Berikut contoh mantra-mantra dalam tradisi Melayu:
1. Mantra Penahan Kulit (Kebal):
Kejang aku kejang rungkup
Kejang tunjang tengah laman
Kebal aku kebal tutup
Terkucap kulit tak berjalan
Terkunci terkancing tak mara
2. Mantra Penunduk Hantu Laut (sudah berbaur dengan tradisi Islam):
Hai hai, anak datuk laut
Nyalah engkau, pergilah
Jikalau engkau tidak pergi
Aku pukul dengan ijuk tunggal
Dengan ijuk pusaka
Aku sekal kepalamu dengan sengkalan
Aku tau asalmu jadi
Dari kun fayakun
Berkat kalimat laihaillallah
Muhammadarrasulullah
Pua-pua adanya
Sutardji sebagai penyair yang lahir dan mengalami masa kecil dalam tradisi Melayu di Riau, memang akrab dengan tradisi mantra “puak” Melayu. Mantra, bagi Sutardji, mungkin semacam bawah sadar atau arkhetipe dari dirinya. Namun, kemudian bawah sadar ini dipengaruhi oleh berbagai tradisi estetika Barat seperti simbolisme, surealisme, hingga eksistensialisme Prancis ketika ia menuliskan puisi-puisinya. Tema-tema dalam puisi Sutardji juga mestinya dipahami dalam kerangka akulturasi estetika Timur (Mantra Melayu) dan Barat (simbolisme, surealisme, dan eksistensialisme Prancis). “Akulturasi” tersebut merevitalisasi pemahaman “mantra” dari tradisi mantra Melayu yang cenderung “fungsional” menjadi “mantra esensialisme (bahkan eksistensialisme)” di dalam puisi-puisi Sutardji. Itu juga tercermin dalam proposisi ke-2, ke-7, ke-8, ke-9, dan ke-10 pada Kredo Puisi Sutardji
————————————————————–
Esai © Ahmad Yulden Erwin, 2017–2020
————————————————————–