Penulis : Krisnaldo Triguswinri
Pada waktu kelahirannya, Slovenia dikuasai oleh rezimentasi komunis Broz Tito yang dianggap sedikit liberal. Salah satu aspek kebijakan krusialnya adalah keterlibatan negara dalam mengontrol produksi perusahan film Slovenia untuk terlebih dahulu di uji oleh universitas sebelum film-film itu diedarkan. Sebab terdapat semacam asumsi kultural: bila hanya universitas yang memiliki ketajaman metodologis untuk membedah kedalaman narasi, semiotika, dan insinuasi dari sebuah film, maka pendetailan konseptual akan dihasilkan.Zizek dilahirkan pada 21 Maret 1949 di Ljubljna, ibu kota Slovenia. Zizek lahir dari pasangan birokrat kelas menengah sebagai anak tunggal. Sejak awal orang tua Zizek mengharapkan dirinya menjadi seorang ahli ekonomi, tetapi Zizek membangkang dan lebih memilih ilmu filsafat sebagai wilayah yang membuatnya jatuh cinta pada epistemologi filsafat.
Pada usia 17 tahun Zizek memutuskan untuk masuk Universitas Ljubljna dengan mengambil jurusan filsafat. Zizek meraih gelar sarjana mudanya di bidang filsafat dan sosiologi pada tahun 1971, kemudian gelar master di bidang filsafat ia raih pada tahun 1975, dan melanjutkan ke tingkat doktoral dengan menulis disertasi berjudul The Theoretical and Practical Relevance of French Structuralism.
Jalan kehidupan Zizek tidak seindah karir akademiknya. Pasca lulus program doktoral, Zizek justru mendapatkan penolakan sebagai pengajar oleh universitas tempat ia menempuh pendidikan. Sejumlah kalangan mengkhawatirkan dan mencemaskan materikulasi yang hendak Zizek ucapkan karena diaggap terlalu radikal dan akan memprovokasi para mahasiswa. Setelah ditolak mengajar, Zizek sempat bergabung dalam Angkatan Darat Yugoslavia dan menerjemahkan banyak buku-buku filsafat Jerman guna menghidupi keluarganya.
Pada tahun-tahun selanjutnya, setelah melewati hari-hari panjang yang memilukan, Zizek akhirnya bekerja sebagai juru tulis di Sentral Marxis Slovenia, sekaligus dalam waktu yang bersamaan aktif dalam kelompok cendikiawan Slovenia. Pada 1979, dengan bantuan sejumlah teman, Zizek diterima sebagai peneliti di Institut Sosiologi Univeritas Ljubjana, sebelum akhirnya benar-benar mengajar sebagai profesor disana.
Selama sepanjang karir intelektualnya, Zizek memiliki minat terhadap ontologi, psikoanalisis, dan marxisme. Bila ada semacam keyakina bahwa tidak ada pemikir yang original, dengan maksud lain terpapar ilham dari pemikir sejamannya atau pemikir sebelumnya, maka Zizek sangat dipengaruhi oleh Hegel, Lacan, Marx, Lenin, dan Laclau. Zizek menggunakan budaya populer untuk menjelaskan teori psikoanalisis Lacan dan mengawinkannya dengan filsafat Hegelian serta kritisisme ekonomi marxis untuk mengintepretasi dan berbicara secara ekstensif prihal fenomena sosial mutakhir.
Subyek Kritis Sebagai Lawan Kesadaran Sinis
Subyek merupakan kondisi transendental bagi kemungkinan sekaligus ketidakmungkinan segala bentuk subjektivikasi kontinjen – Slavoj Zizek
Filsuf radikal Prancis, Alain Badiou, mengurai pandangan-pandangan kontemporer bahwa subyek memiliki beberapa karakter; pertama, subyek tidak dapat diteorikan sebagai subtansi swaidentik (self-identical) yang merupakan satu-satunya lokomotif perubahan. Kedua, subyek bukan produk refleksi, bukan juga produk yang berkorelasi dengan obyek. Namun demikian, Badiou juga melakukan penolakan terhadap anggapan bahwa tidak ada distingsi antara ontologi secara umum dengan teori subyek.
Oleh karena itu, subjektivitas individual yang tidak dapat diartikan memiliki subtansi swaidentik dan tidak berkorelasi dengan obyek tidak akan tumbuh dalam kompartemen yang otonom dan non-hirarkis. Sebab begitu ia menghapus subtansi primer subyek, maka otonomi subyek akan lenyap. Maka bagi Badiou, sebagai kritik pada pascamodernisme, ada dua kecacatan fundamental pada teorisasi menyoal subyek, yakni persoalan mengenai identitas dan persoalan mengenai agensi, yang berujung pada sikap apolitis.
Zizek, serupa Badiou, mengarahkan konsepsi subyeknya persis sebagai reaksi atas sikap-sikap nihilis pascamodernisme. Namun demikian, pada Badiou reaksi itu terbatas pada upaya membangun suatu ontologi baru mengenai subyek dengan melibatkan kembali Plato, subyek yang setia (fidelite) kepada kejadian-kebenaran (truth-event). Sedangkan Zizek mendorong secara ekstrem basis ontologis untuk memberlangsungi karakter radikal aktif dalam ciri subyeknya, sehingga lahirlah suatu pandangan mengenai kebebasan yang otentik dan politis.
Maka, untuk keluar dari gejala kesadaran sinis yang palsu yang disebabkan oleh meluasnya kekuasaan negara yang cendrung totaliter dalam rangka mempersempit demokratisasi agar supaya kritisisme ideologis dapat di kontrol dan diarahkan oleh negara, adalah dengan mengaktifkan diri sebagai subyek radikal dan masuk pada pertandingan wacana politik emansipasi. Kekuatan paradigmatik yang diakomodir oleh metodologi ideologis harus mampu menjadi titik berangkat subyek dalam mengambil posisi guna diucapkannya kebebasan mengkritik kekuasaan.
Dalam terminologi yang lebih sempit, para marxis, mengandaikan bahwa dikotomi antara sistem dan dunia kehidupan harus tetap menjadi dua sub yang tak boleh disatukan. Bahwa sistem diisi oleh kekuataan kekuasaan dan modal, sedangkan dunia kehidupan diisi oleh kehidupan individual dan masyarakat sipil. Sebab begitu sistem mencemari dunia kehidupan, hilanglah otonomi atas subyek.
Sebagai contoh, Petama, bila kebijakan publik dirumuskan oleh para elit tanpa melibatkan keterlibatan masyarakat dalam prosesnya, maka kebijakan tersebut barang tentu merupakan hasil dari hegemoni kekuasaan. Kedua, bila literasi yang hendak disodorkan kepada publik terlebih dahulu diatur, diarahkan, dan dipilihkan oleh negara, maka barang tentu negara hendak mendisiplinkan cara berfikir warga negara. Maka, agar supaya subyek tetap bertahan pada koherensi otonomnya, subyek tidak boleh memiliki korelasi atau pertalian dengan sistem.
Subyek kritis tumbuh dalam ideologi. Dalam arti lain, subyek tidak menentukan ideologi. Sebaliknya, ideologi yang menentukan subyek. Maka, untuk mengambil sikap paling primer dalam rangka mengaktifkan critical thinking, adalah dengan meradikalisir ideologi.
*Penulis adalah mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Diponegoro