4/
Penelitian bahasa Sanskerta oleh bangsa Eropa dimulai oleh Heinrich Roth (1620–1668) dan Johann Ernst Hanxleden (1681–1731), dan dilanjutkan dengan proposal penelitian tentang rumpun bahasa Indo-Eropa oleh Sir William Jones. Penelitian ini memainkan peranan penting pada perkembangan ilmu perbandingan bahasa di dunia Barat.
Sir William Jones, saat berceramah pada Asiatick Society of Bengal di Kalkuta, 2 Februari 1786, berkata: “Bahasa Sanskerta memiliki struktur yang menakjubkan; lebih sempurna daripada bahasa Yunani, lebih luas daripada bahasa Latin dan lebih halus dan berbudaya daripada keduanya. Namun, ada keterkaitan yang lebih erat pada ketiganya, baik dalam bentuk akar kata-kata kerja maupun bentuk tata bahasa, yang tak mungkin terjadi hanya secara kebetulan. Keterkaitan itu memang sangat erat, sehingga tak ada seorang ahli bahasa yang bisa meneliti ketiganya, tanpa percaya bahwa mereka muncul dari satu sumber yang sama, yang kemungkinan sudah tak ada.”
Bahasa Sanskerta adalah salah satu bahasa Indo-Eropa paling tua yang masih dikenal dan sejarahnya termasuk yang paling lama. Bahasa yang bisa menandingi kekunoan bahasa ini dari rumpun bahasa Indo-Eropa hanya bahasa Het. Kata “Sanskerta”, dalam bahasa Sansekerta, berasal dari kata “Saṃskṛtabhasa” yang berarti “bahasa sempurna”.
Posisi bahasa Sanskerta dalam kebudayaan Asia Selatan dan Asia Tenggara mirip dengan posisi bahasa Latin dan Yunani di Eropa. Bahasa Sansekerta berkembang menjadi banyak bahasa-bahasa modern di anak benua India. Bahasa ini muncul dalam bentuk praklasik sebagai bahasa Veda. Bahasa Sanskerta yang ada dalam kitab Rgveda merupakan fase yang tertua dan paling arkhais. Teks ini ditarikhkan berasal dari kurang lebih 1700 SM.
Sebuah peradaban yang tinggi, dalam teori sejarah peradaban, adalah peradaban yang telah mampu memformulasikan bahasa lisan menjadi bahasa tulis. Sebuah peradaban tinggi yang maju adalah sebuah peradaban yang mampu memformulasikan bahasa tulisnya menjadi teks abstrak. Abstraksi adalah kunci dari kreativitas berpikir manusia. Kemampuan berpikir logis suatu bangsa berkorespondensi dengan kemampuan memformulasikan bahasa tulisnya menjadi teks abstrak. Bahasa Sanskerta adalah contoh dari bahasa abstraksi tulisan. Bahasa Sansekerta, termasuk bahasa awal di Nusantara, mampu memprogram sebuah simbol (kata atau suku kata) menjadi memiliki arti yang bertingkat sesuai kesadaran penggunanya. Uniknya bahasa Sanskerta tak mengenal kata benda, tetapi kata benda dikategorikan sebagai bagian dari kata sifat. Ini menunjukkan bahwa pengguna bahasa Sansekerta–khususnya versi veda–menyadari episteme keesaan dan memahami representasi serta persepsi adalah sebuah proses dari sebuah sistem. Hal ini mirip dengan bahasa komputasi saat ini.
Kenapa dalam bahasa Sanskerta tak ada jenis kata benda? Karena benda dalam bahasa Sansekerta dilihat sebagai sebuah proses, sebagi sebuah gerak. Contohnya begini: dalam sistem bahasa tulis Sanskerta versi veda, ada banyak kata untuk pohon, misalnya pohon yang dipotong bagian bawahnya (A1 = kata 1 untuk pohon), pohon berdaun rimbun (A2), pohon meranggas (A3), dst. Setiap kata juga memiliki tingkatan makna S (1, 2, 3) sesuai kesadaran penggunanya [A1 = S(1, 2, 3)], dst. Seorang pengguna bisa membuat formulasi sintaksis yang berlapis terkait kombinasi makna dan definisi dari kata sifat tersebut. Jadi, kata dalam bahasa sansekerta itu mirip sebuah variabel atau proposisi dalam bahasa logika modern. Kemampuan memformulasikan bahasa dengan cara seperti ini jelas merupakan cerminan dari episteme yang sudah sangat maju. Bahkan dalam sistem bahasa modern pun tak ada yang secanggih ini dalam memformulasikan bahasa secara linguistik. Kemungkinan besar sistem linguistik Sanskerta ini mendekati bahasa kecerdasan buatan (AI) pada saat ini atau masa depan.
Contoh lainnya, di dalam sintaksis bahasa Sanskerta dengan sistem Veda, susunan fungsi kata dapat ditukar-tukar urutannya tanpa memengaruhi makna. Dalam struktur sintaksis yang standar, bahasa Inggris misalnya, susunan fungsi-fungsi kalimat atau klausanya akan berbentuk: Subjek + Predikat + Objek/Keterangan (S + P + O/K). Ketika susunan ini diubah, maka secara sintagmatik kalimat itu menjadi tak bermakna. Tapi, dalam bahasa Sanskerta susunan itu boleh diubah-ubah dalam berbagai kombinasinya, misalnya O + P + K + S, tanpa memengaruhi makna kalimat. Hal ini mirip dengan sistem bahasa orde tinggi untuk logika matematika. Model sintaksis seperti bahasa Sansekerta ini ada terjejak juga dalam sintaksis bahasa Melayu Kuno atau bahasa Indonesia modern (utamanya dalam sintaksis puitik), misalnya “Aku pergi ke pasar (S + P + K)” dapat diubah susunanannya menjadi “Ke pasar pergi aku (K + P + S)”, atau, “Pergi ke pasar aku” (P + K + S), atau, “Aku ke pasar pergi” (S + K + P). Bagi pengguna bahasa Melayu atau Indonesia perubahan susunan fungsi-fungsi kalimat ini tak memengaruhi arti kalimat. Hal yang seperti ini tak mungkin terjadi dalam sintaksis bahasa Inggris atau Latin yang dibangun berdasarkan episteme monistik yang bersandar pada urut-urutan kausalistik itu. Episteme bahasa Sanskerta atau bahasa Melayu Kuno atau bahasa Jawa Kuno atau mungkin juga bahasa lainnya di Nusantara dibangun oleh prinsip keserentakan atau keesaan, yang bersandar pada kesadaran Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa (berbeda tapi tetap satu, tak ada kebenaran yang mendua). Jadi, struktur sintaksis dalam bahasa Sansekerta atau bahasa Melayu Kuno itu mencerminkan gerak, fungsi-fungsi yang dinamis, dari bahasa.
Memang, ilmu linguistik modern–terutama bidang fonologi–pertama kali muncul di antara para ahli bahasa India kuno yang berusaha menetapkan hukum-hukum bahasa Sanskerta. Ilmu linguistik modern, mau tidak mau, mesti mengakui telah banyak berhutang kepada bahasa Sansekerta. Dengan kata lain, tak akan ada ilmu linguistik modern tanpa adanya tata bahasa Sanskerta.
——————————————
Esai @ Ahmad Yulden Erwin
——————————————