More

    Dua Reporter Balairung UGM Raih Penghargaan Jurnalistik

    Ilustrasi Balairung Press

    YOGYAKARTA, KabarKampus – Dua jurnalis mahasiswa Balairung Press Universitas Gadjah Mada (UGM) meraih penghargaan jurnalistik “Oktovianus Pogau 2019”. Penghargaan yang diberikan oleh Yayasan Pantau ini, karena keberanian mereka dalam jurnalisme.

    Kedua jurnalis tersebut adalah Citra Maudy mahasiswa sosiologi dan Thovan Sugandi, mahasiswa Filsafat UGM. Pada 5 November 2018, tulisan keduanya diterbitkan di Balairung di Balairung berjudul, “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan” dan tulisan ini menjadi perhatian masyarakat.

    “Citra dan Thovan berani lakukan liputan peka soal kekerasan seksual di kampus. Harapannya, liputan ini akan mendorong usaha serupa di kalangan media, umum maupun mahasiswa, guna membela para korban kekerasan seksual,” kata Andreas Harsono, ketua dewan juri penghargaan Pogau dari Yayasan Pantau dalam keterangan persnya, Kamis, (31/01/2019).

    - Advertisement -

    Tulisan keduanya tersebut adalah soal seorang mahasiswa dengan nama samaran “Agni”yang “diperkosa” oleh teman setingkatnya, pada Juni 2018 ketika mengikuti kuliah kerja di Pulau Seram, Maluku. Citra, jurnalis laporan tersebut, menulis bahwa pelaku menyingkap baju, menyentuh serta mencium dada Agni.

    Pelaku juga menyentuh dan memasukkan jarinya pada vagina. Agni merasakan sakit, memberanikan diri untuk bangun dan mendorong pelaku.

    Kemudian dalam laporan Balairung juga menyatakan bahwa pelecehan seksual terjadi di banyak lingkup kegiatan mahasiswa. Kasus “Agni” ibarat puncak gunung es.

    Dari berita ini, Agni pun mendapat berbagai dukungan juga datang dari masyarakat lewat sebuah petisi mencari keadilan bagi “Agni”. Beberapa media juga menerbitkan cerita tentang dugaan kekerasan seksual di kampus-kampus lain, di Bali, Bandung, Depok, Jakarta, Yogyakarta dan sebagainya. Padahal sebelumnya, jarang kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswa mendapat perhatian dan liputan mendalam di media kampus maupun umum.

    Tentang Yayasan Pantau dan Oktavianus Pagau

    Yayasan Pantau adalah sebuah lembaga yang bertujuan mendorong perbaikan mutu jurnalisme di Indonesia melalui program pelatihan wartawan, konsultan media, riset, penerbitan, serta diskusi terbatas. Pantau menamakan penghargaan jurnalisme ini dengan nama Oktavianus Pogau, karena ia adalah seorang jurnalis yang berani mempertaruhkan nyawanya untuk melaporkan peristiwa-peristiwa yang tidak berani dilaporkan oleh wartawan lain menyangkut kekerasan militer dan polisi di Papua serta kondisi Papua sesungguhnya.

    Pagau lahir di Sugapa, pada 5 Agustus 1992. Pogau meninggal usia 23 tahun pada 31 Januari 2016 di Jayapura.

    Pada Oktober 2011, Pogau pernah melaporkan kekerasan terhadap ratusan orang ketika berlangsung Kongres Papua III di Jayapura. Tiga orang meninggal dan lima dipenjara dengan vonis makar.

    Dia dipukuli polisi ketika meliput demonstrasi di Manokwari pada Oktober 2012. Organisasi wartawan tempatnya bernaung, Aliansi Jurnalis Independen, menolak lakukan advokasi. Alasannya, Pogau tak sedang melakukan liputan namun melakukan aktivitas politik.

    Pogau juga sering menulis pembatasan wartawan internasional meliput di Papua Barat. Dia juga memprotes pembatasan pada wartawan etnik Papua maupun digunakannya pekerjaan wartawan buat kegiatan mata-mata. Ia secara tak langsung membuat Presiden Joko Widodo pada Mei 2015 meminta birokrasi Indonesia menghentikan pembatasan wartawan asing meliput Papua Barat. Sayangnya, perintah Jokowi belum dipenuhi.

    Yayasan Pantau memandang apa yang dilakukan Balairung lewat karya Citra dan Thovan sejalan dengan visi Penghargaan Oktovianus Pogau, yang ingin terus merawat keberanian dalam jurnalisme. Juri dari penghargaan ini lima orang: Alexander Mering (Gerakan Jurnalisme Kampung di Kalimantan Barat, Pontianak), Coen Husain Pontoh (Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru), dan Andreas Harsono.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here