JAKARTA, KabarKampus – Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Kemendikbud RI masih terus diperdebatkan oleh akademisi dan para ahli pendidikan. Sebagai pembanding program kemendikbud tersebut Pusat Studi Buya Hamka (PSBH) mengundang para ahli untuk membincang Pendidikan Merdeka Ala Hamka. Acara ini dilaksanakan via Zoom pada hari Selasa, 28 Juli 2020.
Pemantik diskusi, Budi Johan mengatakan, bahwa tema Paradigma Pendidikan Merdeka Belajar Ala Hamka berangkat dari konsep merdeka belajar yang diusung Nadiem Makarim, Mendikbud RI. Konsep Merdeka Belajar ini, ingin dilihat dari perspektif Hamka.
Menurut Wakil Ketua PSBH ini, Buya Hamka adalah orang yang sudah merdeka dalam belajar dan berhasil. Keberhasilan Hamka itu terlihat dari capaian Doktor Honoris Causa dari Universitas Azhar, Mesir yang diperolehnya.
“Buya Hamka sendiri dari awal sudah merdeka belajar” Ujar Budi Johan.
Hadir dalam diskusi ini yaitu Prof. Fasli Jalal, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) 2010-2011, Muhammad Yuanda Zara, P.hD, dan Prof. Samsul Nizar, Pakar Pendidikan Islam sekaligus rektor STAIN Bengkalis.
Merdeka Belajar Sudah Biasa di Kalangan Santri
Dr. Bunyamin, Wakil Rektor IV Universitas Hamka, dalam pengantarnya mengatakan, Merdeka Belajar seperti yang diusung bukan sebagai seuatu yang baru. “Kalau saya melihat sesungguhnya di kalangan santri Merdeka Belajar saya lihat sesuatu hal yang lumrah dan biasa saja”, ujar Bunyamin.
Acara Werbinar dengan tema Paradigma Pendidikan Merdeka Ala Hamka ini dihadiri oleh 100 orang lebih peserta dari berbagai lembaga seperti USU Medan, IAIN Metro, PW Aisyiyah Sumbar, STAIN Bengkalis, MAN 2 Banyumas, SMA Muhammmadiyah Purbalingga, Bukittingi dan Simak Institute (Lembaga Studi Islam dan Kebudayaan).
Sebagai narasumber pertama, Muhammad Yuanda Zara, P.hD membicarakan tentang Buya Hamka dari aspek sejarah hidup Hamka. Menurutnya Hamka punya nama besar di dunia Islam, Melayu terutama di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari upaya Hamka sendiri yang memaksimalkan potensi yang dimilikinya pada saat dia belajar.
Dalam proses pembelajarannya, Hamka sangat akrab dengan tradisi lisan dan kemudian mentranformasikannya menjadi tulisan. Selain itu, Hamka menyadari arti pentingnya teknologi untuk pengembangan pengetahuan. Pada masanya teknologi yang canggih adalah percetakan. Hamka memanfaatkan percetakan ini secara maksimal untuk menyebarluaskan pandangan dan pengetahuannya.
Narasumber kedua adalah Prof. Fasli Jalal. Ia mengemukakan bagaimana proses atau pola belajar Hamka. Menurut Fasli Jalal, Hamka menjalani empat pola belajar yakni, belajar Pra-sekolah, belajar di sekolah formal, belajar otodidak atau mandiri, dan belajar pada tokoh dan pesohor.
Selain proses belajar formal di Padang Panjang, Hamka dalam usia mudanya menghabiskan waktu berjam-jam di pustaka Zinaro, sebuah perpustakaan milik Zainuddin Labay dan Engku Dt. Sinaro. Di pustaka ini Hamka punya kesempatan luas membaca banyak buku, seperti filsafat, sastra dan Agama. Di sinilah Hamka mengenal karya Aristoteles, Plato, Pytagoras, dan keilmuan lainnya.
Kita Bukan Merdeka Belajar tapi Belajar Merdeka
Narasumber ketiga, Prof. Samsul Nizar mengatakan bahwa konsep merdeka belajar yang dicanangkan oleh Kemendikbud tidak begitu terlihat. Kebijakan turunan dari merdeka belajar dari Kemendikbud tidak menjelaskan merdeka belajar. Empat kebijakan turunan, yakni penghapusan ujian nasional, ujian sekolah, penyederhanaan RPP, sistem Zonasi, tidak memperlihatkan konsep merdeka belajar.
“Yang dikatakan oleh Buya Hamka justru lebih jelas oleh kita ketimbang yang ditampilkan, yang dipopulerkan belakangan ini” sambung penulis disertasi pendidikan Islam Hamka ini.
Buya Hamka merdeka belajar tidak hanya dalam tataran konsep tapi juga dalam realita yang ia bangun. Menurut Prof. Nizar, Hamka menggunakan tiga pilar merdeka belajar, yakni, pertama, merdeka dalam aspek kemauan yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya masyarakat yang ia inginkan. Sehingga Hamka keluar dari maenstream masyarakat waktu itu.
Kedua, menggunakan kreatifitas akal sehat untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Suatu kali Hamka mengajak murid-muridnya mengajar tauhid di bawah pohon rindang. Ia mencoba memberi kesadaran ketuhanan melalui alam. Ketiga, adalah merdeka dari beban psikologis yang membuat anak merasa bahwa ada setumpuk nilai atau pelajaran yang harus selesai.
Dengan demikian, apa yang dicanangkan hari ini adalah belajar merdeka bukan merdeka belajar.