More

    Sesat Pikir Atas Makna Senioritas

    Penulis : Sulaeman Satirleman*

    ‘’Kami menerima siapapun dia, darimanapun asalnya, asal dapat dijadikan saudara atas sesama’’(Syahadat Pembebasan Mahasiswa)

    Sulaeman Satirleman

    Tulisan singkat ini hendak memprovokasi para pembaca dan memperlihatkan kepada pembaca utamanya mahasiswa yang ada di kampus-kampus dan akademi lainnya. Bahwa ada suatu problem yang sebenarnya sangat merisaukan, namun kerap dianggap wajar.

    Problem tersebut adalah berbagai tindakan bullying, hingga menimbulkan tekanan psikologis yang akut. Sumbernya berasal dari struktur sosial yang tanpa diketahui bermula dari mana. Tapi dibalik baju kebesaran inilah, sedikit demi sedikit telah menjadi lumbung sumber kekerasan.

    - Advertisement -

    Sumber kekerasan

    Martabat dan status senior seringkali dianggap sebagai harkat tertinggi di ranah spasial  kampus. Terlebih khususnya dikampus kampus yang masih kental pola pengaderan yang nuansanya mirip mirip sistem feodal ala zaman dulu. Tidak heran jika muncul pelbagai praktek pencekokan mengatasnamakan senioritas di berbagai struktur sosial utamanya mahasiswa.

    Semua kalangan mungkin akan bertanya tanya, sejak kapan kebiasaan perilaku relasi antar senior junior ini lahir? Tentu mustahil jika ini dinyatakan datang bersamaan atau berlawanan dengan para kaum di kampus kampus yang hanya memiliki modal mengaku senior, plus teriakan yang selalu dideringkannya untuk  meneriakkan Marxisme sebagai paham yang menolak adanya kelas kelas dimasyarakat. Namun naas kadang  ternyata teori hanya sebatas teori, Marxisme yang diperjuangkan banyak orang nyatanya di tataran realitas, panggilan seperti senior junior diaminkan banyak orang.

    Namun terlepas dari cerita penulis di atas atau proses perjalanan pengetahuan pembaca semua. Saya ingin mengajak pembaca atau kita semua untuk sejenak mengingat, mengenang Karl Marx, si  kakek tua seksi yang hangat menjadi perbincangan hari ini, baik yang pro terhadapnya maupun yang tidak.

    Sedikit menyinggung soal Marx, yang barangkali menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa, terutama bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi, Filsafat atau Fisipol. Namun demikiat mengingat waktu belajar yang terbatas, para mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini belum tentu menamatkan Daskapital jilid satu saja sepertinya tidak akan sampai.

    Maka dari itu Markx rasanya lebih hidupdan sering diperbincangkan lewat diskusi diskusi atau di panggung – panggung resisten perlawanan. Pisau analisis Marx dianggap selalu seksi , makanya sangat laris di tataran mahasiswa aktivis gerakan, baik intra kampus maupun extra kampus.

    Hal inilah yang kemudian mengantarkan penulis untuk tidak ragu dengan para mahasiswa, aktivis  kampus, aktivis gerakan. Terlebih kepada yang gemar berorganisasi, rajin membaca buku dan aktif berdiskusi, dari yang sekedar membaca betul-betul atau betul betul membaca, yang memahami sosialisme Marx sekedar sebagai ilmu pengetahuan, dan mengaminkan serta mempraktikkan  sebagai ideologi.

    Di sini penulis hendak mengangkat teori kelas Marx, konklusi penulis bahwa teori kelas dan pertetangan Karl Marx dalam mewujudkan cita-citanya soal masyarakat komunal ‘’tanpa kelas’’ nyatanya sekedar menjadi teori belaka. Hal ini karena, di tataran kampus kita sering tidak konsisten dalam menerapkan Marx. Seperti kerap kita menjadi pelaku, untuk mengaminkan panggilan senior dan junior. Namun di sisi lain, kita selalu meneriakkan sosialisme-komunisme dan mengagung-agungkan Karl Marx.

    Dan lihatlah bagaimana efek senioritas di beberapa kampus-kampus. Di sana mayoritas dari yang tanda kutip lebih dulu makan garam, akan menjawab dengan nada geram tentang kejadian kejadian bullying, penipuan, pemaksaan dalam membeli stiker, pembunuhan karakter, dan mental, bahkan kekerasan yang berujung kematian.

    Mungkin ingatan kita masih hangat bagaimana kejadian yang nahas harus menimpa salah satu mahasiswi kedokteran asal perguruan tinggi swasta terkemuka di Makassar. Ia harus meninggal karena diduga dipelonco oleh seniornya. Atau kasus serupa di Malang, seorang mahasiswa tingkat atas terbukti melakukan tindakan tidak manusiawi kepada mahasiswa baru saat ospek berlansung.

    Kasus perpeloncoan atau kekerasan terhadap mahasiswa dengan kasus pencurian petugas kargo di bandara yang dari pengakuan pelaku terpaksa melakukannya, karena disuruh senior. Begitu juga dengan kasus kekerasan yang dialami siswa akademi militer memang disiapkan layak bertarung. Mahasiswa berbeda, sebagai kaum intelektual organis, mahasiswa harus cerdik mensiasati zaman. Zaman berbeda, maka pola dan metode juga harus berbeda. Beda sekarang beda juga saat masa perjuangan republik ini melawan rezim sepatu laras dan senjata api.

    Seringkali tindak kekerasan senior terhadap junior dipengaruhi oleh adanya kuasa dan anggapan bahwa mereka unggul dari sisi pengalaman diatas segala-galanya. Weber (1947) menjelaskan kekuasaan ini sebagai kemungkinan seseorang melakukan keinginan didalam suatu hubungan sosial yang ada, termaksud dengan kekuatan tanpa menghiraukan norma dan nilai yang menjadi landasan.

    Senior acapkali melakukan pemaksaan yang berujung pada kedunguan para junior. Seperti seorang ketua himpunan di kampus saya pernah menjadi trend perhatian sekaligus perbincangan. Ketua himpunan tersebut mengatakan lewat dialeg khas makassarnya ‘’akan kusiksako akan kupukulko sambil mengepal tangannya dan mengatakan tapi tidak dengan ini tapi dengan ini tunjuknya kepada kepala merujuk akal intelektual.

    Meski kekerasan tidak lagi bisa direduksi hanya pada fisik belaka, kita musti mengakui bahwa kekerasan fisik sesungguhnya ujung ujungnya hanya akan mengganggu sisi kejiwaan mahasiswa baru. Sehingga jangan heran, kemudian di belakang banyak yang anti dengan kampus sekretariat Senat BEM himpunan. Bahkan, celakanya, pengaruh ini berbuntut panjang kepada daya serap perkembangan intelektual, dan daya pikir para junior kedepan. Mereka menjadi resah, khawatir, hingga takut mengemukakan pendapat hanya sebab sering mendapat tonjokan mental dari seniornya.

    Pemaknaan bahwa senior laksana guru pertama dalam proses kehidupan yang syarat pengalaman, berubah menjadi sekelompok orang yang menimbulkan keresahan. Padahal, subtansi senioritas telah dijelaskan dalam KBBI, yakni perilaku yang memprioritaskan status yang diperoleh dari umur atau lamanya bekerja. ( Siswoyo 2010) menegaskan bahwa pemberian keistimeawaan kepada yang lebih tua dikarenakan karakter orang yang lebih tua biasanya lebih bijak berpengalaman dan berwawasan luas.

    Dalam pengertian diatas, kecerdasan emosional dan intelektual memainkan peran penting dalam perkembangan senioritas yang sudah mengakar. Meskipun kecerdasan emosional tidak bisa diukur dengan jelas, namun penilaian orang lain masih bisa memberikan rapor atas pengolahan emosi seseorang.

    Namun acapkali orang menyamakan kedewasaan dengan kecerdasan ini. Asumsi tersebut tidaklah keliru , sebab emosional juga menuntut hal-hal yang dibutuhkan oleh kedewasaan, seperti proporsional, professional, dan loyal. Berbeda dengan emosional, kecerdasan, intelektual bisa dilihat dari beberapa sisi riil, misalkan mengajar suatu pelajaran, dan lain sebagainya.

    Oleh karenanya , jikalau dirasa sepak terjang senioritas sering kali menimbulkan kesemrawutan, terlebih dalam hal pilihan-pilihan politik, maka tidak ada gunanya struktur sosial ini dipertahankan. Namun tentu harus ada gagasan metode alternatif yang lebih fresh dan lebih baru. Metodologi cara praktik yang baru, segi teks dan konteks, yang dengan catatan tentu tidak lebih buruk dari sebelumnya. Atau tidak sekedar membuat sebuah metodologis yang ujungnya juga salah kaprah, misalnya terjebak dengan pola gerakan yang menjebak, dengan metode pengaderan dan pergerakan yang juga pada akhirnya lembaga gerakan sampai mirip LSM atau EO.

    Akhirnya menyikapi hal demikian, penulis berpandangan bahwa semua aktivis pelaku gerakan organisasi kampus, penting meninjau ulang kembali atau membahasnya secara serius. Hemat penulis sangat diperlukan dekonstruksi bahasa yang tengah berkembang. Derrida (1988) menjelaskan bahwa dengan mengubah teks berarti juga mengubah realitas kehidupan manusia. Untuk mengubah hal tersebut, diperlukan pemahaman dan penggambaran yang komperhensif akan realitas.

    Dalam konteks dipergunakannya bahasa senior junior ini, yang tidak henti hentinya menuai kritik akibat dari kekeliruan memaknai relasi relasi antar keduanya. Penulis merasa perlu mengganti bahasa tersebut dengan tua muda, sebab secara historis, memang istilah tua muda seringkali digunakan oleh masyarakat semenjaka masa beratus ratus tahun silam. Ditambah lagi dengan muatan penghormatan dan pendidikan yang cenderung syarat akan nilai luhur. Misalkan, kala kita membaca teks atau mendengar dialog si tua si muda. Akhirnya Indonesia dibangun oleh generasi muda, bukan generasi junior yang menjadi akhir penutup dari tulisan ini.[]

    *Penulis adalah Mahasiswa Fisip Unhas semester akhir

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here