Apa yang dimaksud paradoks pembohong? Mari kita lihat pengertian Tarski tentang paradoks pembohong dalam konteks teori kebenaran semantik masih dalam buku “The Concept of Truth in Formalized Languages”:
“In my judgement, it would be quite wrong and dangerous from the standpoint of scientific progress to depreciate the importance of this and other antinomies, and to treat them as jokes or sophistries. It is a fact that we are here in the presence of an absurdity, that we have been compelled to assert a false sentence. …If we take our work seriously, we cannot be reconciled to this fact. We must discover its cause, that is to say, we must analyze premises upon which the antinomy is based; we must then reject at least one of these premises, and we must investigate the consequences which this has for the whole domain of our research. The three assumptions about the sample language L (semantically closed) which lead to the antinomy of the Liar:
“1. L contains the resources for stating facts about its own semantics, such as the term ‘true’ applying to sentences of L.
2. The ordinary laws of logic hold, including the law of the excluded middle.
3. The language contains the capacity to refer to its own expressions.
“Since these three premises lead to a contradiction, we must reject one of them. The problem is that each of the three seem very plausible. That it is clear that we cannot reject the second assumption, and it is extremely implausible to reject the third. Accordingly, we decide not to use any language which is semantically closed in the sense given.”
Apa maksud pernyataan Tarski di atas? Maksudnya, paradoks pembohong adalah sebuah silogisme yang premis-premisnya saling bertentangan (lihat asumsi kedua “the antinomy of the Liar” dari Tarski di atas), sehingga menghasilkan kesimpulan yang keliru. Pertentangan premis itu timbul karena adanya penafsiran yang menyamakan bahasa objek (semantik tertutup) dan metabahasa (semantik terbuka). Misalnya, buktikan: “Kalimat ini salah.” Jika kalimat itu salah, maka kalimat itu benar. Jika kalimat itu benar, maka kalimat itu salah. Kesimpulannya, kalimat itu benar dan sekaligus salah, alias kontradiksi. Bila kesimpulannya kontradiksi, berarti premis-premis di dalam silogismenya yang salah karena mengandung kontradiksi. Kenapa bisa mengandung kontradiksi? Karena premis-premis di dalam silogismenya mengandung sesat kategori dalam konteks konvensi-T, yaitu menyamakan antara makna satu kalimat biasa (semantik tertutup atau bahasa objek) dengan makna satu proposisi (semantik terbuka atau metabahasa). Makna satu kalimat tak bisa diuji dengan makna kalimat itu atau ingkarannya di dalam sistem bahasa objek, tetapi dengan makna atau aturan satu proposisi di dalam sistem metabahasa.
Apakah paradoks pembohong itu bisa dibuktikan dalam konteks kalimat atau proposisi belaka? Kalau paradoks pembohong hanya ada di tingkat kalimat atau proposisi, maka tak ada paradoks pembohong. Misalnya: “kalimat ini salah”. Apakah itu sudah bisa didefinisikan sebagai paradoks pembohong? Belum bisa. Kenapa? Karena itu baru bahasa objek. Kalimat bahasa objek itu akan menjadi paradoks pembohong setelah bahasa objek ditafsirkan sebagai identik dengan metabahasa. Misalnya, buktikan: “Kalimat ini salah.” Nah, pembuktian itu mesti dilakukan di tingkat silogisme menggunakan modes ponen. Begini:
R: Kalimat ini salah.
B: Benar.
-B: Tidak benar.
P: R = B
Q: R = -B
(P ⇒ Q), P ⊢ Q
Jika R = B, maka R = – B. Dan, R = B. Terbukti, R = – B.
Dibaca: Jika kalimat ini salah adalah benar, maka kalimat ini salah adalah tidak benar. Dan, kalimat ini salah adalah benar. Kesimpulannya, terbukti kalimat ini salah adalah tidak benar.
(Q ⇒ P), Q ⊢ P
Jika R = – B, maka R = B. Dan, R = – B. Terbukti, R = B.
Dibaca: Jika kalimat ini salah adalah tidak benar, maka kalimat ini salah adalah benar. Dan, kalimat ini salah adalah tidak benar. Kesimpulannya, terbukti kalimat ini salah adalah benar.
P Ʌ Q
Kesimpulan dari dua silogisme modus ponen di atas, kalimat ini salah adalah benar dan kalimat ini salah adalah tidak benar.
Jika mau ditulis dalam bahasa logika simbolis, maka silogisme di atas menjadi begini formulasinya: (P ⇒ Q), (Q ⇒ P) ⊢ (P Ʌ Q).
Nah, apa namanya pembuktian di atas kalau bukan silogisme yang dibentuk dari premis dan konklusi? Lalu, apakah silogisme di atas benar? Jawab: kesimpulan dari silogisme itu salah, karena mengandung kontradiksi. Dan kontradiksi itu timbul karena premisnya terkena paradoks pembohong, yaitu menganggap makna kalimat dalam sistem bahasa objek identik dengan makna proposisi di dalam sistem metabahasa. Jika mau ditulis dalam bahasa logika simbolis, maka falsifikasi dari silogisme di atas menjadi begini formulasinya: (P ⇒ Q), (Q ⇒ P) ⊬ (P Ʌ Q).
Adalah sebuah silogisme yang absurd jika saya hendak membuktikan satu proposisi bahwa “saya Erwin” adalah salah dengan menggunakan negasi dari proposisi itu yaitu “saya bukan Erwin”. Jika mau membuktikan “saya bukan Erwin”, maka mestinya menerapkan kriteria teori kebenaran semantik yang menggunakan operator IFF, yaitu: “Saya bukan Erwin” adalah benar, jika dan hanya jika “saya bukan Erwin”. Ingat, kriteria kebenaran dari operator logika IFF hanya benar bila nilai kedua proposisi atomiknya benar atau salah. Sebaliknya bila salah satu proposisi atomiknya bernilai salah, maka nilai proposisi majemuknya juga salah.
Demikian pula bila kita hendak menerapkan pembuktian terhadap kalimat perihal kebenaran teori korespondensi, maka mestinya menggunakan operator IFF pada konvensi-T, yaitu: “Teori korespondensi adalah benar jika, dan hanya jika, teori korespondensi.” Atau, jika hendak membuktikan teori korespondensi adalah salah, maka formulasinya dengan menggunakan operator IFF adalah begini: Teori korespondensi adalah salah jika, dan hanya jika, teori korespondensi.” Apa artinya itu? Artinya, orang harus membuktikan kebenaran atau kesalahan dari “makna” teori korespondensi di dalam realitas empiris. Jika Anda berhipotesis bahwa “makna” teori korespondensi itu sama sekali tak berhubungan dengan realitas empiris, maka Anda harus mencari proposisi yang bisa membuktikan hal itu, misalnya proposisi 1 + 1 = 1 dalam matematika diskrit. Namun, dalam konteks teori kebenaran paradigmatik (yang menggabungkan teori korespondensi, koherensi, dan pragmatis), ternyata proposisi matematika itu tetap berhubungan dengan realitas empiris, misalnya digunakan dalam teknologi komputer. Jika proposisi matematis itu tak berhubungan sama sekali dengan realitas empiris, maka teknologi komputer yang tercipta dari sistem matematika diskrit atau logika simbolis tak akan bisa terwujud. Adanya teknologi dan peralatan yang bernama komputer itu karena teori matematika diskrit bisa berkorespondensi dengan sistem input-output dalam teknologi elektronik komputer. Misalnya: di dalam teori “gerbang logika”, nilai 1 (simbol nilai “benar”) sama dengan ada arus listrik, dan nilai 0 (simbol nilai “salah”) sama dengan tiada arus listrik di dalam peralatan elektronik pada hardware komputer.
Pembuktian itu yang disebut pembuktian “teori kebenaran semantik” dari Alfred Tarski. Alfred Tarski adalah salah satu filsuf logika yang dipuji dan diakui oleh Kurt Godel karena telah memperluas temuannya tentang teori ketidaklengkapan ke dalam bidang logika.
Semantik adalah ilmu tentang hubungan simbol-simbol itu sendiri dengan mengacu kepada hal yang dimaknakan dalam simbol dan hal yang diacukan oleh simbol. Berdasarkan definisi semantik itu Alfred Tarski kemudian merumuskan teori kebenaran semantik, satu teori yang menggabungkan pendekatan linguistik dan logika formal. Ia menyatakan bahwa sebuah kalimat dalam bahasa objek mempunyai nilai benar jika, dan hanya jika, proposisi yang membuktikan kalimat itu mempunyai makna yang benar dan mempunyai acuan yang jelas dalam realitas empiris.
Tarski berpendapat bahwa syarat kebenaran suatu kalimat atau proposisi tergantung dari definisi yang akan dihasilkannya: 1) secara materiil sesuai; 2) secara formil sungguh-sungguh benar. Contoh: Kalimat “nanas adalah sejenis tanaman” adalah benar jika, dan hanya jika, “nanas adalah sejenis tanaman”. Kalimat pertama disimbolkan dengan huruf “P”, kalimat kedua diganti dengan huruf “p” dan menjadi simbol dari proposisi logis, sehingga menghasilkan rumus: Kalimat “P” adalah benar jika, dan hanya jika, proposisi “p” (valid secara pembuktian formil dan terverifikasi secara empiris). Artinya, kebenaran kalimat “P” tergantung pada pembuktian materiil dan formil dari proposisi “p” dengan menggunakan sistem logika konvensi-T atau sistem semantik terbuka.
———————————————————————
Bersambung ke halaman selanjutnya –>