunung Tangkubanparahu, gunung yang juga dikagumi M.A.W Brouwer.
Belanda melarang membangun bangunan tinggi yang menghalangi pemandangan Gedung Sate ke Gunung Tangkubanparahu.
“Tapi yang terjadi hari ini, justru gedung tinggi dibangun Podomoro menghalangi Gedung Sate,” ujarnya, mengacu pada pembangunan hotel di samping Lapangan Gasibu, Jalan Diponegoro.
Menurutnya, pembangunan hotel yang menghalangi Gedung Sate menunjukkan tak ada penghormatan terhadap estetika yang dipancarkan Kawasan Bandung Utara.
Memet Hamdan, tokoh Jawa Barat lainnya, menambahkan zaman Gubernur Yogi SM sudah ditegaskan tidak boleh ada bangunan yang menghalangi Gedung Sate.
“Sampai-sampai pembangunan Monumen Perjuangan waktu itu diturunkan ketinggiannya. Sekarang malah ada Podomoro,” katanya.
Mantan Ketua BAPPEDA Kabupaten Cianjur dan Kepala Dinas Kebudayaan Jabar ini mengatakan, sejak dulu Belanda sudah memahami arti penting KBU baik secara kebudayaan maupun lingkungan.
Belanda sendiri merencanakan membangun Bandung hanya 2.000 hektar saja. Batas tertinggi yang boleh dibangun sampai PLTA Dago Bengkok. Selebihnya tidak boleh dibangun. Jumlah penduduk yang menghuni Bandung ditargetkan 750 ribu saja.
Seiring kemerdekaan, pembangunan fisik di Kota Bandung terus meningkat dan meluas. Kini, penduduk Bandung mencapai 2,6 juta pada malam hari, siangnya bisa mencapai 3 juta. Sementara panjang jalan hanya 1.000 kilometer. Jalan tersebut dipenuhi jutaan mobil dan motor tiap harinya.
“Maka tak kaget kalau macet terus,” ujarnya.
Pembangunan fisik pun kian masif, termasuk di KBU yang menjadi magnet warga luar Bandung. Memet Hamdan menyarankan agar mencabut Perda No1/2008 tentang KBU yang diniliainya tak efektif.
Ada tradisi buruk dalam pembangunan di Bandung maupun KBU. Pengembang lebih dahulu memabangun fisik sementara izin atau IMB, Amdal, dan lain-lainnya dibuat belakangan.
“Kalau Amdal, IMB, belakangan itu biasa, bangunannya jadi duluan. Itu biasa di Bandung. Yang menarik kalau Amdal, IMB, itu jadi duluan fisiknya belakangan,” katanya.
Jika KBU dibiarkan, dikhawatirkan bencana lingkungan mengancam bukan hanya KBU, tetapi juga Kota Bandung. Banjir Pasteur dan Pagarsih menjadi bukti kerusakan di KBU.
Jika M.A.W Brouwer masih hidup dan melihat kondisi Bandung saat ini, mungkin filsuf yang lama hidup di Bandung ini akan sedih karena keindahan Bumi Pasundan tinggal tulisan di Jalan Asia-Afrika. []