More

    Tendensi Kriminaliasasi, Jadi Alasan Kuasa Hukum “Tuntaskan” Kasus Agni

    Gerakan #kitaagni menggelang dukungan atas menyelesaian kasus pemerkosaan yang dialami mahasiswa UGM di Fisipol UGM, Kamis, (08/11/2018). Foto : BerkahPutraSetia

    YOGYAKARTA, KabarKampus – Tim Kuasa Hukum Agni akhirnya memilih untuk menyelesaikan kasus Agni dengan jalur non litigasi. Mereka memilih jalan ini, karena mempertimbangankan kondisi psikis Agni.

    “Perkembangan kasus hukum semakin melemahkan posisi Agni, mulai dari berita acara pemeriksaan Agni, informasi yang kami terima dari pemeriksaan saksi-saksi,” kata Catur Udi Handayani SH, Kuasa Hukum Agni dalam keterangan persnya, Rabu, (06/02/2019).

    Selain itu tambah Catur, mereka juga telah menolak permintaan dari Polda DIY untuk melakukan visum et repertum terhadap Agni. Alasannya, karena bekas luka fisik sudah hilang mengingat waktu kejadian yang sudah terlalu lama.

    - Advertisement -

    Kemudian, dalam mendefinisikan, perkosaan, yang terdapat di dalam pemberitaan Balairung menggunakan term dalam website Komnas Perempuan dengan definisi perkosaan sesuai Pasal 285 KUHP. Sementara Polda DIY kepada media pernah menyatakan adanya ketidaksesuian fakta di lapangan, lokasi kejadian dekat dengan permukiman dan tidak banyak binatang liar, serta pondokan putri berjarak hanya 50 meter dengan pondokan putra.

    Sementara yang dimaksud Agni ungkap Catur, sejak awal dan disampaikan juga oleh laporan Balairung sebagai jarak yang jauh adalah jarak dari pondokan Agni ke pondokan salah seorang teman perempuannya. Di lokasi tersebutlah yang dimaksud terkadang ada babi hutan.

    Bagi Catur, pernyataan tersebut mengarah pada indikasi Balairung menyebarkan berita bohong. Artinya, ada tendensi Balairung juga akan dikriminalisasi.

    Kemungkinan SP3 yang mereka antisipasi ungkap Catur, pada akhirnya semakin jelas berdasarkan kutipan pemberitaan media Kapolda DIY pada hari Selasa (5/2/2019). Dalam pernyataan Kapolda DIY menyebut, ‘Kan hasilnya kemudian di antara mereka (HS dan korban) sendiri ternyata berdamai, itu yang kita harapkan, karena perkosaan tidak ada, dan pelecehan tidak ada.

    “Bertambah besarnya kemungkinan SP3 dan tendensi kriminalisasi baik untuk Agni maupun pihak lain (Balairung) menjadikan proses ini semakin jauh dari rasa keadilan Agni. Kami mempertimbangkan akibat dari proses ini terhadap Agni dan pada Balairung,” ungkap Catur.

    Selanjutnya, Sukiratnasari, yang juga kuasa hukum Agni menambahkan, selain ada tendensi kriminalisasi Agni dan Balairung, pada tanggal 21 Januari 2019, dari tujuh orang anggota komite etik, empat orang menyatakan tidak ada pelecehan seksual. Mereka menyatakan, yang terjadi adalah perbuatan asusila dan menolak mengkategorikannya sebagai pelanggaran sedang atau berat.

    Meski demikian, terdapat juga anggota Komite Etik lainnya mengeluarkan dissenting opinion yang menyatakan bahwa kasus tersebut adalah pelecehan seksual dan pelanggaran berat. Namun bagi Sukiratnasari, kesimpulan “tindak asusila” sangat melukai rasa keadilan Agni.

    “Karena di awal pertemuan Agni dengan Komite Etik, Agni dijanjikan penyelesaian yang berperspektif dan berkeadilan gender. Kondisi ini hanya mempertegas adanya budaya victim blaming,” ungkapnya.

    Sehingga menurut Sukiratnasari, perkembangan kasus yang semakin hari menjadi semakin tidak jelas justru berpotensi memperbesar tekanan psikis bagi Agni. Oleh karena itu, mereka berdiskusi untuk mempertimbangkan penyelesaian mana yang resikonya paling minimal bagi Agni, memenuhi rasa keadilan dan mengutamakan perlindungan hak-hak Agni.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here