More

    Perihal Validasi dan Sanggahan, Bukti dan Hoax


    2/


    Seseorang pernah bertanya kepada saya di inbox FB: “Apa hubungan logika dengan puisi? Bukankah puisi itu senyatanya tidak logis?”

    Saya menjawabnya: “Kata siapa puisi tidak logis? Apakah kamu pikir penyair itu orang gila dan puisi setara dengan racauan? Puisi bukan tidak logis, bukan a-logic, tetapi melampaui logika atau beyond logic. Pahamkah?”

    - Advertisement -

    Ia jawab: “Tidak.”

    Saya terangkan lagi: “Jika kamu tidak paham dengan matematika apakah itu berarti kamu sudah melampaui ilmu matematika?”

    Ia jawab: “Tidak. Itu artinya saya memang tidak paham matematika.”

    Saya terangkan lagi: “Nah, itu bedanya antara a-logic dan beyond logic. Seseorang yang beyond logic bukan orang yang tidak paham logika, tetapi pemahamannya memang terbukti telah melampaui logika. Pahami dengan benar kata ‘terbukti’ itu dalam konteks logika. Jika ada orang yang menantang untuk membuktikan pendapatnya dengan logika, maka ia bisa membuktikan pendapatnya itu dengan logis. Tetapi, seorang yang tidak paham logika dan mengklaim pemahamannya sudah melampaui logika, maka ketika ditantang orang lain untuk membuktikannya, ia pasti tak akan bisa membuktikannya. Klaimnya itu hanya klaim kosong untuk menutupi ketidakpahamannya tentang logika.”

    Ia bertanya lagi: “Lalu apa hubungannya dengan puisi?”

    Saya jawab: “Tentu ada. Makna satu kata itu, seperti yang ada di dalam kamus misalnya, dibangun oleh prinsip korespondensi di dalam logika Aristoteles dan atau prinsip koherensi di dalam logika simbolis. Metafora sebagai bagian dari stilistika puisi juga dibangun oleh prinsip kemiripan yang bersandar pada prinsip korespondensi dalam logika Aristoteles. Lalu, soal sintaksis, itu juga punya dasar logika, seperti yang ada dalam prinsip-prinsip logika modern (simbolis, kalkulus predikat, logika intuisionis, logika modalitas, dll.), dengan kata lain, semua itu punya dasar logikanya. Yang jadi soal, sebagian besar orang yang mengklaim dirinya penyair di sini, menganggap logika itu bertentangan dengan puisi oleh sebab ia memang tak paham logika. Itu saja soalnya.”

    Ia bertanya lagi: “Bagaimana dengan soal ambiguitas di dalam puisi?”

    Saya jawab: “Ambiguitas tidak lahir dari kekacauan berpikir atau kesalahan sintaksis, tetapi justru lahir dari sistem pemaknaan. Makna satu kalimat puitis bisa merangkum berbagai makna lainnya, baik yang tersirat maupun tersurat, secara serentak, tetapi musti tepat. Itu sebabnya saya katakan bahwa puisi itu beyond logic, bukan a-logic. Tidak mungkin membuat ketepatan pemaknaan bila a-logic. Pahamkah?”

    Ia menjawab: “Belum.”

    Saya berkata: “Kalau begitu, dilanjutkan lain kali saja. Saya sudah mengantuk.”

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here