Kelompok teater ini terbilang nyeleneh. Dicap sebagai kelompok yang anti-gedung pertunjukan dan vandal.
Creamer Box, nama kelompok teater itu, didirikan oleh Bob Teguh, alumnus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI yang kini ISBI) Bandung pada 2001.
Dalam perjalanan manggungnya, kelompok teater ini dikenal sering main di sembarang tempat. Bagi mereka, panggung adalah alam semesta, di mana pun bisa pentas.
“Main di kantor kecamatan, di lahan parkir, di tempat adu domba, itu jadi biasa bagi kami,” kata Bob Teguh, kepada KabarKampus, di sela pementasan Legenda Sangkuriang Dekontruksi di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Rabu (26/4/2017).
Di perpustakaan yang didirikan sastrawan Ajip Rosidi itu, mereka pentas di atas panggung mini ukuran 1,5×2 meter.
“Panggung tersebut termasuk besar, kami pernah main di atas drum,” kata seniman jurusan teater yang kemudian menekuni seni rupa STSI angkatan pertama.
Tak hanya itu, selama menonton pertunjukan, penonton dibolehkan makan, minum, sampai motret menggunakan flash, hal yang tabu bagi pertunjukan tetater.
Menurut Bob Teguh, Creamer Box tak ingin terpaku pada panggung konvensional dimana pemain tidak boleh membelakangi penonton. Ia menyebut konsep panggung tersebut bersifat Rendrais yakni estetika selalu ada di depan panggung atau di hadapan penonton.
Kebebasan juga diberikan kepada penonton. Mereka boleh makan, minum, hingga motret pakai flash selama pertunjukan. Karena konsep tersebutlah Creamer Box disebut kelompok teater vandal.
“Kalau kami disebut vandalis, celakanya kami bangga,” katanya.
Bagi Creamer Box, pementasan teatar memerlukan keseimbangan baik di dalam maupun di luar gedung. Creamer Box pernah berkolaborasi dengan kaum difabel untuk memainkan lakon Sangkuriang. Kolaborasi ini mendapat respons baik dari pengunjung karena dinilai terobosan. []
