Ilustrasi / (Shutterstock)
YOGYAKARTA, KabarKampus – Fadjroel Rachman, Juru Bicara Presiden menyebut aktor digital seperti influencer merupakan aktor penting dalam komunikasi publik di era demoktasi digital. Hal itu, karena para influencer dapat menjadi jembatan komunikasi dalam menyampaikan kebijakan pemerintah kepada publik.
Namun bagi Nyarwi Ahmad, Ph.D, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), peran komunikasi publik dalam kontek demokrasi seharusnya dijalankan oleh pejabat publik. Karena pejabat publiklah yang paling mengerti tentang kebijakan yang dibuat dan memiliki tanggung jawab untuk membangun dialog dengan masyarakat.
“Semestinya para pejabat publik dan pemimpin institusi politiklah yang menjadi influencer dalam mengomunikasikan kebijakan publik yang diformulasikan dan hendak diimplementasikannya, bukan para influencer,” ungkapnya seperti disampaikan humas UGM, Rabu, (02/09/2020)
Menurutnya, jika politisi bergantung pada influencer, artinya tidak ada kemajuan dalam demokrasi. Kemajuan tersebut salah satu contohnya, ada interaksi dan ada interaksi yang lebih terbuka.
Sehingga menurut Nyarwi, pelibatan influencer untuk mengomunikasikan suatu kebijakan kepada masyarakat dinilai kurang efektif karena tokoh-tokoh ini belum tentu memahami kebijakan yang dikomunikasikan secara menyeluruh. Selain itu dapat menimbulkan anggapan dari masyarakat pejabat publik tidak mampu membangun komunikasi kepada publik.
“Jangan sampai para pejabat publik dan pimpinan organisasi politik tersebut dianggap tidak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara langsung ke publik,” imbuhnya.
Selain itu, kerja influencer, tidak ada kode etik atau standar yang mengatur, serta tidak ada asosiasi yang dapat melakukan evaluasi terhadap aktivitas mereka. Lain halnya dengan pejabat publik yang terikat dengan prinsip-prinsip moral, kesantunan, basis ideologi, serta janji politik.
Sehingga, bila influencer dianggap sebagai ujung tombak demokrasi digital, maka dapat memunculkan risiko penyebaran disinformasi atau hoaks dan pada akhirnya berpotensi merusak citra lembaga negara. Apalagi influencer belum menjadi suatu profesi komunikasi publik.
“Jangan mempertaruhkan citra pemerintah pada influencer. Jadi baik siapa mereka, apa kompetensinya, bagaimana etika dan standar komunikasinya belum jelas,” imbuh Nyarwi.
Istilah influencer kerap diasosiasikan dengan individu atau kelompok yang mempunyai banyak pengikut dan apa yang disampaikan menjadi referensi bagi banyak orang. Meski demikian di kalangan akademisi dan praktisi sendiri belum ada konsensus terhadap definisi influencer.[]