More

    Perihal Validasi dan Sanggahan, Bukti dan Hoax

    6/

    Baik di dalam bidang sains, seni, spritualitas, agama, praksis ekonomi atau politik—kesimpulan saya—sebagian besar kita pada faktanya memang “masih bodoh”. Itu bukan ad hominem, tetapi sebuah fakta yang bisa dibuktikan dari cara mayoritas orang di Indonesia berpikir dan berpendapat saat ini. Kenapa bisa begitu? Jawabnya: karena mayoritas kita—seperti pendapat Tan Malaka dalam bukunya yang berjudul Madilog—memang belum bisa berpikir logis. Cara bernalar yang benar tak pernah diajarkan dari tingkat keluarga, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Bahkan, pada fakultas filsafat di Indonesia—menurut pengakuan seorang sarjana filsafat yang jadi teman FB saya—logika yang diajarkan di sini baru sebatas logika klasik Aristoteles. Sementara logika modern seperti logika pragmatisme, logika proposisional, logika predikat, logika intuisionalistik, logika fuzzy, logika modalitas, ucapan preformatif (meski masih bisa diperdebatkan apakah ucapan preformatif adalah logika atau bukan), dan lain-lain tak pernah diajarkan.

    Ironinya, mayoritas kita sekarang sudah merasa bisa bernalar dengan benar, sudah paham logika, sudah melampaui logika. Padahal sebagian besar kita belum mampu membedakan antara kategori umum dengan kategori khusus, belum mampu membedakan antara logical fallacy dengan berpikir logis, belum mampu membedakan antara berargumen dengan ocehan ngawur, serta belum mampu membedakan antara bukti dengan dugaan. Apakah ini sebuah ironi? Jelas! Ilmu logika sudah ada sejak 2300 tahun lalu, ketika Aristoteles merumuskan konsep logika klasik dalam buku “Organon” dan Euclid merumuskan konsep pembuktian logis dalam buku “The Elements”. Namun, sayangnya, kedua buku logika klasik itu sampai sekarang belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Apatah lagi buku-buku logika modern.

    - Advertisement -

    Dalih yang paling umum untuk menutupi ketidakmampuan berpikir logis itu adalah “tidak semua hal bisa dilogikakan”. Sayangnya, sang pendalih itu tidak paham bahwa ucapan “tidak semua hal bisa dilogikakan” tersebut adalah sebuah pernyataan logis yang bisa dibuktikan benar atau salahnya. Bila hendak dirumuskan ke dalam bahasa logika formal, maka pernyataan sang pendalih itu bisa diformulasikan menjadi sebuah proposisi logika predikat yang valid, yaitu: ~ (∀x) Mx ≡ (Ǝx) ~ Mx (dibaca: “tidak semua hal bisa dilogikakan” ekuivalen dengan “ada beberapa hal yang tidak bisa dilogikakan”). Proposisi “tidak semua hal bisa dilogikakan” atau “~ (∀x) Mx” jelas tidak sama artinya dengan “semua hal tidak bisa dilogikakan” atau “(∀x) ~ Mx”. Karena pengertian “tidak semua hal bisa dilogikakan” itu sama artinya dengan proposisi “ada beberapa hal yang tidak bisa dilogikakan” atau “(Ǝx) ~ Mx”.

    Untuk membuktikan propososi logika predikat “~ (∀x) Mx ≡ (Ǝx) ~ Mx” tersebut salah, maka kita cukup mencari satu hal saja yang “dianggap” tidak bisa dilogikakan dan dibuktikan bisa dilogikakan. Jadi, pembuktian proposisi tersebut dalam logika predikat tidak berarti harus mencari semua hal yang tidak bisa dilogikakan dan dibuktikan salah, tetapi cukup mencari satu hal yang dianggap tak bisa dilogikakan dan kemudian dibuktikan bisa dilogikakan. Namun, malangnya, rata-rata para pendalih itu tidak paham bahwa pernyataan “tidak semua hal bisa dilogikakan” tersebut sama sekali tidak membatalkan pernyataan tentang pentingnya berpikir logis dari sejak 2300 tahun lalu sampai saat ini.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here