More

    Pencegahan Alkohol Ilegal Terganjal Anggaran dan SDM

    BANDUNG, KabarKampus – Korban akibat minuman alkohol ilegal terus bertambah setiap tahunnya. Namun upaya penegakan hukum terhadap penjual alkohol ilegal terganjal keterbatasan SDM dan anggaran.

    Hal ini terungkap dari hasil penelitian Kidung Asmara Sigit, peneliti Center for Indonesian Policy Studies di wilayah Bandung Raya (Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kota Cimahi). Dari penelitian tersebut menunjukkan keterbatasan anggaran dan SDM menghalangi upaya penegakan hukum terhadap para penjual alkohol ilegal.

    Menurut data dari Satpol PP, di wilayah Bandung dan sekitarnya, antara Mei 2018 hingga Mei 2019, terdapat 13 kasus yang terjadi di Kabupaten Bandung, 11 kasus di Kota Bandung, 8 kasus di Kabupaten Bandung Barat dan tidak ada kasus ditemukan di Kota Cimahi. Totalnya ada 32 kasus yang ditemukan di wilayah Bandung Raya.

    Sayangnya, baik pihak kepolisian maupun Satpol PP tidak menyimpan data jumlah angka kematian dan cedera dari setiap kasus yang terjadi. Dikhawatirkan sebenarnya di lapangan ada banyak kasus yang tidak dilaporkan atau dicatat.

    - Advertisement -

    “Hasil penelitiannya menemukan adanya korelasi antara keterbatasan sumber daya dan upaya penegakan hukum terhadap para penjual alkohol ilegal yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Keterbatasan-keterbatasan yang ada tentu memengaruhi efektivitas upaya penegakan hukum yang dilakukan. Hal ini tentu berimbas pada peredaran alkohol, termasuk oplosan di pasaran,” jelas Kidung.

    Keterbatasan sumber daya manusia ini lanjutnya, menyebabkan banyak hal perlu dipertimbangkan dalam penugasan petugas kepolisian di sebuah wilayah, di antaranya adalah luas wilayah, populasi, anggaran, persentase petugas patroli, durasi dan beban kerja. Keputusan ini akan sangat berdampak pada tingkat efektivitas penegakan hukum. Akan tetapi, penugasan petugas kepolisian masih dianggap sebagai tantangan besar dalam memerangi peredaran alkohol ilegal di wilayah Bandung Raya.

    Berdasarkan hasil penelitiannya, Kidung menambahkan, di beberapa tempat, pihak kepolisian dan Satpol PP masih mengalami kekurangan personil untuk melakukan patroli. Satpol PP di Kota Cimahi hanya terdiri dari empat personil dan mereka ditugaskan untuk mengawasi area seluas lebih dari 39,27 km² dengan 607.811 penduduk. Jumlah ini menunjukkan rasio petugas terhadap populasi adalah 1:151.953.

    Hal ini tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di Satres Narkoba Kepolisian Kabupaten Bandung yang memiliki rasio petugas terhadap populasi sebesar 1:142.972, dengan hanya 26 personil untuk mengawasi area seluas 1.767,96 km² dengan 3.717.291 penduduk. Kekurangan petugas ini berakibat pada petugas yang merasa kewalahan dan bekerja lebih berat. Mereka tidak dapat mengawasi populasi di dalam yurisdiksinya dengan baik.

    “Kondisi kekurangan personil kepolisian dan Satpol PP di wilayah Bandung dan sekitarnya diperkuat oleh temuan penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). LIPI berargumen bahwa Indonesia kekurangan jumlah polisi dengan hanya satu petugas kepolisian untuk 750 orang, di mana rasio yang disarankan idealnya adalah 1:350,” urai Kidung.

    Terkait keterbatasan dari sisi anggaran, baik polisi maupun Satpol PP di wilayah Bandung Raya, menyebut bahwa pembiayaan adalah tantangan utama yang membuat mereka tidak bisa aktif melakukan patroli. Mereka juga berpendapat kalau sistem pembiayaan yang tidak jelas dan tidak pasti membatasi kapasitas mereka untuk memerangi alkohol ilegal. Tidak ada dana khusus yang dialokasikan untuk upaya penegakan hukum terhadap alkohol ilegal.

    Kidung menjelaskan, keterbatasan infrastruktur juga turut memengaruhi upaya penegakan hukum terhadap alkohol oplosan. Saat menangani kasus-kasus seperti ini, pihak kepolisian dan Satpol PP juga bergantung pada dukungan BPOM dan dinas-dinas terkait yang menangani layanan sosial dan kesehatan masyarakat. BPOM Jawa Barat misalnya, hanya memiliki satu alat untuk menguji makanan, minuman, kosmetik dan obat-obatan untuk sekitar 4.000 sampel yang mereka terima setiap tahun dari seluruh penjuru Jawa Barat.

    Hal tersebut menyebabkan penundaan, padahal pihak kepolisian membutuhkan barang bukti untuk segera diuji untuk investigasi lebih lanjut. Keterbatasan lainnya yang dihadapi adalah mengenai minimnya manajemen data.

    Yang terjadi di lapangan adalah, pihak kepolisian dan Satpol PP di wilayah Bandung dan sekitarnya tidak mengumpulkan data yang cukup. Sementara data yang tersedia cenderung tidak tertata dengan baik. Kurangnya data membuat kegiatan evaluasi menjadi tidak efektif. Pemberlakuan standarisasi yang baik terhadap upaya penegakan hukum juga sulit dilakukan.

    Selama Januari hingga April 2018, lebih dari 100 orang di beberapa daerah di Indonesia kehilangan nyawanya akibat mengonsumsi alkohol oplosan. Alkohol tersebut mengandung metanol, yang merupakan alkohol untuk industri dan tidak bisa dikonsumsi manusia. Sebanyak 57 kasus terjadi di daerah Bandung Raya.

    Kidung merekomendasikan agar upaya penegakan hukum perlu dibenahi. Terlebih pada hal-hal yang menjadi penghalang efektivitas penegakan hukum.

    Selain itu, peraturan pusat dan daerah mengenai minuman beralkohol utamanya dimaksudkan untuk mencegah orang untuk minum alkohol legal berdasarkan alasan kesehatan masyarakat, kebudayaan, dan keagamaan. Akan tetapi, hal tersebut tanpa disengaja memiliki konsekuensi buruk, yaitu masyarakat beralih pada alkohol ilegal.

    “Ketika akses legal dibatasi, konsumen beralih ke opsi ilegal. Terakhir, pemerintah juga perlu meningkatkan upaya pencegahan dan edukasi terhadap mereka yang berpotensi menjadi konsumen alkohol legal dan ilegal dari sisi kesehatan masyaraka. Hal ini dimaksudkan agar para konsumen bisa memahami dampak konsumsi alkohol dan bijak dalam mengonsumsinya (kalau akhirnya tetap mengonsumsi juga),” ungkapnya.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here