JAKARTA, KabarKampus – Layanan pesan antar makanan daring di Indonesia diperkirakan tumbuh 11,5 persen setiap tahun dari 2020 hingga 2024. Jumlah tersebut bakal terus meningkat di masa pandemi, karena konsumen lebih nyaman berada belanja dari rumah masing-masing.
Sebelumnya pada tahun 2018, penjualan makanan secara online merupakan transaksi e-commerce terbesar dari transasksi e-commerce lainnya. Kontribusinya mencapai 27,85 persen.
Felippa Ann Amanta, Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan, sangat penting untuk memastikan keamanan pangan pada makanan yang dipesan lewat layanan pesan antar daring. Untuk itu pemesanan makanan lewat layanan pesan antar daring perlu didukung oleh regulasi yang menjamin keamanan pangan.
Menurutnya, regulasi itu, selain untuk menumbuhkan dan menjaga kepercayaan konsumen, juga mendatangkan peluang ekonomi untuk mereka yang terlibat di dalamnya. Sehingga sektor e-commerce di Indonesia makin tumbuh.
“Saat ini belum ada regulasi jelas terkait traceability atau keterlacakan distribusi pangan dari petani ke konsumen (farm to fork) yang dapat memetakan risiko dan mengatasi masalah keamanan pangan jika terjadi,” ujar Felippa, Kamis, (03/09/2020).
Untuk itu, Felippa memberikan rekomendasi yang dapat diimplementasikan untuk memastikan keamanan pangan untuk konsumen. Termasuk pada makanan yang dipesan lewat layanan pesan antar makanan online.
Pertama, adalah perlu menyederhanakan proses sertifikasi pra pasar untuk industri rumah tangga. Penyederhanaan proses ini untuk mendorong industri rumah tangga mendaftarkan bisnisnya secara legal. Kalau mereka sudah terdaftar secara legal, pengawasan dan penindakan atas pelanggaran keamanan pangan akan lebih mudah dilakukan.
Kedua adalah memberlakukan peraturan bersama yang dituangkan dalam bentuk regulasi keamanan pangan. Regulasi ini disusun dengan melibatkan pemerintah dan pihak swasta dengan mengambil pendekatan berbasis risiko untuk pengelolaan keamanan pangan.
“Di lain sisi, pengaturan mandiri sukarela yang ‘murni’ tidak cukup di Indonesia, terutama ketika tingkat kesadaran standar keamanan pangan kurang. Pihak swasta harus mampu untuk mengkomunikasikan secara efektif kepada pemerintah agar mengadopsi dan mengawasi implementasi peraturan keamanan pangan di seluruh rantai pasok,” tandas Felippa.
Kemudian yang ketiga adalah mempertimbangkan pemberian insentif kepada swasta untuk berinovasi dalam menemukan material pengganti kantong plastik untuk pengantaran makanan olahan. Seiring dengan peraturan daerah pengurangan kantong plastik di pusat perbelanjaan, toko, swalayan, dan pasar rakyat atau pasar tradisional, pemerintah perlu mempertimbangkan kesiapan penjual makanan maupun pengantar makanan pesan antar daring untuk beradaptasi.
Upaya pihak swasta untuk menyediakan tas kedap udara yang dapat digunakan kembali untuk supir/kurir pengantaran makanan daring masih terbatas. Pemerintah pusat dan daerah harus memberikan insentif kepada pihak swasta, termasuk UMKM, untuk mendorong kemasan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
“Pemerintah pusat melalui Kementerian Riset dan Teknologi harus bekerja dengan pihak swasta dan organisasi masyarakat (termasuk akademisi, lembaga riset, dan NGO) untuk mendorong upaya inovatif untuk menemukan alternatif jangka panjang sebagai pengganti plastik melalui penelitian dan pengembangan. Terakhir, insentif fiskal, seperti pengampunan pajak atau nilai atau subsidi pajak minimum, harus diberikan kepada perusahaan yang mengembangkan alternatif ini,” ungkap Felippa.[]