More

    Saat Sosmed Udah Nggak Asik

    Penulis: Rizki Aulia Rachman

    Ilustrasi sosmed / yourstory.com
    Ilustrasi sosmed / yourstory.com

    Peran internet salah satunya dalam lingkup sosial media (sosmed) dewasa ini sudah menjadi seperti kebutuhan wajib setelah makan (mie instan) dan tidur. Karena dengan jari jemari yang berkolaboriasi dengan smartphone kesayangan, segala macam informasi yang diingikan bisa segera tergali. Tak perlu lagi capek-capek mendatangi loper koran atau kongkow di warung kopi (warkop) yang sejatinya menjadi tempat bertukar informasi saat zaman kakekku masih muda.

    Saking masifnya peran sosmed  bagi kehidupan, terutama bagi kawula muda, sosmed kerap dijadikan ajang stalking banyak mantan, juga dijadikan ladang berdoa yang seakan-akan Tuhan menjadi nyata di dunia maya. Kini sosmed sedikit banyak beralih fungsi menjadi ajang ‘unjuk diri’, yang boleh dibilang sangat kebablasan. Bahkan, sosmed layaknya seperti medan pertempuran sampai titik darah penghabisan, demi memperjuangkan retorika dan sebuah kepentingan bagi segelintir golongan. Ibarat kata, sosmed sekarang sudah nggak asik buat dilabeli just for fun. Becanda dan bergurau sedikit ujung-ujungnya banyak yang berdebat saling bertukar kedunguan dengan dalih Undang-undang Informasi Transaksi dan Elektronik (UU ITE).

    - Advertisement -

    Kemudian, ‘unjuk diri’ kebablasan lainnya adalah mudahnya generasi saat ini mempercayai berita-berita, artikel-artikel, atau tulisan-tulisan di sosmed yang masih bias asal usulnya, bahasa kerennya Hoax. Meski belum 100 persen kebenarannya, tanpa crosscek dan cek and ricek banyak yang begitu saja dengan lugu atau bahkan dungu men-share kembali tulisan/artikel/berita hoax tersebut. Akibatnya, yang dulunya saling sayang jadi saling serang, yang dulunya saling tertawa sekarang jadi sama-sama jumawa, bahkan yang dulunya saling memuji bisa saling melaporkan untuk membawanya ke balik jeruji. Itu efek di dunia maya, lalu efek di dunia nyata yakni kasus bentroknya dua ormas di bumi Pasundan yang someah dengan mengatas namakan agama dan nasionalis. Miris? Biasa saja kok, bangsa ini memang gampang untuk di pecah belah.

    Sekedar informasi, tahun 2016 lalu, pihak kepolisian melalui tim Cyber Crime Bareskrim Polri mencatat ada sebanyak 2.700 laporan yang masuk dari seluruh Indonesia terkait pelanggaran UU ITE. Pelanggaran itu meliputi Pasal 27 tentang penghinaan, fitnah dan ujaran kebencian; Pasal 28 tentang kebencian SARA, dan Pasal 29 tentang informasi disertai ancaman. Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Kominikasi dan Informatika (Kemkoninfo) setahun terakhir telah memblokir belasan bahkan mungkin puluhan situs atau web-web yang diduga memuat konten SARA (kenapa yang mengandung konten Syahwat masih bisa banyak diakses, ya? Hehehe..), meskipun langkah pemerintah ini masih menimbulkan pro dan kontra, karena diduga untuk menjatuhkan golongan keyakinan tertentu. Ehtahlah!

    Rasanya jika sudah seperti ini menjadi hipokrit untuk menyalahkan keadaan. Tapi, satu sisi penulis yang masih merasa anak muda mejadi rindu saat dulu sosmed cuma menjadi ajang curhat dan nyekil dengan status galau buat gebetan yang nggak peka, juga menjadi ajang lucu-lucuan, buat tag atau share foto-foto culun saat masa sekolah dan kuliah dulu. Nyatanya, dengan begitu bisa mengingatkan kembali akan kerinduan, karena pernah tertawa bareng tanpa memandang latar belakang, bahkan tidak ada istilah siapa aku siapa kamu. Linimasa sosmed mengalir tenang tanpa ada cap Hoax and only just for fun.

    Lalu, kalau sudah begini, sebagai generasi muda khususnya mahasiswa harus apa? Ya, satu kata, Kritis! Nanti dulu, kritis disini bukan mengajak untuk turun ke jalan sambil teriak-teriak semu pakai toa, bukan juga mengajak untuk memusuhi pemerintah yang memang sudah tuli dan buta dari sananya. Tapi, kritis yang dimaksud ialah mari menjadi lebih kreatif, kreatif untuk membuat bangsa ini bewarna kembali dengan perbedaan tap bisa menguatkan persatuan. Kritis dengan bermain lalu bermanuver cantik. Karena untuk menjadi kritis itu bukan berarti menjadi benci dan tidak saling mencintai.

    Langkah kongkritnya seperti apa? Mari sama-sama kompak untuk suarakan kebenaran, suarakan kedamaian, dari suara hati anak muda yang mengedepankan kasih sayang yang paling dalam. Hmm menyuarakan semua itu melalui apa? Yap, melalui media-media yang milik milik mahasiswa itu sendiri. Jika sekarang masyarakat sudah jengah dan jenuh karena media-media mainstream sudah dikuasai oleh-oleh orang yang punya kepentingan. Saatnya sekarang  media-media mahasiswa menjadi media alternatif bagi khalayak, menjadi lebih kreatif dan dipercaya masyarakat.

    Tak usah muluk-muluk untuk menjadi mahasiswa yang ‘rajin’ di kampus, jika urusan tugas saja masih copy paste. Kampus itu sejatinya miniatur Negara, keberagaman ada didalam kampus tersebut. Kadang, anak muda bisa dibilang sukses sebagai mahasiswa yakni saat menjadi perusuh ketimbang menjadi pesuruh. Mari lakukan perubahan trend di kalangan mahasiwa, karena ukuran keren bukanlah dilihat dari seberapa good-looking-nya style atau gaya menulis dan update foto kau di dunia maya. Sehingga pandai bermain di dalam like and share. Akan tetapi, lebih kepada pemikiran. Sudahlah, jangan kau semakin asik dengan dunia sendiri. Sejatinya, mahasiswa itu Agen Perubahan, bukan Agen Yang Diubah Keadaan! Merdeka atau Galau, kau yang tentukan sendiri.[]

    Salam Sayang, dari Rizki Aulia Rachman, Jurnalis yang cinta vespa dengan seluruh kenangannya. Calon penghuni surga, pastinya setelah mengantri lama di neraka.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here