More

    Beberapa Modus Sesat Pikir dalam “Teori Konspirasi”

    Ilustrasi / Foto : Pikist

    1. Teori Konspirasi Menggunakan Sesat Pikir “Non Causa Pro Causa”

    Teori konspirasi sebenarnya gampang sekali dibuat. Salah satunya cukup mengandalkan argumen sesat pikir non causa pro causa, yaitu: kesesatan berpikir akibat penarikan kesimpulan relasi “sebab-akibat” yang keliru, karena apa yang terjadi sebelumnya dianggap sebagai penyebab sesungguhnya suatu kejadian berdasarkan dua peristiwa yang terjadi secara berurutan. Orang lalu cenderung berkesimpulan bahwa peristiwa pertama merupakan penyebab bagi peristiwa kedua, atau peristiwa kedua adalah akibat dari peristiwa pertama. Padahal urutan waktu saja tidak dengan sendirinya menunjukkan hubungan sebab-akibat.

    Misal, ada pemboman di sebuah supermarket di New York City. Sementara sebelum pemboman itu terjadi dalam kamera CCTV di pintu masuk terekam ada sekumpulan orang-orang berjenggot mirip orang Arab yang memasuki supermarket itu. Lalu, segera ditarik kesimpulan orang-orang Arablah yang melakukan pemboman itu. Padahal mereka bukan orang-orang Arab sebenarnya, tapi penggemar grup band Metallica.

    - Advertisement -

    Nah, kita memang suka sekali dengan teori konspirasi, karena itu membuat kita merasa bisa menemukan jawaban dari suatu persoalan yang pelik, merasa kita bisa berpikir tanpa perlu berpikir keras. Teori konspirasi, juga framing, pada prinsipnya mengandalkan “asosiasi”. Pada contoh kasus di atas adalah “asosiasi” orang-orang berjenggot. Ini mainan lama, mainan “advokasi hitam”.

    2. Teori Konspirasi Menggunakan “Fraud”

    Menurut George Soros pada Januari 2016 lalu di satu majalah ekonomi global yang terbit di AS, RRC diambang krisis ekonomi seperti dialami oleh AS pada tahun 2008. Ini berita terbaru yang saya baca. Dan saya teringat ketika saya membaca buku George Soros soal krisis 2008 di AS (The New Paradigm for Financial Markets) serta soal siklus “boom & bust” dalam perekonomian global (The Alchemy of Finance) bahwa sebuah krisis ekonomi atau moneter akan melanda suatu negara ketika “fraud” (penipuan) menjadi bagian inheren dari satu sistem ekonomi. Pada mulanya “fraud” akan berjalan efektif dengan hasil yang sangat fantastis (boom) dalam waktu singkat, hingga akhirnya “fraud” itu terbongkar dan ekonomi dilanda krisis (bust). Kemudian setelah itu masyarakat baru kembali sadar (bersikap rasional) terhadap pilihan-pilihan ekonominya (equilibrium).

    Dan dalam berita lainnya saya membaca hasil riset soal media jejaring sosial sebagai media periklanan. Berdasarkan riset di AS tahun ini ditemukan fakta bahwa iklan di media jejaring sosial seperti Facebook atau Twitter tidaklah efektif seperti perkiraan beberapa tahun sebelumnya. “Booming” ekonomi media jejaring sosial kemungkinan besar akan segera pecah (bust). Harga saham Facebook (FB) dan twitter akan kembali anjlok di bursa saham Wall Street. Kenapa? Sebabnya, menurut riset tersebut, tak lain karena sistem media jejaring sosial tak mampu menemukan satu cara untuk menangani “fraud”, seperti akun ganda (palsu), banjir informasi sampah yang mirip satu sama lain, program “klik” palsu untuk memanipulasi rating, plus manipulasi data dari perusahaan pengiklan tentang efektifitas iklan online di situs jejaring sosial (padahal faktanya hanya di bawah 10% para pengguna akun media sosial yang mengklik iklan di situs jejaring sosial).

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here