More

    Perihal Validasi dan Sanggahan, Bukti dan Hoax

    Foto: https://id.pinterest.com/pin/463800461620753772/


    “(I said to myself), you never can make a lawyer if you do not understand what ‘demonstrate’ means; and I left my situation in Springfield, went home to my father’s house, and stayed there till I could give any proposition in the six books of Euclid at sight. I then found out what ‘demonstrate’ means, and went back to my law studies.”

    –Abraham Lincoln, the 16th President of the United States.


    1/

    Setiap teori ilmiah (baik dalam bidang ilmu alam atau humaniora) selalu tentatif dan terbuka untuk sanggahan. Tentatif artinya sementara, tidak absolut benar, hingga ada teori lain yang menyanggahnya. Sedangkan satu sanggahan adalah satu upaya logis untuk membuktikan bahwa ada hal yang salah dalam satu argumen atau teori. Jika seseorang menyebut Anda pembohong, maka Anda mungkin harus memberi sanggahan dengan membuktikan bahwa Anda mengatakan hal yang sebenarnya. Reductio ad absurdum (reduksi absurditas atau argumen absurd), di dalam logika, adalah satu bentuk sanggahan atau sering disebut “disproof”. Upaya disproof itu dilakukan dengan menunjukkan bahwa konsekuen dari satu silogisme hipotetis tidak masuk akal; atau dengan menunjukkan bahwa negasi dari proposisi atau silogisme tertentu mengarah pada kontradiksi. Kenapa kontradiksi ditolak di dalam logika? Sebab kontradiksi melanggar prinsip non-kotradiksi di dalam logika dan bisa menimbulkan “prinsip ledakan” (dari satu silogisme yang mengandung kontradiksi dapat ditarik kesimpulan apa pun atau absurd). Misalnya: “Saat ini saya sedang ada di rumah dan sedang ada di pasar, maka kesimpulannya buah mangga itu manis.” Itu contoh silogisme absurd akibat dari adanya prinsip ledakan di dalam logika.

    Para “kritikus gadungan” di sini, sungguh sangat menyedihkan, tidak bisa membedakan per definisi dan operasional antara “validasi” dengan “sanggahan”. Mereka seringkali menyatakan bahwa pernyataannnya valid (validasi), dengan membuktikan kesalahan dari satu argumen orang lain (sanggahan). Mereka tidak paham bahwa “proof” dalam validasi bukanlah “disproof” dalam sanggahan. Baik proof maupun disproof memiliki metode pembuktian logisnya sendiri. Kalau mau lebih jelas soal ini, maka baca buku “Sophistikoi Elenchoi” (Sanggahan untuk Argumen Kaum Sofis) dari Aristoteles. Buku ini adalah karya standar keenam dari rangkaian pembahasan tentang logika oleh Aristoteles, yang biasa dikenal sebagai Organon. Buku Sophistikoi Elenchoi terdiri dari 33 bab yang berupaya membuktikan dengan cara disproof bahwa argumen-argumen kaum sofis tidaklah logis, tetapi merupakan satu kesalahan dalam berargumen, dan bahkan cenderung menjadi semacam penipuan.

    - Advertisement -

    Saya ingat sekira dua atau tiga tahun lalu saya sudah membagikan e-book “Organon” karya Aristoteles di akun Facebook saya. Namun, sayangnya, para kritikus gadungan dan pengikutnya tak menganggap hal itu penting, apa lagi membacanya secara sungguh-sungguh sebagai studi. Mereka lebih senang menggunakan logical fallacy dan klaim-klaim kosong dalam berpendapat hingga menghasilkan tulisan-tulisan ngawur. Mereka sama sekali tidak malu menunjukkan kebodohan mereka di depan publik dan menyangka racauan tertulis yang mereka klaim sebagai kritik itu sudah valid, sudah benar. Mereka bahkan tak paham apa yang dimaksud dengan validitas dalam berargumen. Nampaknya, urat malu mereka memang sudah putus dan harga diri mereka telah dijual dengan sangat murah. Saya khawatir mereka sedang menuju ketidakwarasan.

    “Organon” karya Aristoteles dan “The Elements” karya Euclid sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau belum? Jika belum, betapa menyedihkan dunia literasi di Indonesia sehingga karya klasik (tentang cara berpikir manusia) yang ditulis 2300 tahun lalu di Yunani hingga saat ini belum juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dua karya klasik itu telah diterjemahkan dalam berbagai kebudayaan dunia yang maju, seperti kebudayaan Romawi, kebudayaan Islam pada abad ke-9, kebudayaan Eropa pada abad pertengahan, kebudayaan pada Era Restorasi Meiji di Jepang, hingga kebudayaan modern dunia pada abad ke-20. Namun, sampai saat ini saya belum juga menemukan terjemahan kedua buku klasik itu secara utuh ke dalam bahasa Indonesia, bahkan hingga abad ke-21. Wajar, bila hingga saat ini “sesat pikir” bisa begitu marak di Indonesia. Pembodohan adalah cara paling cepat untuk berkuasa di antara para budak.

    Nah, pada awal esai ini sudah saya tunjukkan bagaimana Abraham Lincoln, presiden USA paling lagendaris, presiden yang membebaskan masyarakat Amerika Serikat dari perbudakan, justru telah membaca buku The Elements karya Euclid sejak ia masih muda. Ia amat mengagumi buku ini dan terus membacanya ketika telah menjadi presiden ke-16 USA untuk melatih kemampuannya berpikir logis. Dalam buku “The Elements” ia menemukan cara bagaimana “membuktikan” sebuah argumen logis. Buku ini adalah buku tentang geometri klasik sebenarnya, namun 441 dalil teoritiknya disusun hanya berdasarkan 5 postulat dan 5 aksioma (common notions kalau dalam istilah di buku The Elements), menurut saya, sungguh “proofs” (pembuktian logis) yang artistik, “simetri” di dalam argumennya mirip sebuah puisi epik klasik.

    Pemahaman soal simetri dalam buku The Element ini telah memengaruhi juga dunia seni rupa, musik, arsitektur, sastra, dll. Di dalam seni rupa contohnya, Paul Cezanne, pelopor seni lukis post-impresionis yang disebut oleh Pablo Picasso sebagai Bapak Seni Rupa Modern Dunia, bertahun-tahun membaca dan menekuni “The Elements” hingga akhirnya Paul Cezanne berhasil merumuskan teknik “dua perspektif”-nya yang terkenal itu. Teknik dua perspektif inilah yang kemudian merevolusi paradigma estetika para pelukis modern dunia seperti Pablo Picasso, Henri Matisse, Modigliani, Vincent van Gogh, dll.

    Buku Organon (dalam bahasa Yunani berarti “cara” atau “alat”) adalah kumpulan enam tulisan karya Aristoteles tentang logika klasik. Apa yang kita kenal sekarang sebagai logika klasik adalah bersumber dari buku ini. Pada bagian ke-6 Aristoteles juga membahasa bagaimana mengatasi soal logical fallacy dalam berpikir. Buku ini menjadi dasar bagi buku selanjutnya karya Aristoteles yaitu “Rhetoric” dan “Poetic”. Jadi, kalau sampai sekarang buku klasik ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, rasa saya, sungguh amat menyedihkan. Sebagian besar kita belum tahu apa sebenarnya berpikir itu, apa aturan berpikir, dan bagaimana menghindari sesat pikir. Padahal ini sudah dirumuskan sejak 2300 tahun lalu dan telah memengaruhi berbagai peradaban dan kebudayaan yang maju di dunia dari zaman ke zaman.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here