More

    Catatan Soal Rohingya : Kritik Untuk Prodi HI

    Penulis: Muhnizar Siagian

    Pertama, saya menyoroti ada gerombolan orang yang terus menungganggi dan memberikan informasi yang tidak berimbang dan melakukan reduksi terhadap satu masalah di luar negeri yang ada hubungannya dengan Islam untuk kepentingan kelompoknya. Harus dipahami tidak semua masalah yang ada hubungannya dengan islam seperti di Timur Tengah dan Rohingnya itu murni masalah agama, namun memang untuk berbagai kepentingan oleh segelintir orang masalah ini dikecurutkan menjadi murni masalah agama.

    Ilustrasi. Foto : Greg Constantine /abc.net

    Masalah Rohingnya merupakan masalah yang kompleks, bisa dikaji dari berbagai sudut pandang yaitu sejarah, kepentingan nasional Myanmar, studi konflik, hubungan militer dan sipil, hingga dari kacamata ekonomi politik yang bisa menganalisis soal pipa minyak di kawasan Rakhine. Rendahnya tingkat literasi orang Indonesia semakin menyuburkan keadaan ini, keadaan yang semua ditanggapi dengan gagap terlebih ketika ada segerombolan yang membelokkan isu ini ke arah sentimen agama. Saya melihat ada keinginan dari gerombolan ini untuk membawa-bawa konflik di luar sana yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan Indonesia ke dalam politik domestik di Indonesia.

    - Advertisement -

    Saya di sini juga mengkritik semua alumni Hubungan Internasional dan lembaga yang terkait termasuk kampus-kampus yang memiliki program studi HI untuk “turun gunung”, mengganti bahasa-bahasa diplomatik di kelas yang ruwet dengan bahasa rakyat banyak, untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, sebagai tanggung jawab intelektual dan moral sarjana HI meluruskan salah pendapat dan opini dangkal yang ada di masyarakat terkait berbagai konflik yang ada hubungan dengan Islam, tekhusus soal Rohingya.

    Saya pikir ini masalah yang mengakar dalam studi HI di Indonesia. Suasana elitis memang begitu terasa, karena mimpi-mimpi menjadi diplomat dan mengurus hal yang besar-besar antar negara sudah menjadi imajinasi kedepan, hingga lupa bahwa banyak hal-hal kecil yang harus diupayakan, salah satunya memberi edukasi diantara obrolan warung kopi hingga menulis di media sosial, untuk memberi perimbangan opini dan infomasi, meminjam bahasa Ibu Dina Sulaeman, menggunakan bahasa “ibu rumah tangga” dalam menulis dan mengurai soal fenomena HI yang begitu kompleks.

    Ilustrasi. Foto : Greg Constantine /abc.net

    Kedua, soal militerisme di Myanmar. Apapun itu, kita benar-benar mengutuk tindakan kejam yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingnya. Tapi tentu kita tak boleh mempunyai sikap “semut di seberang pulau tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak”. Militer Myanmar pernah berguru pada Indonesia soal bagaimana menjaga stabilitas, dari laman tirto disebutkan

    “Dalam laporan bertajuk Love at first sight: SLORC meets ABRI yang terbit di Inside Indonesia pada 1997, jurnalis Andreas Harsono memaparkan bagaimana surat kabar pemerintah Myanmar membingkai relasi diplomatik Indonesia-Myanmar sebagai dua bangsa bernasib sama. Tak ada negara lain yang lebih dekat dengan rezim (militer Myanmar) ketimbang Indonesia, kata seorang diplomat senior di Yangon. Di mata para jenderal Myanmar, Indonesia sudah seperti ‘abang’, demikian kata sang diplomat. Hubungan diplomatik kedua negara meningkat sejak sekitar tahun 1993. Dalam sebuah lawatan ke Jakarta, seorang jenderal dikabarkan menyatakan keinginannya mempelajari tiga pijakan resmi negara yang menjadi alat legitimasi kekuasaan Orde Baru: Pancasila, UUD 1945, dan Dwifungsi ABRI.”

    Memang jika kita telisik ada kemiripan antara militer Indonesia dan Myanmar. Dua negara ini juga pernah mengalami masa otoritarian di bawah cengkraman militer. Dennys Lombart dalam bukunya Nusa Jawa menjelaskan bahwa militer Indonesia dalam sudut pandang historis tidak disiapkan untuk menangkal musuh dari luar (eksternal) tapi lebih kepada dua fungsi internal. Pertama menyampaikan dan memastikan komando pusat ke daerah, yang tentu dengan cara cara militer. Kedua adalah menyelesaikan permasalahan pemberontakan dan separatisme.

    Militer Myanmar yang menyerbu Rohingnya bisa kita kaji dalam dua ciri yang disebutkan Lombart di atas. Adanya pemberontak di daerah Rakhine oleh Arakan Revolution Salvation Army (ARSA) yang melakukan provokasi lalu dibalas dengan membabi buta oleh militer Myanmar, juga faktor historis bahwa masalah ini sudah ada sejak lama dan dikomandoi dari pusat militer Myanmar untuk mengusir etnis Rohingya yang tidak dianggap sebagai bagian dari warga negara Myanmar.

    Tapi tentu kita bertanya, mengapa yang sampai ke Indonesia adalah lebih dominan kepada isu agama Budha vs Islam? karena jika membawa isu militerisme Myanmar maka dengan tidak langsung akan memantik perbincangan soal kekejaman militer, yang sebelas dua belas juga terjadi di Indonesia, memancing diskusi untuk membuka babak kelam sejarah kekerasan di Indonesia yang dilakukan oleh militer, seperti kasus 65, penculikan dan penghilangan orang masa ORBA, kekerasan kelam di Timur Timor, Papua dan Aceh, juga kasus Tanjung Priok dan kekerasan aparat terhadap sengketa lahan yang masih terjadi hingga hari ini.

    Ketiga, saya menyoroti secara teoritik dan praktik, pendekatan Wesphalia sunggung sangat bermasalah. Di dalam wacana Wesphalia bahwa puncak pemikiran filsafat politik adalah negara dengan sifat bawaannya, yaitu tidak boleh dicampuri urusan dalam negerinya atas nama kedaulatan. Impermeabilitas merupakan terminologi untuk menjelaskan negara menutup semua pintu untuk adanya pihak asing yang mengintervensi kebijakan yang negara ambil (Fasbender,1997: 117). Di balik bahasa kedaulatan ini, negara sah untuk mengambil keputusan sebagai otoritas tertinggi yang mempunyai legitimasi untuk mengambil keputusan berbentuk kekerasan yang melanggar hak asasi individu atau kelompok yang terletak di dalam wilayah mereka (Biersteker, 2013: 261).

    Cara bernegara seperti inilah yang menjadi asal muasal kekerasan yang dilakukan negara di dalam wilayah otoritasnya. Atas nama kesatuan negara dan adanya ancaman dalam negeri menurut opini otoritas, negara kerap melakukan kekerasan sistematis. Demi sebuah peta tetap utuh,  saya tidak tahu, apa Tuhan setuju dan merestui peta bumi yang kita buat, kita tarik garis-garisnya untuk saling membatasi, yang menghasilkan ini kami dan diseberang batas itu mereka. Lalu militer berjaga dan kekerasan hal yang biasa dan menjadi budaya sejak jaman orang eropa mampu membuat peta, lahirlah kolonial, meratau jauh untuk menaklukkan.

    Di Myanmar hari ini kita saksikan militer Myanmar sebagai otoritas pemerintahan masih melakukan kekerasan berulang-ulang kepada penduduk muslim Rohingya, Thailand dengan Patani, dan Indonesia tentu kita ingat kasus Aceh, Timor Timur dan Papua yang masih dirundung malang hingga hari ini. Di Indonesia atas nama NKRI harga mati, sejarah mencatat ujung sepatu dan moncong senapan militer Indonesia begitu berlumuran darah, kembali demi sebuah peta. Tapi kita memang bangsa pelupa, atau tak mau jujur dengan masa lalu, hingga lebih suka obrolan yang jauh di luar sana, agar tak menyinggung banyak pihak yang terlibat yang hari ini masih punya kuasa di Indonesia. Membicarakan Rohingya harusnya membangunkan ingatan kita terhadap kekejaman militer yang juga terjadi di Indonesia.

    Kita harus menggeser negara sebagai puncak pemikiran filsafat politik dan sebagai otoritas tertutup dalam mengambil keputusan. Jika sistem ini tetap berlanjut dalam bernegara maka tetap akan ada potensi kekerasan. Jika dalam pendekatan Weshphalia negara aktor utama dan puncak filsafat politik, maka dalam post wesphalia,  kemanusiaanlah yang harus menjadi puncak filsafat politik yang menghasilkan seperangkat aktivitas politik. Dalam pendekatan post-weshpalia ada ruang yang besar untuk menyelesaikan konfik dengan pendekatan kemanusiaan. Saya begitu rindu Gusdur yang sudah memulai ini, ia melihat Aceh dan Papua dengan matanya yang paling tajam serta halus, mata hati nurani. Sistem demokratis harus terus diupayakan dan diperbaiki karena akan membuka ruang kontrol yang kuat dari masyarakat sipil terhadap kebijakan yang pemerintah ambil, memperkuat masyarakat sipil yang kritis dan humanis merupakan agenda kita bersama.

    Keempat, solidaritas yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia tentu sangat penting, namun di dalam negeri ada rasa solidaritas yang juga diperlukan. Kekerasan di Papua, pemeluk Syiah, Ahmadiah dan baru baru ini Sunda Wiwitan kerap mengalami kekerasan dan intimidasi. Solidaritas imajiner, bahwa bersolidaritas merupakan hasil akhir dari pembentukan wacana, kepada siapa saja kita harus dan boleh bersolidaritas. Lewat ceramah, kampanye, demontrasi, pemberitaan di media cetak maupun media online baik berita yang benar atau hoax yang bisa membangkitkan naluri keagamaan dan identitas untuk bersolidaritas. Solidaritas seperti ini berpotensi menjadi solidaritas yang sempit. Yang harus kita mulai adalah kepada siapapun jika terjadi pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusiaan maka kita akan bersolidaritas tanpa memandang agama, etnis dan identitasnya. Bahkan kepada monyet, para binatang dan berbagai tumbuhan kita juga harus bersolidaritas karena tempat tinggalnya di Indonesia sudah menjadi perkebunan sawit dan pertambangan.

    Kelima, banyak kritikan terhadap Aung San Suu Kyi yang meraih nobel perdamaian pada tahun 1991. Sebagai tokoh yang getol mengkritik militer dan pro demokrasi Aung belum mampu berbuat banyak terhadap etnis Rohingya di negaranya. Namun jika ditelaah dalam kajian politik praktis, apa yang dilakukan Aung adalah pilihan rasional yang harus ia ambil. Pertama, Myanmar masih dalam proses transisi dan militer masih mempunyai kekuatan yang kuat dalam perpolitikan Myanmar. Kedua publik Myanmar terbelah menjadi dua dalam persoalan Rohingnya, ada yang mendukung namun juga ada yang mengecam tindakan militer yang mendapat dukungan dari organisasi garis keras Biksu Ma Ba Tha. Membicarakan soal Rohingnya tentu akan membuat Aung kehilangan banyak dukungan di dalam negeri. Begitulah politisi, seperti pepatah lama, politisi bukan memikirkan generasi selanjutnya, tapi hanya memikirkan dan menimbang-nimbang soal dukungan yang ia akan dapat dalam pemilu yang akan datang.

    Terakhir, saya harus mengapresiasi apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Namun terdapat beberapa catatan kritis. Pemerintahan Jokowi dan juga tentu pemerintahan sebelumnya terlihat agak tergopoh-gopoh setiap merespons isu yang bersifat kemanusiaan. Saya harus tegaskan ini merupakan peninggalan rezim orde baru.

    Pada masa Sukarno dengan Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non Blok, Indonesia dalam politik luar negerinya tetap mengimbangi antara “solidarity-humanism oriented” dan “economic oriented”, namun di era Orde Baru, dengan rezim pembangunan, PLNRI  berubah orientasi,  total kepada “economic-develomentalism oriented”, karena kita butuh hutang dan modal yang besar untuk pembangunan. Resikonya kita kehilangan dukungan Asia-Afrika, terlebih Afrika yang merasa Indonesia tinggalkan, dengan cara berteman Indonesia yang mengedepankan “friends with benefits”. Kita hanya berteman dengan negara-negara yang secara ekonomi kuat, terlebih Blok Amerika Serikat. Ada sindiran yang menarik, jika dulu diplomat kita yang semuanya tidak mendapat pendidikan diplomasi formal hanya “tactical person” (meminjam istilah Prof. Mestika Zeid) dalam forum-forum internasional membawa gagasan-gagasan besar, tapi sekarang diplomat Indonesia yang sudah mendapat pendidikan formal dalam forum internasional hanya membawa “map biru” yang isinya proposal hutang. Banyak sudah keburukan dari cara pandang pembangunanisme ini, yang bagi Ignas Kleden harus diakhiri dengan memulai Indogenisasi, kembali merumuskan Indonesia secara utuh baik dalam ilmu pengetahuan atau praktik diplomasi dan politik luar negeri, mungkin dengan kembali memutar kemudi kapal politik luar negeri kita ke Asia-Afrika, “mambangkik batang tarandam” begitu mungkin pepatah minang yang artinya membangkitkan kembali marwah/kehormatan yang telah lama diabaikan, menghidupkan kembali semangat Asia-Afrika yang kental beraroma kemanusiaan.[]

    *Penulis adalah dosen  dan pegiat literasi Museum Konferensi Asia Afrika

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here