More

    Logika Simbolis : Perihal P IFF p

    APENDIKS 1: TENTANG OPERATOR IFF

    Dalam logika dan bidang terkait seperti matematika dan filsafat, operator “jika dan hanya jika” (disingkat IFF, disimbolkan sebagai “↔”) adalah operator logika bikondisional atau ekuivalen antara dua “proposisi”. Contoh: P ↔ Q (dibaca “P IFF Q” atau “Jika dan hanya jika P, maka Q” atau “P jika, dan hanya jika, Q”).

    Operator bikondisional “dibuktikan” dari operator implikasi material yang digabungkan dengan konversinya, begini bila hendak dituliskan inferensi logisnya menggunakan logika simbolis:

    - Advertisement -

    (P ⇒ Q), (Q ⇒ P) ⊢ (P ↔ Q)

    Dibaca: (Jika dan hanya jika P, maka Q) terbukti valid, bila (Jika P, maka Q) dan (Jika Q, maka P) juga valid.

    Inferensi logis di atas merupakan bukti formal dari operator IFF. Apa artinya ini? Artinya: Jika Q merupakan syarat yang perlu untuk P dan P merupakan syarat yang cukup untuk Q (termasuk konversinya), maka P setara atau ekuivalen dengan Q. Untuk lebih jelas operator IFF bisa dimaknakan begini:

    1) P merupakan syarat yang cukup untuk Q
    2) Q merupakan syarat yang perlu untuk P
    3) ¬Q syarat yang cukup untuk ¬P
    4) ¬P merupakan syarat yang perlu untuk ¬Q.

    Berdasarkan pembuktian formil di atas, barulah kemudian bisa ditetapkan kriteria kebenaran koherensi bagi operator logika IFF, begini: satu proposisi majemuk yang menggunakan operator IFF bernilai benar, jika kedua proposisi atomiknya bernilai benar atau keduanya bernilai salah.

    Apakah operator IFF itu bisa diterapkan untuk membuktikan sebuah pernyataan logis dalam bahasa sehari-hari atau ilmiah yang berkorespondensi dengan realitas empiris? Ya, jelas bisa. Begini saya beri contoh:

    Diketahui:
    P = buah itu adalah durian.
    Q = Amin akan makan buah itu.

    Berdasarkan proposisi P dan Q di atas, dapat dibuat empat pemaknaan “relasional” dalam konteks operator bikondisional:

    1) Jika buah itu adalah durian, maka Amin akan makan buah itu.
    2) Jika dan hanya jika Amin akan makan buah itu, maka buah itu adalah durian.
    3) Jika Amin tidak akan makan buah itu, maka buah itu bukan durian.
    4) Jika dan hanya jika buah itu adalah bukan durian, maka Amin tidak akan memakan buah itu.

    APENDIKS 2: AKSIOMA LOGIKA IMAJINASI

    Apakah imajinasi bisa dijelaskan dengan teori logika (bukan dengan teori berpikir dalam psikologi)? Bisa dan usaha itu sudah lama dilakukan pada abad ke-20. Salah satunya dilakukan oleh Niiniluoto dalam satu kertas kerja ilmiah yang berjudul “Imagination and Fiction” pada Journal of Semantics-Oxford, tahun 1985. Niiniluoto memperkenalkan satu operator logika, meski mendapat banyak kritik di kalangan logikawan dunia, untuk imajinasi dengan notasi “I” (sering juga digunakan notasi “O”). Logika imajinasi itu dibangun dari satu aksioma dengan menggunakan sistem aksioma Hilbert dalam matematika, begini:

    1. I(ϕ → ψ) → (Iϕ → Iψ);
    2. I(ϕ ∧ ψ) ↔ (Iϕ∧ Iψ);
    3. Dari ⊢ ϕ, didapatkan ⊢ Iϕ;

    Niiniluoto menyatakan bahwa aksioma di atas adalah konsekuensi dari kondisi semantik berikut (menggunakan tata bahasa kasus dan logika modalitas): agen satu imajinasi φ di ψ jika dan hanya jika φ benar dalam semua kemungkinan dunia yang terjadi secara bersama tanpa konflik dengan satu imajinasi di ψ.

    Pendekatan Niiniluoto untuk aspek logis dari imajinasi mengandung error, karena:

    1. Niiniluoto mengkaji kasus interaksi modalitas tanpa menjelaskan perbedaan dari tata bahasa kasus dengan logika modalitas.
    2. Sifat metalogika dari logika tidak diperiksa dan menimbulkan kesalahan seperti dalam paradoks pembohong pada teori konvensi-T dari Tarski.
    3. Ia tidak membedakan antara imajinasi umum dan konsepsi logis.
    4. Aturan inferensi logis tidak boleh intuitif.

    Jean-Yves Beziau dalam makalahnya yang berjudul “Tutorial on Negation Contradiction and Opposition” kemudian mengkritik pendekatan aksioma Niiniluoto di atas. Ia menyatakan bahwa sebuah “proposisi imajinatif”, seperti OA ∧ OB → O(A ∧ B), bukan hanya gabungan dari dua agen imajinasi (OA dan OB), karena sebuah proposisi imajinasi mesti bisa membuka kemungkinan banyak “pembayangan” dalam konteks semantik. Jadi, mahluk mitologi seperti “centaur” dalam mitologi Yunani, bukan hanya gabungan dari imajinasi tubuh kuda (OA) dan imajinasi tubuh manusia (OB) yang mengakibatkan gabungan tubuh kuda dan manusia atau O(A ∧ B) pada mahluk mitologis centaur, tetapi mesti lebih dari itu. Keterbatasan aksioma imajinasi dari Niiniluoto mengakibatkan aksioma itu tak bisa “menjelaskan” mahluk mitologi seperti naga di dalam kebudayaan Cina, satu mahluk mitologis yang memiliki lebih dari dua agen imajinasi. Karena itulah, logika parakonsistensi berusaha untuk menjelaskan perihal imajinasi dalam konteks yang lebih luas, tanpa terjebak pada error logika seperti yang telah dilakukan oleh Niiniluoto.

    ——————————————————————————————–
    Esai Filsafat Logika @ Ahmad Yulden Erwin, 5 Februari 2017
    ——————————————————————————————–


    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here