More

    Epistemologi dan Episteme

    *

    Aristoteles menyatakan bahwa sebuah proposisi dalam logika haruslah berkorespondensi dengan kenyataan, dengan realita sehari-hari. Inilah, korespondensi itu, yang menjadi dasar dari prinsip pertama dalam logikanya, prinsip identitas (A = A), idealitas (proposisi) = realitas (fakta sehari-hari). Ribuan tahun prinsip ini diterima oleh masyarakat, penguasa, dan kalangan intelektual di dunia. Mereka seperti ditarik oleh kekuatan gravitasi dari logika formal itu, tunduk dan menerima saja pernyataan Aristoteles bahwa gigi kuda berjumlah 24. Sampai suatu hari Francis Bacon (1561 – 1626), filsuf dan sastrawan Inggeris, iseng mencoba menghitung gigi kudanya sendiri dan ternyata berjumlah 23. Ia penasaran dan mencoba menghitung gigi kuda lainnya dan tetap berjumlah 23. Sejak itu ia pun menyadari bahwa masyarakat dan para filsuf sebelumnya telah mengalami sesat pikir karena otoritas. Mereka mengabaikan satu fakta mendasar, fakta yang justru dibangun oleh prinsip korespondensi dari logika Aristoteles sendiri, bahwa idealitas haruslah berkorespondensi dengan realitas. Begitulah muasalnya Francis Bacon membangun logikanya sendiri, logika yang menjadi dasar dari sains modern hingga saat ini, yaitu: impirisme. Sebuah proposisi logika hanya bermakna ketika bisa diverifikasi di dalam realita.

    Prinsip korespondensi dari logika Aristoteles (termasuk impirisme dari Francis Bacon) terus diterima sebagai jalan untuk mencapai kebenaran, hingga pada awal abad ke-20 Sir Bertrand Russel mengemukakan prinsip yang lain dari logika formal maupun impirisme, yaitu prinsip koherensi. Menurut Russel, sebuah proposisi tak mesti berkorespondensi dengan realitas, tetapi cukup memiliki hubungan dengan proposisi sebelumnya yang telah terbukti benar. Bertrand Russel bersama A.N. Whitehead kemudian membangun prinsip-prinsip dasar dari logika matematika, atau yang kelak dikenal sebagai logika proposisional. Berdasarkan idealitas murni (yang sama sekali tak berpatokan pada realitas), maka matematika dan sains murni lainnya memiliki landasan yang kokoh dalam epistemologi atau filsafat tentang cara berpikir manusia.

    - Advertisement -

    Dilema tentang bagaimana membuktikan dalam realitas sebuah proposisi matematis tentang angka 2 dalam fungsi matematika 1 + 1 = 2, akhirnya terpecahkan. Proposisi matematis itu sama sekali tak perlu dibuktikan dalam realitas, tak perlu dibuktikan dengan menunjukkan satu (1) jari tangan kanan ditambah satu (1) jari tangan kiri untuk membenarkan dua (2) jari tangan kanan dan kiri, karena itu pembuktian yang tak bermakna dalam konteks prinsip korespondensi. Konsep angka dua tidak menjadi logis hanya dengan merujuk pada penjejeran dua jari tangan, karena kita bisa menunjuk pada sepasang batu di ujung jalan atau sepasang pohon di halaman. Dengan kata lain konsep angka dua tidak bisa dibuktikan kebenarannya hanya dengan menunjuk kepada dua jari tangan, tetapi oleh konsep penjumlahan sepasang angka satu itu sendiri yang telah disepakati dan diterima kebenarannya oleh kalangan intelektual lainnya. Kebenaran sebuah proposisi hanya terbukti benar bila bersesuaian atau koheren dengan proposisi sebelumnya yang telah diterima sebagai suatu kebenaran.

    Bertahun-tahun kemudian, seorang filsuf dari Austria, Karl Raimund Popper, menemukan prinsip “kebenaran yang keliru” (falsifikasi) dari logika proposisional Bertrand Russel tersebut. Logika proposisional, menurut Popper, hanya membuat stagnan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, karena berhibuk hanya untuk membuktikan kebenaran teori sebelumnya. Popper menyatakan bahwa suatu proposisi ilmiah dinyatakan benar jika dan hanya jika belum dibuktikan salah. Ini adalah prinsip falsifikasi dalam logika. Sebuah teori ilmiah hanya bisa dinyatakan benar selama belum ada ilmuwan yang membuktikan kebalikannya. Maka, tugas seorang ilmuwan menurut Popper bukanlah untuk membuktikan kebenaran teori sebelumnya, sebaliknya mesti membuktikan kesalahan teori sebelumnya. Popper telah membuat “dialektika” bagi prinsip logika korespondensi dari Bertrand Russel. Popper telah mengembalikan unsur kreativitas dalam logika.

    Begini skema Epistemologi Pemecahan Masalah berdasarkan prinsip falsifikasi dari Karl Raimund Popper:

    Bila:
    P1 = Problem Awal
    TT = Teori Tentatif
    EE = Eliminasi Error (pembuangan kesalahan terutama dengan diskusi kritis)
    P2 = Problem Akhir

    Maka skema Epistemologi Pemecahan Masalah adalah:
    P1 —–> TT ——> EE ——–> P2

    Yang menarik dalam epsitemologi Popper bahwa pengetahuan itu bertumbuh lewat masalah. Masalah awal (P1) yang coba dipecahkan lewat TT (teori tentatif) dan dikritisi lewat tahap EE (eliminasi error) ternyata pada akhirnya menghasilkan masalah baru (P2). Demikian seterusnya sehingga pengetahuan pun terus bertumbuh secara evolusioner, makin dalam dan makin luas, untuk mengantisipasi perubahahan alam dan kondisi sosial kemasyarakatan.

    Mungkin, epistemologi Popper bukanlah epistemologi yang memuaskan bagi yang ingin menemukan satu “theory of everything” bagi semua masalah, bukan sebuah “grand narrative” yang mampu menjawab semua problem dalam narasi-narasi kecil, bukan sebuah ideologi atau keyakinan yang diasumsikan secara revolusioner mampu memecahkan semua masalah manusia. Namun, setidaknya kita sekarang tahu, seperti pengertian kesadaran menurut teori kaos, bahwa pengetahuan manusia memang terbatas tetapi berpeluang untuk menjadi tak terbatas di dalam waktu–sama seperti kesadaran sebagai titik atraktor yang berkembang menjadi tak terhingga dalam ruang fase.

    Upaya para filsuf dalam bidang filsafat epistemologi tersebut adalah sebuah upaya untuk melawan “gravitasi” dari pemikiran dominan sebelumnya, upaya untuk levitasi, untuk naik ke atas dan melawan tarikan ke bawah yang dominan. Levitasi itulah kreativitas. Daya levitasi dalam kreativitas pada pikiran manusia inilah yang menciptakan berbagai inovasi dalam sains, teknologi, dan seni. Kita ingin melihat dunia yang tidak lagi sama, tetapi selalu baru. Kita tidak ingin menjadi jenuh, kita ingin hidup kita selalu baru, karena pada faktanya realitas memang selalu mengalir tanpa henti, dari saat kini ke saat kini. Pencerahan adalah menyadari presensi dan hidup di dalamnya. Suatu hari seorang sahabat bertanya kepada saya, “Kenapa kau masih terus menulis puisi? Apa manfaatnya?” Dan saya menjawabnya sembari memandangi hujan di depan teras rumah saya, “Agar bisa melawan gravitasi, seperti melepas rinai hujan ke angkasa.” Ia ternganga mendengar jawaban saya, sementara saya hanya bisa berdoa di dalam hati: Semoga suatu ketika engkau mampu melihat puisi di dalam dunia sehari-hari, dunia yang tak lagi sama, dunia yang selalu baru.

    —————————————————————–
    Esai @ Ahmad Yulden Erwin, 10 Juni 2015

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here