More

    Epistemologi dan Episteme

    Aristoteles membuat tiga kategori tentang pengetahuan manusia, yaitu: episteme, phronesis, dan techne. Kategorisasi tiga jenis pengetahuan ini dikemukakan oleh Aristoteles sekitar 2400 tahun lalu dalam bukunya “The Nicomachean Ethics”. “Episteme” oleh Aristoteles dikategorikan dalam konteks logika atau pengetahuan intelektual (khususnya geometri atau matematika pada waktu itu). “Techne” oleh Aristoteles dikaitkan dengan seni (tetapi maksudnya waktu itu adalah seni kerajinan tangan yang berguna dalam konteks kehidupan sehari-hari, misalnya seni tembikar)–pada masa kini dikaitkan dengan pengetahuan tentang keterampilan teknis–dan konsep inilah yang kini menjadi akar dari kata “teknologi”. “Phronesis” dimaknai oleh Aristoteles sebagai pengetahuan praktis terkait kehidupan sehari-hari manusia dan hal ini dihubungkan dengan etika. Meski dibagi ke dalam tiga kategori maksud Aristoteles sebenarnya adalah mencari dasar “pertama” bagi pengetahuan manusia di dalam realitas yang nyata ini (bertolak belakang dengan pandang idealistik dari Plato yang menganggap dasar dari filsafat berakar tidak di dunia inderawi tetapi pada realitas suprainderawi). Artinya, ketiga kategori “pengetahuan” yang dibuat oleh Aristoteles itu berakar pada prinsip “realis”, yaitu prinsip korespondensi, A = A, atau, idealitas = realitas, atau, ungkapan (proposisi) = fakta inderawi.

    Pandangan Aristoteles ini pada abad ke-18 dikritik oleh Immanuel Kant, dengan prinsipnya yang menyatakan bahwa prinsip korespondensi itu tidak sepenuhnya benar, dan menyatakan bahwa pengetahuan kita tidak dapat mengenali hakikat dari benda-benda itu sendiri. Apa yang kita kenal tak lain adalah apa yang ada dalam wilayah pengetahuan kita sendiri, pikiran kita sendiri, dan tak pernah sampai pada hakikat benda-benda itu (das ding an sich). Termasuk kategorisasi tiga jenis pengetahuan sebagai “episteme, phronesis, dan techne” oleh Aristoteles itu juga keliru bila bersandar pada prinsip korespondensi semata. Dengan demikian Kant menjadi filsuf kritis pertama dalam epistemologi atau dikenal sebagai “rasio kritis” yang mengkritik dengan tegas tiga jenis pengetahuan manusia yang bersandar pada prinsip korespondensi semata, namun pandangan Kant tidak sama dengan konsep rasio holistik yang suprainderawi dari Hagel atau logos idealistik dari Plato. Kant menulis tiga bahasan yang merupakan “kritik” atas tiga kategorisasi pengetahuan dari Aristoteles di atas, yaitu “Kritik atas Rasio Murni (Episteme)”, “Kritik atas Rasio Praktis (Techne)”, dan “Kritik atas Penilaian” (Phronesis).

    - Advertisement -

    Atas “kritik” Immanuel Kant inilah kelak timbul prinsip “koherensi” yang menjadi landasan bagi logika simbolis dan matematis dari Bertrand Russel. Juga, prinsip pragmatisme yang menjadi akar kebudayaan pop di USA.

    Dan pada pertengahan abad ke-20, Michel Foucault, sang filsuf postmodernisme dari Prancis, dalam bukunya “The Order of Things” meredefinisikan kembali konsep episteme, tidak hanya terkait sebagai pengetahuan rasional (intelektual), tetapi keseluruhan pengetahuan manusia (termasuk seni, etika, laku hidup sehari-hari), mirip dengan pendapat Thomas Kuhn tentang paradigma–hanya saja diperluas oleh Foucault mencakup seluruh sistem pengetahuan masyarakat dalam satu zaman. Karena itulah, menurut Foucault, episteme bukan sekadar kategorisasi bentuk pengetahuan yang dikaitkan dengan dengan teori korespondensi atau koherensi untuk menentukan benar atau salah, baik atau jahat, indah atau buruk, melainkan juga memiliki tendensi dan selalu terkait dalam konteks politik. Episteme dalam pengertian Foucault merupakan “wacana-kuasa” untuk menentukan hal yang dianggap sebagai ilmiah atau tidak ilmiah, kebaikan atau kejahatan, kegilaan atau kewarasan, dalam konteks kepentingan politik penguasa atau masyarakat dominan pada jamannya. Contoh: buku-buku motivasi itu menurut pengertian Foucault dilandasi oleh satu episteme juga–yaitu episteme biner tentang “orang sukses” dan “orang gagal” menurut ukuran kapitalistik misalnya.

    Sementara Richard Rorty, filsuf postmodernisme dari USA yang terpengaruh oleh filsafat pragmatisme, berpendapat bahwa tidak ada prinsip-prinsip yang bersifat universal, dan ia juga menentang usaha masa Aufklarung untuk menemukan dasar rasional bagi pengetahuan manusia seperti pada era klasik di Eropa Barat. Di sini, Rorty mengambil posisi etnosentris radikal. Baginya, pemikiran setiap manusia ditentukan oleh bahasa apa yang dipelajari orang tersebut. Bahasa di sini dipahami sebagai perwujudan budaya tertentu, pandangan dunia tertentu, kepercayaan, dan nilai-nilai tertentu. Akan tetapi, kehadiran seorang manusia di budaya tertentu bersifat kebetulan, sebab tidak ada orang yang dapat memilih di mana ia dilahirkan. Oleh karena itu, Rorty berpendapat tidak ada budaya atau nilai-nilai yang paling benar dan berlaku universal. Budaya atau nilai-nilai apapun hanya membantu pengembangan diri seorang manusia. Jadi apa yang dimaksud oleh Rorty sebagai “bahasa” itu sebenarnya adalah semacam “episteme” (minus epistemologi rasional). Episteme Rorty adalah episteme yang plural dan bukan episteme monistik.

    Memahami dengan baik tentang konsep epistemologi dan sejarah epistemologi dunia itu menjadi penting, seperti pendapat pendiri bangsa ini, Muhammad Hatta dan Tan Malaka, agar bangsa Indonesia mampu berpikir dengan benar dan tidak terjebak oleh sesat pikir atau diombang-ambingkan oleh episteme “kolonialis” yang mau memanfaatkan ketakmampuan berpikir logis bangsa ini untuk kepentingan kuasanya. Jadi, pahami episteme atau epistemologi atau konstruksi logis dari satu hal, maka kita akan bisa melampaui segala kulit-kulitnya, melampaui sesat pikirnya, melampaui banjir informasi yang sengaja diciptakan oleh segelintir penguasa episteme–sebelum akhirnya kita melampaui konsep episteme itu sendiri.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here