Menjelang buka puasa, Gedung Kesenian Rumentang Siang hampir penuh, Rabu (31/05/2017). Tokoh yang dinanti tiba, Hj. Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Istri almarhum Gus Dur, Presiden Keempat RI, itu datang menggunakan kursi roda.
Shinta yang mengenakan kerudung kuning didampingi Romo Abi dan Atalia Praratya Kamil, istri Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Mereka duduk menghadap hadirin.
Kelompok seni marawis kemudian membawakan lagu salawat yang pernah dilantunkan Gus Dur. Setelah itu, seorang musisi difabel mulai menstel gitar akustiknya, dengan harmonika di leher.
Lagu Iwan Fals “Di Bawah Tiang Bendera” dinyanyikan. Hadirin menghayati sajian akustik dari musisi bernama Widi itu, vokalnya mirip Iwan Fals.
Kita adalah saudara
Dari rahim ibu pertiwi
Ditempa oleh gelombang
Dibesarkan jaman
Di bawah tiang bendera
Demikian sepenggal lirik yang aslinya dibawakan Iwan Fals feat. Franky S, Ian Antono dan sejumlah artis.
Lirik itu sejalan dengan tema acara buka puasa bersama Ibu Shinta itu, yakni “Dialog Kemanusiaan Bersama: Dengan Berpuasa Kita Genggam Erat Nilai Demokrasi dan Kebhinnekaan”.
Acara tersebut rutin dilakukan Shinta sejak tahun 2000, ketika Gus Dur masih menjabat presiden. Awalnya acara dikemas lewat sahur keliling yang diisi dengan dialog kemanusiaan. Belakangan ditambah dengan acara buka bersama.
Shinta lewat Yayasan Puan Amal Hayati yang dipimpinnya, bekerja sama dengan banyak pihak, baik dengan ormas Islam maupun non-muslim. Tujuannya tidak lain untuk memperkuat persaudaraan dan kebhinnekaan Indonesia.
“Ini yang ke-17, sudah dilakukan 17 tahun,” ujar Shinta. “Di sini saya berhadapan dengan berbagai agama.”
Ia meminta hadirin yang beragama Islam untuk angkat tangan, lalu hadirin beragama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kongucu, Kepercayaan Sunda Wiwitan, Bahai, Syiah, Ahmadiyah. Beberapa hadirin tunjuk tangan saat agamanya disebut, ada juga yang malu-malu. Setelah itu Shinta mengabsen suku bangsa hadirin.
“Ada Batak? Padang? Minang? Beruntunglah yang jadi tetangga orang (rumah makan) Padang,” kata dia berkelakar. Hadirin pun tertawa.
Saat ia mengabsen adakah hadirin yang orang Banjar? Hadirin sedikit berisik, ada juga orang Banjar, Ciamis, yang ngacung. “Maksud saya Banjarmasin,” ucap Shinta. Hadirin kembali tetawa.
Ia menjelaskan, setiap penganut agama yang ada di Indonesia pasti memiliki identitas suku, entah itu Sunda, Jawa, Dayak, Bugis, Bali, Sasak-Lombok, Ambon, Papua, dan lain-lain.
Menurutnya, semua keragaman atau kebhinnekaan itu tinggal daerah-daerah yang menjadi bagian Indonesia.
“Jadi Islam, Hindu, Kristen, Katolik dan semuanya tinggal di Indonesia. Lalu siapakah kita? Kita adalah Indonesia,” katanya.
Dengan kata lain, semua warga Indonesia bersaudara karena hidup di bumi yang sama, hidup di bawah tiang bendera yang sama. “Apa pantas kita saling berkelahi, saling mencaci, saling cakar-cakaran, saling hujat, bentrokan, berebut lahan?”
“Kalau tidak pantas, lantas harus bagaimana, harus hidup rukun dan damai, saling menghormati, menghargai, menyayangi,” lanjut Shinta.
Singkatnya, Shinta mengajak warga Indonesia untuk menjunjung tinggi toleransi. Dengan cara ini keutuhan NKRI bisa dijaga dan dirawat.
“Semua yang ada di sini adalah pelangi yang menghiasi bumi pertiwi kita yang begitu indah. Kalau satu warna hilang kita akan kehilangan keindahan,” ujarnya.
Acara tersebut ditutup dengan tanya jawab dan buka puasa bersama. Selanjutnya, Shinta melanjutkan dialog kemanusiaan di Paseh, Kabupaten Bandung, kemudian Cirebon, lalu menyeberang ke Jambi dan Kalimantan. []