Contoh satu puisi “mantra” karya Sutardji Calzoum Bachri:
——–
BATU
——–
batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu jarum
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?
Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati takjatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa
gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai
sedang lambai tak sampai. Kau tahu
batu risau
batu pukau
batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati
janji?
***
Pertanyaan saya:
1. Adakah ketidaklogisan di dalam sepuluh proposisi dari Sutardji itu? Jika memang ada, kenapa itu menjadi tidak logis?
2. Bisakah Anda membuktikan letak inovasi dalam konteks ars poetica—baik di Indonesia maupun dunia—pada “Kredo Puisi” dari Sutardji itu?
3. Apa yang dimaksud dengan inovasi dan ars poetica dalam konteks perkembangan estetika puisi atau sastra di Indonesia dan atau dunia?
4. Menurut Anda apa yang dimaksud oleh Sutardji sebagai “aksentuasi maksimal” di dalam puisi?
5. Menurut Anda apa yang dimaksud “mantera” sebagai bentuk paling mula dari kata dan atau puisi seperti yang dinyatakan oleh Sutardji?
Jika Anda memang mau, maka mari kita diskusikan hal ini dengan logis, bukan dengan argumentum ad hominem atau sesat pikir lainnya. Silakan.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>