More

    Skripsi : Irelevansi dan Penjara Independensi

    Penulis : Praja Firdaus Nuryananda*

    Ilustration / salleurl.edu

    Sudah menjadi semacam kesepakatan pada khalayak banyak bahwa proses perkuliahan akan tamat ketika tugas akhir telah selesai dikerjakan. Prosesi selanjutnya adalah seremonial formalitas, seperti yudisium dan wisuda. Cara pandang tersebut tidak salah, namun seringkali disalahkaprahi. Cara pandang seperti itu akhirnya memberikan jeruji besi pada cara pikir kita tentang hakikat menyelesaikan proses perkuliahan. Selain itu juga melanggengkan skripsi menjadi momok dalam proses penyelesaian perkuliahan.

    Sebagaimana tertuang dalam Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi, tamatnya kuliah bergantung pada penyelesaian beban belajar minimal 144 sistem kredit semester (sks). Bukan bergantung pada selesainya tugas akhir. Maka sebenarnya, keberadaan tugas akhir dalam proses penyelesaian perkuliahan bersifat tidak wajib. Sebagaimana juga tersebut dalam Permenristekdikti yang sama, bagian kelima, tidak disebutkan sama sekali tentang menjadikan skripsi sebagai tugas akhir proses perkuliahan. Apalagi menjadikan skripsi sebagai satu-satunya bentuk tugas akhir dalam perkuliahan.

    - Advertisement -

    Hipotesis utama dalam artikel ini adalah meletakkan skripsi sebagai sebuah bentuk satu-satunya tugas akhir dalam kehidupan kuliah akan menjadi sebuah irelevansi yang besar dalam konteks pendidikan kontemporer. Apakah masih ada perguruan tinggi yang menerapkan skripsi sebagai satu-satunya bentuk tugas akhir perkuliahan? Banyak. Lalu, jika skripsi tidak lagi relevan untuk pendidikan tinggi sekarang, apakah ada alternatifnya? Banyak. Adakah masalah jika skripsi dijadikan sebagai satu-satunya bentuk tugas akhir perkuliahan? Banyak. Hampir tidak ada matakuliah di Indonesia yang bisa menyebabkan gangguan mental dan kematian kecuali skripsi[1][2][3][4].

    Dalam banyak referensi, skripsi merupakan tugas akhir perkuliahan yang wajib diselesaikan oleh mahasiswa agar dapat dinyatakan lulus dan memperoleh gelar sekaligus ijazah[5][6]. Namun demikian, banyak hal-hal yang sifatnya komplementer sehingga skripsi, dalam satu kesatuan peristiwanya, menjadi sangat mengerikan dan membahayakan terkadang bagi mahasiswa tingkat akhir. Mendukung hipotesis utama tulisan ini, bahwa skripsi kemudian menjadi kurang relevan dengan sistem pendidikan sekarang karena lima penyebab. Penyebab-penyebab ini juga menjadi argumentasi utama penulis untuk berani mengarusutamakan proposisi irelevansi skripsi dalam pendidikan sekarang.

    Pertama, mayoritas kampus meletakkan skripsi sebagai tugas akhir yang ditempuh di semester paling akhir, jika tidak semester akhir. Kedua, Karena dianggap sebagai tugas akhir, skripsi punya kecenderungan memiliki sks lebih banyak ketimbang matakuliah-matakuliah lainnya. Bahkan bisa dua kali lipat matakuliah biasanya. Kombinasi keduanya memiliki beberapa dampak akademik maupun psikologis bagi mahasiswa kebanyakan. Dampak pertama adalah jatuhnya nilai pada skripsi akan menurunkan drastis Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) seorang mahasiswa. Hal ini tentu berlanjut pada dampak kedua, yakni skripsi kemudian seakan meniadakan value dari proses pembelajaran sebelum-sebelumnya. Oleh karena itu, tidak heran ketika skripsi berubah menjadi momok akhir perkuliahan karena dia seakan tidak menganggap ada proses belajar di masa lampau. Hal ini akan menjadi semakin parah ketika seorang mahasiswa belajar di lingkungan yang mengukur kesempurnaan kuliah adalah kesempurnaan skripsi. Bagaimana kita bisa adil ketika proses selama 3,5-4 tahun hanya diukur melalui matakuliah di satu semester?

    Padahal, sebagaimana telah diselipkan sebelumnya tentang hal komplementer, proses penilaian skripsi tidak selalu murni karena obyektifitas para dosen penguji dan pembimbing, tetapi juga faktor psikologis para dosen tersebut, seperti ego intelektual mereka, bebas nilai mereka, dan bahkan emosi mereka pada saat menguji skripsi tersebut.

    Ketiga, dalam proses penyelesaian skripsi seringkali mahasiswa terkendala pada hal-hal yang non-substansial. Seperti kecenderungan dosen pembimbing yang sulit ditemui, waktu dosen pembimbing yang jarang luang untuk memberi koreksi dan revisi, sampai terkadang ego dosen pembimbing yang mengarahkan penulisan skripsi pada apa yang pembimbing tersebut inginkan. Hal ini berpotensi memunculkan kebingungan pada mahasiswa dan manajemen yang tidak efisien dalam penyelesaian sebuah tugas. Bukannya mengonfirmasi sistem pembelajaran dengan Taksonomi Bloom, skripsi di era sekarang ini semakin mengaburkan Taksonomi Bloom skripsi seringkali tidak mengarah kepada ranah tertinggi taksonomi pendidikan, yakni “penciptaan” dan “kebaruan”. Skripsi, karena sifatnya yang ilmiah, justru seringkali menjadi penghambat mahasiswa untuk menciptakan kebaruan tersebut.

    Keempat, jika skripsi dijadikan satu-satunya sistem evaluasi belajar mahasiswa selama kurang lebih 4 tahun perkuliahan, maka hal ini bisa jadi awal dari diskriminasi akademis. Rudolf Steiner dengan pendidikan holistik dan multiple intelligence-nya berpandangan bahwa intelektualitas manusia tidak bisa disamakan, oleh karena itu pendidikan seharusnya menyesuaikan dengan manusianya, tidak berlaku sebaliknya. Maka, sudah semestinya skripsi bukanlah satu-satunya manifestasi tugas akhir. Hal ini akan meringankan proses pembelajaran mahasiswa yang kurang begitu cepat dalam hal teoretik konseptual.

    Kelima dan terakhir, akumulasi dari penyebab-penyebab sebelumnya, skripsi dapat menyebabkan stagnasi akademik yang akut. Depresi dan stres adalah kondisi psikologis yang sering dihadapi oleh mahasiswa ketika skripsi tidak kunjung selesai. Tentu saja, sebuah rajutan yang menarik ketika benang irelevansi skripsi pada pendidikan sekarang ini dijahitkan pada semangat memerdekakan belajar dan kampus yang digagas oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sekarang ini, Nadiem Makarim. Keduanya saling bertolak belakang.

    Belajar dari kasus Risa Santoso, rektor termuda di Indonesia, yang membuat skripsi bukan satu-satunya manifestasi tugas akhir, nampaknya memberikan relevansi zaman pada pendidikan sekarang ini menjadi sebuah tantangan sekaligus kewajiban. Ataukah institusi pendidikan sekarang ini memang semakin membelenggu? Ivan Illich, salah seorang pakar pendidikan, sudah lama mengingatkan kita bahwa institusi pendidikan sekarang ini telah memenjarakan pengetahuan dan mendegradasi makna pendidikan itu sendiri, oleh karena itu muncul konsep ­de-schooling society yang menolak untuk mendewakan institusi pendidikan sebagai penanggung jawab kemajuan peradaban. Maka, mari memajukan peradaban dengan memerdekakan diri dari pendidikan yang mengancam kemanusiaan.

    *Anggota Geostrategy Study Club Surabaya, Dosen Hubungan Internasional UPN “Veteran” Jawa Timur dan Dewan Pendidikan Kota Kediri 2016-2021


    [1] Anon. 2019. Mahasiswa ITB Meninggal Setelah Kerjakan Skripsi 7 Hari Nonstop, Sempat Cerita Soal Kesehatannya. Tersedia di: https://www.tribunnews.com/regional/2019/12/01/meninggal-setelah-kerjakan-skripsi-7-hari-nonstop-mahasiswa-itb-sempat-cerita-terkait-kesehatannya, diakses pada 29 Januari 2020.

    [2] Wismabrata, Michael Hangga. 2019. Perjuangan di Balik Cerita Mahasiswi UIN yang Meninggal Setelah Sidang Skripsi lalu Digantikan Ayah Saat Wisuda. Tersedia di: https://regional.kompas.com/read/2019/03/02/21321411/perjuangan-di-balik-cerita-mahasiswi-uin-yang-meninggal-setelah-sidang?page=all, diakses pada: 29 Januari 2020.

    [3] Anon. 2018. Skripsi Tak Kelar-Kelar, 6 Mahasiswa ini Nekad Bunuh Diri. Tersedia di: https://www.bengkulutoday.com/skripsi-tak-kelar-kelar-6-mahasiswa-ini-nekad-bunuh-diri, diakses pada: 29 Januari 2020.

    [4] Rivai, Ferdianysah. 2015. SBY, Ingatkah Kau kepada David Hartanto (NTU)?. Tersedia di: https://www.kompasiana.com/dibawahlangitsenja.blogspot.com/552ff55f6ea8343f758b45a7/sby-ingatkah-kau-kepada-david-hartanto-ntu, diakses pada: 29 Januari 2020.

    [5] Poerwadarminta, W.J.S. 2002. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

    [6] Huda, Miftahul. 2011. “Perkembangan Ilmu di STAIN Ponorogo”, dalam Jurnal Dialogia 9 (2), 2011.

    - Advertisement -

    2 COMMENTS

    1. Tulisannya sangat baik dan memberi pemahaman yang detail tentang apa yang terjadi saat ini, dan harus bagaimana solusinya. Bravo Rifka Silmia Salsabila.

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here