Pada tahun 90-an, membicarakan Suharto, Presiden Indonesia masa Orde Baru, adalah sesuatu yang menakutkan. Banyak orang bilang, bila ngomongin Suharto, malamnya bisa hilang. Ketakutan seperti itu pun terasa di pelosok Sumatera, di kawasan Gunung Kerinci.
“Saya waktu kecil merasakan itu. Hampir di setiap lapau-lapau, kebun-kebun, ladang-ladang, meskipun hanya ada pepohonan di sana, orang takut membicarakan Suharto,” kata Wendri Wanhar menceritakan situasi kampung kelahirannya pada tahun 90-an dalam diskusi novel karyanya “Lelaki di Tengah Hujan” di Gedung Indonesia Menggugat, Rabu, (03/04/2019).
Suasana takut membicarakan Suharto pun sama ketika ia merantau ke Pondok Pesantren di Jakarta. Para Ustad juga melarang membicarakan Suharto. Ketika itu, seolah tembok ada kupingnya.
Namun kata Wendri, puncaknya adalah tahun 1998. Tiba-tiba orang-orang berani. Mahasiswa turun ke jalan. Mereka memilok tembok dan menuliskan turunkan sembako, turunkan harga, cabut dwi fungsi ABRI dan sebagainya. Presiden Suharto yang ditakuti orang, bahkan di kampung nan, kemudian tidak ditakuti lagi.
Kemudian saat berkuliah di Universitas Bung Karno (UBK) di kawasan Salemba Jakarta Pusat pada tahun 1999, ia mendapati cerita tentang orang-orang yang terlibat dalam menggulingkan Suharto. Cerita itu banyak didapatnya, ketika ia “nyambi” sebagai juru parkir dan pengamen di Bioskop Megaria, Salemba di selah-sela kuliah.
“Dari pergaulan diantara pengamen itu saya mendengar sayup-sayup, orang-orang yang terlibat dalam aksi menggulingkan Suharto. Nah cerita sayup-sayup orang bercerita inilah yang kutulis,” kata Wendri bercerita awal mula ia menulis novel “Lelaki di Tengah Hujan”, yang berkisah tentang seorang aktivis yang berjuang meruntuhkan rezim Suharto.
Seluruh cerita sayup-sayup itu, Wendri tulis dalam sebuah buku tulis. Baik di kosan dan di bioskop, ia tulis baik se paragraph maupun dua paragraf. Hingga akhirnya kisah yang ditulis tersebut, diajukan menjadi skripsi.
Dalam skripsi tersebut, Wendri menulis, sebelum orang-orang ramai turun ke jalan. Ada orang-orang yang memulainya. Mereka adalah sekelompok anak muda, mahasiswa yang berwajah kemerah-merahnya.
“Awalnya pers mahasiswa, kelompok diskusi yang mulai berpikir, bahwa negara dianggap tidak benar dalam menjalankan roda pemerintahan dan negara dianggap tidak adil. Kemudian mereka mulai melawan dan sebagainya,” ungkap Wendri.
Skripsinya tersebut menurut pria yang juga pernah menulis buku “Gedoran Depok : Revolusi Sosial di Tepi Jakarta” ini, kemudian diluluskan dengan nilai baik. Ketika itu, skripsinya dianggap satu-satunya yang mengulas peristiwa 98 dalam perspektif lain.
Namun sebelumnya, Wendri sempat mengalami kesulitan dalam mewawancarai narasumbernya. Karena mereka tak banyak yang mau bercerita. Bagi mereka kisahnya tersebut sangat rahasia dan membuat trauma, karena teman-temannya ada yang diculik.
Saat Wendri ingin wawancara narasumbernya, maka ia akan dioper ke narasumber lain. Mereka menganggap diri mereka tidak berjasa. Meski demikian, ada juga yang menganggap dirinya paling berjasa. Sehingga Wendri pun memutuskan hanya mengisahkan orang-orang yang merahasiakan kisahnya.
“Akhirnya ketika mometum ulang tahun Pramoedya Ananta Toer ke 80 di Taman Ismail Marzuki. Saya berjumpa dengan narasumber pertama untuk buku ini. Itu karena ada Pram, sehingga dia mau cerita ke saya,” terang Wendri.
Menurut Wendri, naskah ini sebenarnya sudah rampung pada tahun 2010. Kemudian 2011 diedit oleh teman sekantornya, saat ia masih bekerja di Bisnis Indonesia.
“Nah oleh editorku di kantor naskah ini dijahit. Namun ketika muncul buku “Anak-anak Revolusi” yang ditulis Budiman Sujatmiko, saya berpikir naskah ini sudah tidak perlu, karena sudah ada orang mau menuliskan kisahnya,” ungkap Wendri.
Sebelumnya, tambah Wendri, orang-orang seperti Budiman Sujatmiko tidak mau menjaga kisahnya. Sehingga untuk menjaga ingatan, Wendri ingin menulis cerita tentang pejuang reformasi tersebut.
Namun tiba-tiba, saat dirinya meneliti prasasti di perkampungan Barus Sumatera Utara, tiba tiba buku “Lelaki di Tengah Hujan” meminta lahir. Buku ini terbit di Jakarta, kemudian didiskusikan orang-orang Yogyakarta.[]