Belajar adalah cara manusia untuk memahami alam semesta. Pendidikan dan penelitian sendiri adalah sarana yang digunakan negara untuk membantu warga negaranya belajar. Namun, berbagai tantangan terus menghambat kemajuan dunia pendidikan Indonesia. Menurut Hamid Muhammad (2018), Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, bahwa: “Ada dua tantangan utama pendidikan di Indonesia yang harus kita tangani secepatnya, yakni akses pendidikan dan kualitas pendidikan.”
Sesuai dengan ungkapan tersebut, mungkin kita bertanya-tanya, apa yang salah dengan dunia pendidikan Indonesia?
Berdasarkan laporan Global Innovation Index (GII) tahun 2018, dengan menggunakan rentang skor 0-100, menunjukan bahwa Singapura memiliki skor 59,8 yang berarti satu-satunya negara Asia dan ASEAN yang berada di posisi lima besar dunia, disusul oleh Malaysia di posisi ke-35 dan Thailand di peringkat 44. Sedangkan Indonesia berada di urutan ke-85 dengan skor 29,8 atau peringkat kedua paling bawah di negara ASEAN, di atas Kamboja yang memiliki skor 26,7, Filipina (31,6), Brunei (32,8), dan Vietnam (37,9) (2019).
Pembangunan kualitas SDM dan riset menjadi salah satu kunci utama kemajuan negara. Melalui inovasi dan kualitas SDM, sektor produksi akan berkembang dan daya saing global akan meningkat. Tidak heran, anggaran Indonesia untuk pendidikan dapat mencapai Rp 444 triliun di tahun 2018 atau 66%, diantaranya untuk pendidikan di daerah (2018). Ironisnya, tingginya anggaran pendidikan tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan, bahkan cenderung stagnan. Bila ditinjau kembali, problematika tersebut tidak hanya bermuara pada pemerintah, melainkan juga seluruh civitas academica. Artinya, ada yang salah dalam fondasi pendidikan Indonesia. Itulah yang menjadi motivasi utama dalam karya ini.
Trilogi Ilmu Pengetahuan: Manusia, Pendidikan dan Riset
Fondasi ilmu pengetahuan dibangun atas harmonisasi antara manusia, teori dan praktik. Kita percaya bahwa kebenaran tidak sekadar teori saja. Dengan segala keterbatasannya, manusia mencoba menutupi kekurangan itu dengan belajar dan terus mengamati alam sekitarnya. Menurut Alfred North Whitehead (dalam Brodie, 2005), matematikawan dan filsuf Inggris, bahwa: “Tidak ada kebenaran mutlak; semua kebenaran adalah separuh kebenaran.” Pesan yang ingin disampaikan adalah “janganlah puas dengan apa yang diketahui”, karena sesungguhnya pengetahuan manusia terbatas. Sehingga, trilogi ilmu pengetahuan bermuara pada diri manusia itu sendiri sebagai pondasi paling utama.
Akan tetapi, manusia sendiri tidak dapat mencapai kemampuan optimalnya tanpa adanya bantuan dari orang lain. Inilah tugas dunia pendidikanlah untuk memberikan pelajaran dan mempersiapkan SDM. Namun, pendidikan yang dilakukan tidak sekadar pada teori semata, namun juga praktik lapangan. Aunurrahman (2016) berpendapat, “pendidikan bertumpu pada 4 pilar, yaitu: 1) learning to know; 2) learning to do; 3) learning to live together, learning to live with others; dan 4) learning to be. Pendidikan sejatinya adalah belajar, di mana manusia berusaha untuk memahami dirinya, orang lain, dan juga alam. Dengan begitu, korelasi antara pendidikan dan riset adalah dua unsur yang terintegrasi dan tidak mungkin dipisahkan.
Ada komponen penting yang tidak boleh luput dari dunia akademisi, sebuah penemuan terbesar umat manusia, yaitu “ketidaktahuan”. Ignoramus, yang berarti “kami tidak tahu” dalam bahasa Latin, adalah tradisi sains yang sangat penting. Yuval Noah Harari (2017) berpendapat, “…sains modern menerima bahwa segala hal yang kita pikir kita tahu bisa saja terbukti salah seiring semakin banyaknya pengetahuan yang kita peroleh.” Dengan perasaan itu, manusia menuntaskan keingintahuannya dengan pendidikan dan riset. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan gagasan tentang peripatetic sebagai sebuah model belajar yang dapat diimplementasikan dalam dunia pendidikan Indonesia. Dengan peripatetic diharapkan dapat meningkatkan kualitas SDM melalui pemanfaatan dimensi literasi.
Peripatetic: Sebuah Metode Belajar Literasi
Harmonisasi antara pendidikan dan penelitian tidak dapat digoyahkan. Agar harmonisasi tersebut dapat terwujud, sebuah metode belajar harus mampu mengkolaborasikan keduanya, metode yang dimaksud adalah peripatetic. Peripatetic sendiri merupakan metode belajar yang dicetuskan oleh Aristoteles. Felix C. Robb (2009) menceritakan: “This practice of strolling about the ‘peripaton,’ or walk, of the temple of Lycian Apollo while he taught gave to Aristotle and his followers the name ‘Peripatetics’.” Tindakan tersebut dilakukan agar para pelajar dapat belajar langsung dari lingkungan sekitar. Dengan begitu, diharapkan tumbuh rasa empati dan keingintahuan yang kuat pada para akademisi sehingga memicu untuk menyelesaikan sumber permasalahan secara “radikal”.
Model peripatetic sangat fleksibel sehingga dapat dilakukan oleh siapapun. Di sini, akademisi diajak untuk berinteraksi dengan lingkungan dan melatih daya nalarnya dalam menanggapi suatu fenomena atau sekadar diskusi hangat bersama pendidiknya. Literasi adalah konsep utama dalam model peripatetic. Marko Malink (2017) pernah memaparkan, “This latter ambition of reducing hypothetical to categorical logic is known in the literature as the ‘Peripatetic program’.” Peripatetic ingin pendekatan literasi mereduksi hipotesis semata dan menjadikannya literally. Itulah yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia sekarang, berpikir secara literat, termasuk merdeka dan tidak terikat.
Meskipun begitu, penulis menilai ada sesuatu yang mengintai di balik bayang, sesuatu yang menjadi musuh sesungguhnya bagi dunia pendidikan Indonesia, yang mampu mempengaruhi kualitas pendidikan dan mendegradasi semangat untuk berkarya, yaitu kapitalisme riset dan feodalisme akademik. Musuh bersama ini akan kita namai dengan meme “kredo kapital” dan “feodalisasi”. Oleh karena itu, mengutip dari istilah arah politik Indonesia, perlu dihidupkan upaya non-blok dalam memerangi meme pengacau tersebut.
Edukasi Non-Blok VS Meme Kredo Kapital-Feodal
Pada tahun 1950-an, Gerakan Non-Blok membawa perubahan besar bagi negara-negara yang baru merdeka, dan terbelakang. Gerakan yang dicetuskan Indonesia untuk menyuarakan kemerdekaan dan terbebas dari intervensi dua blok raksasa (komunis dan liberal) serta independen dalam menentukan arah politiknya, mendapat tempat tersendiri bagi negara-negara non-blok. Atas dedikasi itulah, kita dapat memperlakukan hal yang sama pada dunia pendidikan Indonesia menjadi “Edukasi Non-Blok”.
Edukasi Non-Blok dimulai dengan mempertegas arah pendidikan Indonesia. Tanpa konsistensi, proses pencapaian tujuan pendidikan akan terpengaruh. Role model sangat diperlukan, namun terkadang kita juga lupa akan jati diri bangsa dan terlena dengan kemajuan bangsa lain. Akibatnya, bangsa Indonesia terlalu berkiblat dan kehilangan semangat kebangsaannya. Misalnya, nilai kapitalistik dan feodalisme penjajah yang masih dilestarikan dalam dunia pendidikan. Dengan memutus rantai pertama, yang kita kenal dengan “meme kredo kapital”, diharapkan seluruh akademisi dapat menyadari bahwa pendidikan adalah tanggungjawab seluruh pihak, dan kapitalisme adalah penghalang yang nyata.
Kapitalisme, bukan hanya menghambat optimalisasi kualitas pendidikan dan penelitian, tetapi juga penghambat pemerataan yang membuat kualitas para intelektual stagnan. Sorotan penting lainnya, aturan Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi No. 20 Tahun 2017 yang dinilai membuka keran bagi kapitalisme dunia pendidikan. Problematikanya, publikasi jurnal terindeks, baik nasional dan internasional, sebagai syarat tunjangan Akibatnya, iklim dunia akademik Indonesia meredup dan cenderung kapitalistik.
Hal itulah yang membuat meme “reputasi” menjangkiti benak akademisi untuk mempublikasikan karyanya di Scopus sebagai indikator keren para intelektual. Meme itu terus menyebar dan diwariskan oleh kultur kapitalistik. Kemudian, lahirlah “kecurangan” dalam karya ilmiah demi tuntutan publikasi dan akses tunjangan, tanpa mengindahkan kualitasnya, contohnya kasus kartel sitasi. Jon Tennant dan Hamonangan, sebagaimana yang dikutip dari detik.com (2019) memaparkan: “Scopus sebetulnya banyak yang mengkritik, dominasinya yang sangat hegemonik menjadikan banyak pihak mengkritik bias indeksasi Scopus-Elsevier, akses, dan soal orientasi bisnisnya.” Padahal, publikasi di kanal selain Scopus pun bukanlah sebuah masalah. Hal yang terpenting adalah kualitas dan kebermanfaatannya. Ego tersebut harus dilepaskan, sehingga akademisi akan bersungguh-sungguh dalam menggarap karyanya. Tentu, perlu dukungan pula dari pemerintah, khususnya dalam kebijakan.
Terakhir, meme “jahat” yang harus dilenyapkan, yaitu feodalisme. Dalam dunia pendidikan, feodalisme adalah penghambat paling nyata dalam kreativitas dan inovasi. Menurut Ki Hajar Dewantara, “guru adalah dewa yang selalu benar, dan murid adalah kerbau yang selalu salah.” Feodal dalam akademisi menurunkan daya tarik dan semangat untuk belajar. Goldsmith (dalam Aunurrahman, 2016) dalam penelitiannya, menunjukan: “Pemimpin yang mampu menumbuhkan suasana dialogis, kesetaraan, dan tidak arogan atau non-defensif serta selalu berupaya mendorong sikap positif, akan dapat mendorong terjadinya keefektifan proses pembalajaran.” Atas dasar penelitian itu, penulis menilai bahwa pendidik harus bersikap layaknya seorang leader, yang memotivasi pelajar untuk berkarya. Keterbukaan adalah kuncinya, dan kejujuran “akademik” adalah prinsipnya. Oleh karena itu, problem feodalisme harus dituntaskan agar dapat mengembalikan iklim pendidikan yang penuh kolaboratif.
PENUTUP
Pada akhirnya, kita menyadari bahwa perubahan pasti akan datang. Dunia pendidikan Indonesia bisa dibenahi dengan komitmen untuk menghapus segala warisan penjajah yang selalu menempatkan Indonesia terbelakang. Pendidikan adalah bagian dari kemajuan bangsa, oleh sebab itu tidak ada satu warga negara pun yang tidak mendapatkan akses pendidikan. Membenahi pendidikan di mulai dengan membenahi manusia Indonesia. Seiring berjalannya waktu, pendidikan akan menciptakan para cendekiawan dan peneliti yang akan memajukan bangsanya.
Kehadiran negara dan dukungan dari civitas academica sangat diperlukan. Gagasan utama dalam karya ini, perlawanan terhadap meme jahat penghambat kemajuan bangsa Indonesia merupakan musuh bersama. Kredo kapitalisme dan feodalisme hanya bisa dimusnahkan selama kita menyadari kelemahan itu dan berkomitmen untuk menghapusnya. Kontra skema terhadap meme tersebut adalah bukti kepedulian kita sebagai akademisi yang akan membawa wajah pendidikan dan penelitian Indonesia ke arah yang lebih baik.
*Penulis adalah mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman. (2016). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: CV. Alfabeta.
Brodie, R. (2005). Virus Akal Budi. (T. Hermaya, & C. M. Udiani, Trans.) Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Detik.com. (2019, Maret 21). Scopus dan Problem Kultur Akademik Kita. Retrieved from Detik.com: https://news.detik.com/kolom/d-4477199/scopus-dan-problem-kultur-akademik-kita.
Harari, Y. N. (2017). Sapiens (6th ed.). (D. T. Palar, Trans.) Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Katadata.co.id. (2018, Juni 6). Bank Dunia: Kualitas Pendidikan Indonesia Masih Rendah. Retrieved from Katadata.co.id: https://katadata.co.id/berita/2018/06/06/bank-dunia-menilai-kualitas-pendidikan-indonesia-masih-rendah
Kompas.com. (2018, September 28). Tingkatkan Kualitas Pendidikan Dasar, Kemendikbud Luncurkan “PINTAR”. Retrieved from www.kompas.com: https://edukasi.kompas.com/read/2018/09/28/11322361/tingkatkan-kualitas-pendidikan-dasar-kemendikbud-luncurkan-pintar
Malink, M. (2017, November 1). The Peripatetic Program in Categorical Logic: Leibniz on Propositional Terms. Retrieved from Cambridge.org: https://www.cambridge.org/core.
Robb, F. C. (2009). Aristotle and Education. Peabody Journal of Education, XX(4), 202-213.
Tirto.id. (2019, Juni 24). Kualitas Pendidikan dan Riset Indonesia Rendah, Inovasi Tersendat. Retrieved from tirto.id: https://tirto.id/kualitas-pendidikan-dan-riset-indonesia-rendah-inovasi-tersendat-ecWM.