More

    Menengok Diplomasi Indonesia Untuk Rohingya

    Penulis : Panji Haryadi

    Saya telah menugaskan Menlu dan duta besar Indonesia menjalin komunikasi intensif dengan berbagai pihak termasuk dengan sekjen PBB Antonio Guterres dan komisi penasihat khusus untuk Rakhine State, Kofi Annan dan sore tadi Menlu telah berangkat ke Myanmar utk meminta pemerintah Myanmar agar menghentikan dan mencegah kekerasan, agar memberikan perlindungan kepada semua warga termasuk muslim di Myanmar dan agar memberikan akses bantuan kemanusiaan,itulah salah satu pernyataan Presiden Jokowi terikait isu Rohingya yang disampaikan beliau di istana negara pada hari Minggu, 3 September 2017.

    Keesokan harinya, Menlu Indonesia, Retno Marsudi sudah bertemu dengan dengan State Counsellor Daw Aung San Suu Kyi di Nay Pyi Taw, Myanmar. Dalam pertemuan tersebut Retno menyampaikan usulan Indonesia yang disebut Formula 4+1 untuk Rakhine State.  Empat elemen ini terdiri dari: (1). Mengembalikan stabilitas dan keamanan; (2) menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan; (3) perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine State, tanpa memandang suku dan agama; dan (4) pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan kemanusiaan. (Kemlu: 2017)     

    Sejarah Diplomasi Indonesia untuk Rohingya

    - Advertisement -
    Menlu RI bersama Aung San Suu Kyi, Counsellor Myamar. Dok Kemenlu.

    Diplomasi Indonesia terhadap Myanmar terkait isu Rohingya bukan pertama kalinya, di tahun-tahun sebelumnya juga pernah terjadi. Februari 2009, perahu pengungsi Rohingya tiba di Thailand melalui laut Andaman. Pemerintah Thailand kemudian mengusir mereka untuk kembali ke lautan, diketahui mereka akan menuju Malaysia atau Indonesia. Menlu Indonesia pada waktu itu Hassan Wirajuda segera bereaksi, tanpa menyebut Myanmar, beliau menyatakan bahwa siapapun tidak bisa membuang manusia begitu saja ke lautan, negara asal mesti menghormati Hak Asasi minoritas dan pengungsi. Seperti menyindir Myanmar dan Thailand, pernyataan tersebut menjadi sinyalemen dari Indonesia bahwa isu Rohingya sudah masuk ke ranah kepentingan regional Asia Tenggara.

    Pada ASEAN Summit ke-14 Februari 2009, perwakilan Indonesia menyatakan masalah “illegal immigrants”—Indonesia mencoba menghormati pemerintah Myanmar yang menolak menggunakan istilah “Rohingya”, dan menggantinya dengan istilah “illegal immigrants”, harus ditindaklanjuti pada skala pembahasan yang lebih luas, yakni di forum Bali Ministerial Conference. Benar saja, April 2009, pada forum Bali Ministerial Conference ke-3, walaupun tidak sempat menjadi pembahasan di sidang pleno, perwakilan Indonesia dan Australia pada pidato penutupan menyatakan bahwa isu pengungsi mesti menjadi perhatian khusus.

    Juni 2012, kerusuhan antara Muslim Rohingya dan Mayoritas Budha di Rakhine kembali terjadi. Atas kejadian ini Menlu Indonesia pada waktu itu, Marty Natalegawa, mengatakan bahwa Indonesia sejak tahun 2010 selalu menjadikan isu Rohingya sebagai agenda politik luar negeri karena bagaimanapun apa yang terjadi di Rakhine akan membawa gelombang pengungsian ke Indonesia.

    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga dalam hal ini memberikan reaksi langsung, yakni dengan mengirimkan surat ke Presiden Myanmar Thein Sein. Dalam suratnya SBY meminta Thein Sein mau menerima pengamat internasional untuk membantu menyelesaikan konlik di Rakhine. Selain itu beliau juga menawarkan bantuan untuk mengirimkan ahli penyelesaian konflik komunal, yakni wakilnya sendiri Jusuf Kalla. Pengalaman Kalla untuk menyelesaikan konflik di dalam negeri Indonesia sudah tidak diragukan. SBY mengatakan dikirimnya Kalla ke Myanmar merupakan wujud “solidarity for our Rohingya brothers”.

    Bulan September 2012, di Myanmar Kalla menandatangi persetujuan kerjasama antara Palang Merah Indonesia (PMI) dengan pihak otoritas Myanmar mengenai bantuan kemanusian dan rekonstruksi paska konflik. November 2012, dalam pertemuan sela ASEAN Summit di Phnom Penh, SBY bertemu dengan Thein Sein. Berdasarkan pernyataan jubir kepresidenan Indonesia, Sein menyambut baik bantuan dari Indonesia, dan menegaskan bahwa konflik di Rakhine bukanlah isu keagamaan.

    Kemudian, terkait isu Rohingya, Indonesia mengangkatnya lagi dalam skala organisasi yang lebih besar, yakni Organisiasi Konferensi Islam (OKI). Dalam pidatonya pada OKI Summit ke-4, Marty Natalegawa mengatakan bahwa OKI perlu terlibat untuk penyelesaian konflik Rohingya demi terciptanya proses reformasi dan demokratisasi di Myanmar. Output dari pertemuan tersebut adalah dibentuknya tim khusus dari OKI yang bertugas untuk mendorong terhentinya kekerasan dan diraihnya status warga negara untuk etnis Rohingya.

    Pemerintah Myanmar menyambut inisiasi dari OKI tersebut dengan ditandatanganinya perjanjian kerjasama antara OKI dan Myanmar, yang mana salah satu poinnya adalah mendirikan kantor kemanusiaan OKI di Myanmar. Sayangnya, menjelang pembukaan resmi kantor tersebut di bulan Oktober 2012, massa di Myanmar melakukan protes dan melakukan blokade. Atas kejadian tersebut, Presiden Thein Sein membatalkan perjanjian OKI-Myanmar dengan alasan hal tersebut tidak dikehendaki oleh rakyat Myanmar. Konsesi dari kejadian tersebut, pemerintah Myanmar mengizinkan dibukanya bantuan dari OKI untuk Rohingya melalui jalur PMI yang sedang beroperasi di sana. (Donald E. Weatherbee: 2013).

    Diplomasi di Era Jokowi

    Semenjak kekerasan terhadap etnis Rohingya terjadi kembali pada bulan Oktober 2016, Indonesia masih melakukan pola diplomasi yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya, yakni dengan diplomasi halus. Jokowi pada Desember 2016 mengatakan bahwa Indonesia tidak akan melakukan megaphone diplomacy terhadap Myanmar, yakni diplomasi yang gaduh, protes keras melalui media.

    “Kita sudah lakukan tanpa menggunakan megaphone diplomacy. Diplomasi telah menjalankan tugasnya untuk menunjukan kepedulian tanpa kegaduhan,” papar Jokowi.

    Menurut Dubes Indonesia untuk ASEAN, Rahmat Pramono, Myanmar lebih nyaman dan bisa lebih terbuka dengan Indonesia ketimbang dengan Malaysia yang biasa melontarkan kritik keras. Berbekal pengalaman Indonesia menangani konflik-konflik komunal di Indonesia, terlebih Indonesia sebagai negara besar yang etnisitasnya jauh lebih kompleks dibanding Myanmar, dan nyatanya bisa kokoh tetap berdiri hingga hari ini, Indonesia tentunya mempunyai poin lebih tersendiri di mata Myanmar.

    Kini ketika kerusuhan di Rakhine kembali terjadi, semoga soft diplomacy yang dilakukan Indonesia bisa segera membuahkan hasil dan meringankan derita Rohingya.

    *Penulis adalah dosen Hubungan Internasional Unpas

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here