
JAKARTA, KabarKampus – Suhu di sejumlah kota di Indonesia sedang dingin-dinginnya dalam beberapa hari terakhir. Dalam catatan BMKG suhu terendah ada di Ruteng Nusa Tenggara Timur yakni mencapai 12 derajat Celcius pada 04 Juli 2018 lalu.
Banyak informasi beredar, udara dingin tersebut disebabkan oleh fenomena aphelion”. Fenomena aphelion ini pun banyak menimbulkan pertanyaan di masyarakat.
Menjawab banyak pertanyaan tersebut, Drs. Mulyono R. Prabowo, M.Sc, Deputi Bidang Meteorologi menjelaskan, fenomena aphelion ini adalah fenomena astronomis yang terjadi setahun sekali pada kisaran bulan Juli. Saat itu secara umum wilayah Indonesai tengah musim kemarau.
“Hal ini menyebabkan seolah aphelion memiliki dampak yang ekstrem terhadap penurunan suhu di Indonesia.” kata Prabowo dalam keterangan persnya, Jumat, (06/07/2018).
Padahal ungkap Prabowo, penurunan suhu di bulan Juli belakangan ini lebih dominan disebabkan kandungan uap di atmosfer cukup sedikit. Hal ini terlihat dari tutupan awan yang tidak signifikan selama beberapa hari terakhir.
Secara fisis, ungkapnya, uap air dan air merupakan zat yang cukup efektif dalam menyimpan energi panas. Sehingga, rendahnya kandungan uap di atmosfer ini menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi ke luar angkasa pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer dan energi yang digunakan untuk meningkatkan suhu atmosfer di atmosfer lapisan dekat permukaan bumi tidak signifikan.
“Hal inilah yang menyebabkan suhu udara di Indonesia saat malam hari di musim kemarau relatif lebih rendah dibandingkan saat musim hujan atau peralihan,” terang Prabowo.
Musim dingin di Australia
Selain itu, tambah Prabowo, pada bulan Juli ini wilayah Australia berada dalam periode musim dingin. Sifat dari massa udara yang berada di Australia ini dingin dan kering. Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia (dikenal dengan istilah Monsoon Dingin Australia) semakin signifikan.
“Sehingga berimplikasi pada penurunan suhu udara yang cukup signifikan pada malam hari di wilayah Indonesia khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT,” imbuh Prabowo,” terang Prabowo.
Fenomena suhu udara dingin merupakan fenomena alamiah yang biasa terjadi di bulan-bulan puncak musim kemarau (Juli – Agustus). Berdasarkan pengamatan BMKG di seluruh wilayah Indonesia selama 1 hingga 5 Juli 2018, suhu udara kurang dari 15 derajat Celcius tercatat di beberapa wilayah yang seluruhnya memang berada di dataran tinggi/kaki gunung seperti Ruteng (NTT), Wamena (Papua), dan Tretes (Pasuruan), dimana suhu terendah tercatat di Ruteng (NTT) dengan nilai 12.0 derajat Celcius pada tanggal 4 Juli 2018. Sementara itu untuk wilayah lain di Indonesia selisih suhu terendah selama awal Juli 2018 ini terhadap suhu terendah rata-rata selama 30 hari terakhir ini tidak begitu besar.karena dalam beberapa hari terakhir di wilayah Indonesia, khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT
Peluang 0 Derajat Celcius di Pegunungan Pulau Jawa
Drs. Herizal, MSi, Deputi Bidang Klimatologi menambahkan, pada saat puncak kemarau, memang umumnya suhu udara lebih dingin dan permukaan bumi lebih kering. Pada kondisi demikian, panas matahari akan lebih banyak terbuang dan hilang ke angkasa.
“Itu yang menyebabkan suhu udara musim kemarau lebih dingin daripada suhu udara musim hujan. Selain itu kandungan air di dalam tanah menipis dan uap air di udara pun sangat sedikit jumlahnya yang dibuktikan dg rendahnya kelembaban udara,” tambah Herizal.
Menurut Herizal, pada kondisi ini beberapa tempat yang berada pada ketinggian di Jawa, terutama di daerah pegunungan, diindikasikan akan berpeluang untuk mengalami kondisi udara permukaan kurang dari titik beku 0 derajat Celcius. Hal ini disebabkan molekul udara di daerah pegunungan lebih renggang dari pada dataran rendah.
“Sehingga sangat cepat mengalami pendinginan, lebih lebih pada saat cuaca cerah tidak tertutup awan atau hujan, terang Herizal.
Hal tersebut, ungkap Herizal menunjukkan bahwa fenomena aphelion tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penurunan suhu di Indonesia. Sehingga diharapkan masyarakat tidak perlu khawatir secara berlebihan terhadap informasi yang menyatakan bahwa akan terjadi penurunan suhu ekstrem di Indonesia akibat dari aphelion.[]