Sebelas tahun silam, 17 Juli 2006, berita mengejutkan dari kawasan Pantai Pangandaran. Pantai yang berada di selatan Jawa Barat itu tersapu Tsunami. Korban jiwa berjatuhan.
Dalam catatan sejarah, Tsunami Pangandandaran diawali gempa berkekuatan M7.7 ddi lepas pantai Pangandaran. Tidak ada yang menyangka, bahwa gempa ‘moderate’ ini biasanya tidak menimbulkan gelombang dahsyat. Tapi kenyataannya….
Masyarakat yang berada di tepi pantai, yakni di daerah Sukaresik, Wonoharjo, Cilacap, dan Pangandaran tak siap melakukan evakuasi. Lantaran tidak merasakan gempa sebelumnya. Dalam catatan National Geographic Indonesia yang mengutip penelitian Muhari (2007), menyatakan sebanyak 40 persen warga merasakan gempa sangat lemah. Sementara 20 persen merasakan gempa cukup kuat.
Sehingga evakuasi dilakukan setelah gelombang berada di bibir pantai. Dari kesaksian jurnalis yang melakukan liputan kala itu, sampai di Pangandaran, mereka menyaksikan mayat-mayat terbaring, rumah hancur, dan keadaan begitu kalut.
Lantas apakah para nelayan jera bertarung mengarungi lautan?
Sama sekali tidak. Begitu pula lah yang kita lihat di Aceh. Para nelayan tetap ke laut meskipun tragedi (bencana tsunami) telah menimbulkan trauma dan luka yang demikian hebat. Mereka menyadari, laut luas yang bergelombang besar itu adalah halaman luas yang mampu memberikan harapan.
Kini Pangandaran telah berubah. Sejak tahun 2012 telah menjadi Pemerintah Kabupaten Pangandaran. []