More

    Regulasi Disrupsi Dalam Perubahan Karakter

    Penulis : Agsta Aris Afifudin

    Ilustrasi / SHUTTERSTOCK

    Apakah anda pernah mendengar istilah disrupsi? Istilah disrupsi dipopulerkan oleh Rheinald Kasali yang mengatakan disrupsi sedang terjadi perubahan yang fundamental atau mendasar. Satu diantara yang membuat terjadi perubahan adalah evolusi teknologi yang menyasar sebuah celah kehidupan manusia. Digitalisasi misalnya, akibat dari evolusi teknologi (terutama invormasi) yang mengubah hampir semua tatanan kehidupan, termasuk tatanan dalam berusaha. Hal ini lebih menjurus ke hal-hal politik praktis yang mengampanyekan partai dan citra individu ke dalam media massa.

    Fenomena efek disrupsi dapat kita temukan di Lingkungan kita. Contohnya, tahun lalu yang kita temukan adanya konflik antara ojek pangkalan dengan ojek online, dan berbagai marketplace online yang cukup mengubah produk seperti telefon genggam.

    Namun apa kaitannya pendidikan di era disrupsi? Pendidikan secara filosofis adalah sebagai alat atau wadah untuk mencerdaskan bangsa dan membentuk watak manusia yang lebih baik atau humanisme akan tetapi di era disrupsi ini ternyata tujuan pendidikan banyak terpengaruh oleh disrupsi ini, sehingga banyak terjadi. Seharusnya bisa membentuk watak manusia lebih baik tetapi manusia sekarang perannya merubah paradigma berfikir menjadi lebih buruk. Dalam hal apa? Media yang berperan menjadi media edukasi saat ini muda-mudi semakin menunjukan eksistensi pada akun media sosial? Kenapa? Hal itu menjadi karena tren saat ini. Contohnya era disrupsi yang dijadikan sebagai era digitalisasi, dimana seluruh aktifitas/kegiatan menggunakan daring atau media internet. Misalnya, menyalahgunakan aplikasi dalam instagram, yang sering kali kita bisa melihat konten-konten negatif. Atau menunjukkan kreativitasnya yang tidak berfaedah. Mungkinkah kita sadari? Tentunya tidak. Misal saja, seseorang laki-laki membuat video vlog hiburan, dan hiburan tersebut lelaki itu malah berubah seakan-akan seperti wanita (berpakaian, berdandan seperti wanita), dan menjadi hal yang tidak berfaedah. Secara tidak langsung lelaki tersebut menghina fisik seorang wanita.

    - Advertisement -

    Bisa dikatakan nampaknya, fenomena era disrupsi ini sepertinya disepelekan. Pasalnya, dalam diskusi ini perubahan yang paling mendasar memang mau tidak mau kita harus akui. Bahwa, apa yang dinamakan memanusiakan manusia termasuk di tatanan keluarga banyak orang tua yang di lecehkan oleh anaknya ataupun anak-anak melecehkan orang tuanya. Banyak juga media informasi yang memberitakan orang tua mencoba mencekam anaknya dan ada juga anak-anak yang mencoba mencekam orangtuanya. Bahkan ini menjadi kebalikannya memanusiakan manusia.

    Padahal dan seharusnya pendidikan karakter di era disrupsi ini menjadikan usaha yang dilakukan oleh para anggota sekolah, orang tua dan masyarakat, untuk membantu anak-anak dan remaja agar memiliki sifat peduli, berpendirian, dan bertanggung jawab.

    Neil Postman (2005) dalam bukunya “The End Of Education” telah lama mengingatkan bahwa matinya pendidikan karena pengelolaan pendidikan kehilangan arah, yang terlihat hanya orang sibuk mengurus pendidikan yang tidak terarah itu. Belakangan ini tersiar kabar, banyak siswa lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau pendidikan vokasi menganggur di negeri ini padahal lapangan pekerjaan telah disiapkan untuk mereka karena tidak memiliki kompetensi sebagaimana diharapkan.

    Beberapa alasan pentingnya pendidikan karakter di atas dapat menjadi benteng yang kuat untuk menghadapi tantangan era globalisasi (era digital) yang banyak celah mempengaruhi insan generasi muda terkena dampak negatif globalisasi seperti ketidakjujuran, rendahnya kepedulian, fenomena ketidakadilan, turunnya tanggungjawab pada tugasnya masing-masing.

    Seperti yang di katakah oleh para ahli. Rheinald Kasali (2017) dalam bukunya “Disruption” mengingatkan, “Tidak ada yang tidak bisa diubah sebelum dihadapi, motivasi (harapan dan keinginan) saja tidak cukup”. Di bagian lain, kembali ia mengingatkan, “Setiap orang harus tahu posisi dirinya dan tahu harus kemana ia melangkah (where we are, and where we are going to).

    Sebagian besar pengguna internet berfokus media sosial, belum didominasi pemahaman yang lebih maju bahwa dunia digital bisa dioptimalkan lebih maksimal seperti sharing knowledge, aktualisasi diri, bahwan motif bisnis dan ekonomi.

    Dampak negatif media sosial mampu mempengaruhi karakter individu yang terbentuk dari kecil seperti kejujuran teruji saat postingan dan realita berbeda, tanggung jawab menurun karena lupa waktu saat menggunakan media sosial sehingga lupa untuk menyelesaikan tugas utamanya seperti siswa belajar dan orang dewasa bekerja, kepedulian dan respek menurun karena sudah cukup diwakili lewat media sosial tanpa kontak fisik ke masyarakat.

    Alangkah pentingnya ada kebijakan pemerintah agar masyarakat teredukasi dengan baik sehingga bisa menyikapinya secara tepat sekaligus memaksimalkan potensi internet dari sebuah dunia digital.

    Harapan besar implementasi pendidikan karakter yang sistematis dan berkelanjutan, diintergrasikan dalam mata pelajaran, diharapkan dapat meningkatkan mutu hasil pendidikan di sekolah untuk mencapai pembentukan karakter.[]

    *Mahasiswa Universitas Peradaban, Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here