More

    Malangnya VA

    Penulis : Raden Muhammad Wisnu Permana

    Di awal tahun 2019, seorang Artis berinisial VA diperiksa intensif oleh Polda Jawa Timur terkait kasus dugaan prostitusi online. Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus  Polda Jatim AKBP Arman Asmara Syarifuddin mengungkapkan, tarif booking artis VA adalah Rp 80 juta.

    Lagi-lagi, kasus prostitusi yang disoroti adalah perempuannya. Artis berinisial VA secara vulgar disebarkan foto dan identitas aslinya di berbagai media massa. Sedangkan kliennya, sang konglomerat, dilindingi identitasnya dan dibebaskan dari segala urusan hukum.

    Ilustrasi / instagram @kostumkomik

    Di lain cerita, ketika ada kasus perampokan dan pemerkosaan pada perempuan, selalu si perempuan yang disalahkan oleh masyarakat karena menggunakan perhiasan yang berlebihan serta berpakaian minim yang mengundang syahwat alih-alih si pemerkosa yang disalahkan atas tindakan kejinya tersebut.

    - Advertisement -

    Seketika, masyarakat menjadi polisi moral. Dan Solusinya? Berpakaianlah tertutup, menikahlah dan jangan keluar malam-malam tanpa didampingi suamimu yang halal, alih-alih menghukum seberat-beratnya pelaku pemerkosaan dan mengintensifkan patroli dari pihak yang berwenang. Dan sederet kasus lainnya yang menyudutkan kaum perempuan yang sudah terjadi selama berabad-abad.

    Dalam sebuah diskusi kelurga, saya sering menyampaikan pendapat, bahwa saya menyukai perempuan yang sering pergi ke gym, mengangkat beban berat sebagai bentuk olahraga, dapat berolahraga tinju, atau penyandang sabuk hitam beladiri karate, dan vokal meneriakkan pendapatnya dan hobinya alih-alih hanya di rumah saja menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak-anak. Namun, seketika keluarga saya “mengeroyok” saya akan pendapat tersebut. Seketika, mereka menjelaskan bahwa perempuan tidak sepatutnya bertindak seperti itu, karena bertentangan dengan agama dan nilai-nilai ketimuran. No time for bullshit!

    Betapa beratnya menjadi seorang perempuan. Sistem patriarki yang bobrok, ditambah, media yang selalu menjadikan wanita menjadi objek dan menjustifikasi nilai-nilai kemerosotan moral yang terjadi di masyarakat yang sudah terpatri oleh budaya patriarki tersebut. Kapankah manusia akan dinilai secara adil tanpa memperhatikan apa jenis kelaminnya, agamanya, sukunya, dan rasnya? After all this time, after John Lennon dies, we still have to imagine.

    Sekilas Tentang Feminisme

    Ketika laki-laki berangkat untuk berburu, maka perempuan menanam umbi-umbian dan biji-bijian di tanah datar yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Kaum perempuanlah pertama kali menemukan ‘ilmu cocok tanam’ dan sekaligus sebagai tulang punggung dari industri pertanian yang pertama.

    Seiring berkembangnya zaman, kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan tidak cocok lagi dilakukan. Hal tersebut membuat laki-laki mengambil alih lahan produksi pertanian perempuan. Karena keharusan untuk mempertahankan hidupnya, manusia membuat perkembangan teknologi berlangsung dengan pesat di tengah masyarakat pertanian. Hal ini senada yang dikemukakan oleh Saadawi dalam Kusuma (2012: 18), bahwa kehidupan pertanian menjadi sumber makanan tetap untuk masyarakat, sehingga cara-cara dan teknologi semakin dimajukan.

    Sejak saat itu, proses produksi yang sebelumnya dikerjakan bersama-sama (komunal), akhinya dapat dikerjakan secara sendirian (individual), sehingga proses komunal dalam menghasilkan sumber penghidupan berangsur-angsur tergantikan oleh proses individual dan menjadikan hasil produksi menjadi milik individu. Dari sinilah, sistem pertanian memperkenalkan kepemilikan pribadi pada umat manusia. Hal ini yang menjadi akar dari lahirnya sistem patriarki. Seperti yang dikatakan Engels dalam Budiman (1981 :23), bahwa sistem patriarki dimulai ketika manusia mulai mengenal kepemilikan pribadi, di mana sistem kepemilikan ini juga menandai lahirnya sistem kelas. Kelahiran sistem patriarki tersebut, membuat perempuan tergeser ke pekerjaan-pekerjaan domestik dan bekerja sesuai keinginan laki-laki. Hal ini menjadi akar dominasi laki-laki terhadap perempuan, hingga sekarang. Baik oleh masyarakat, maupun dilakukan oleh media massa.

    Bagaimana Media memandang Wanita

    “Seseorang tidak terlahir, tetapi lebih menjadi perempuan. Tidak ada takdir biologis, psikologis maupun ekonomis yang menentukan figur seseorang dalam masyarakat. Peradabanlah yang membuat makhluk ini, menjadi penengah antara laki-laki dan orang kebiri, yang dideskripsikan sebagai feminis. (Simone de Beauvoir dalam Gamble, 2010:41).

    Menurut Sigmond Freud, feminitas muncul dalam sebuah periode maskulin yang pasti dilalui oleh masing-masing gender. Karena itu, dalam tahapan awal, seorang anak perempuan aikan mengalami baik identifikasi maskulin dan identifikasi feminin. (Gamble, 2010:71). Sistem patriarki telah membentuk bagaimana seorang wanita harus bersikap, berpenampilan, dan memilih pekerjaan. Wanita menurut Hodgson-Wright tidak memiliki hak yang sama dengan seorang laki-laki walau memiliki status sosial yang sama.

    Wanita sering direpresentasikan dengan negatif, karena diposisikan hanya sebagai subjek. Wacana mengenai wanita juga cenderung berbeda dengan wacana mengenai laki-laki. Sara Mills mengungkapkan hal ini:

    (Ketika melihat katalog universitas dan mencari kata ‘wanita’, Anda akan menjumpai banyak buku dan artikel yang membicarakan penindasan wanita, psikologi wanita, penyakit fisik yang diderita wanita, dan lain sebagainya. Jika mencari kata ‘laki-laki’, Anda tidak akan menemukan hal semacam itu.) (Mills, 2004:19).

    Semua ini berdasarkan kewenangan akan pengetahuan yang berbeda. Sistem memungkinkan laki-laki menjadi subjek dan wanita menjadi objek dalam sebuah wacana, dalam hal ini adalah film. Posisi-posisi ini dalam arti siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan akan diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Wacana media bukanlah sarana yang netral, tetapi cenderung menampilkan aktor tertentu sebagai subjek yang mendefinisikan peristiwa atau kelompok tertentu. (Eriyanto, 2001:201)

    Malangnya VA. Foto dan identitas aslinya tersebar dimana-mana. Instagram pribadinya seketika dipenuhi oleh orang-orang yang menjustifikasi nilai-nilai moral. Padahal mereka yang menjustifikasi moral tersebut juga belum tentu dijamin surga oleh Yang Maha Kuasa. Pun, artis VA yang dicap bermoral buruk pun belum tentu masuk neraka. Bisa saja, dia jauh lebih mulia di hadapan Yang Maha Kuasa. Bukankah Tuhan pernah berkata bahwa doa orang yang dizalimi itu akan Dia kabulkan?

    Bahkan, tidak jarang, yang menjustifikasi nilai-nilai moral tersebut bukan hanya lekaki, namun juga sesama perempuan. Padahal, tak jarang perempuan yang menjustifikasi nilai-nilai moral tersebut lebih parah daripada yang dilakukan artis VA tersebut. Yakni secara ‘gratis’ memberikan tubuhnya pada kekasihnya karena sang kekasih ‘memintanya’ karena ingin membuktikan rasa cintanya kepadanya. Berarti, jauh lebih mulia artis VA yang mematik harga Rp 80 juta bukan? Jadi, yang murahan itu siapa?

    Lagipula, mengapa sih media selalu menjadikan wanita sebagai objek? Alih-alih menginvestigasi siapa dalang dibalik ini semua, siapa saja klien-klien dari prostitusi online para artis ini yang katanya pejabat pemerintahan dan konglomerat elit tersebut, dan bagaimana modus operandinya. Media massa malah sibuk menguak kehidupan pribadi dari artis VA ini. Kalian kan jurnalis? Bukan akun gosip yang memang ‘cari makan’ dari berita semacam ini.

    Lalu, kepada artis VA, kita semua sama. Kita semua adalah pendosa. Tidak ada dosa yang lebih baik dan lebih buruk. Bedanya, mungkin Anda berdosa dengan cara berzinah dengna orang lain, tapi kita berdosa dengan masturbasi dan ngomongin orang lain. Dan siapakah yang terbaik diantara kita? Kita tunggu saja nanti di Pengadilan Yang Maha Adil di Akhirat nanti oleh Hakim Yang Maha Adil, Tuhan Yang Maha Esa.[]

     

    DAFTAR PUSTAKA

    Budiman, Arif. 1981. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

    Eriyanto.  2001. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LkiS.

    Gamble, Sarah. 2010. Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme. Yogyakarta : Jalasutra.

    Mills, Sara. 2004. Discourse. London : Routledge.

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here