JAKARTA, KabarKampus – Menjelang mengesahan RUU Cipta Kerja Omnibus Law, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengeluarkan surat telegram terkait penanganan demonstrasi. Surat keluar dengan Nomor : STR/645/X/PAM.3.2./2020 pada tanggal 2 Oktober 2020.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBH) menilai banyak kejanggalan dalam surat tersebut. Isi yang disampaikan bertolak berlakang dengan fungsi dan tugas Polri sebagai alat negara.
Asfinawati, Direktur YLBHI menjelaskan, dalam telegram tersebut, pada bagian pertama Kapolri memerintahkan dilaksanakan “giat fungsi intelijen dan deteksi dini serta deteksi aksi terhadap elemen buruh dan masyarakat guna mencegah terjadinya aksi unras dan mogok kerja yang dapat menimbulkan aksi anarkis dan konflik sosial”.
“Masalah dalam bagian adalah Polri tidak punya hak mencegak unjuk rasa. Bahkan sebaliknya menurut Pasal 13 UU 9/1998 “dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum,” terang Asfina dalam siaran persnya, Senin, (05/10/2020).
Kemudian, pada bagian tiga Kapolri memerintahkan “cegah, redam dan alihkan aksi” unjuk rasa yang dilakukan kelompok buruh maupun elemen aksi aliansinya guna mencegah penyebaran covid-19. Upaya ini ungkapnya, diskriminatif karena menyasar peserta aksi.
“Padahal sebelum ini telah banyak keramaian yang bahkan tidak menaati protokol kesehatan seperti di perusahaan, pusat perbelanjaan bahkan bandara. Sebaliknya dua aksi tolak omnibus law sebelumnya terbukti tidak menimbulkan cluster baru covid-19,” terang Asfina.
Selain itu, sebelum aksi penolakan RUU Omnibus Law ini juga telah ada beberapa aksi dengan tema lain dan tidak ada perlakuan seperti ini. Sehinga, menurutnya, sulit dibantah surat telegram ini muncul karena RUU Omnibus Law adalah inisiatif Pemerintah, dan Presiden sejak awal bahkan menginginkan RUU ini selesai dalam waktu 100 hari.
Pada bagian lima Kapolri memerintahkan “lakukan cyber patrol pada medsos dan manajemen media untuk bangun opini publik” yang tidak setuju dengan aksi unras di tengah pandemi covid-19. Kemudian pada poin enam Kapolri memerintahkan “lakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah”.
“Poin ini merupakan penyalahgunaan wewenang. Seperti pada poin pertama, Polisi tidak punya swewenang mencegah aksi. Selain itu menurut pasal 30 UUD 1945 & amandemennya tugas Kepolisian menjaga keamanan dan ketertiban, bukan melakukan kampanye terhadap pemerintah,” urainya.
Menurut Asfina, “mendiskreditkan” itu adalah tafsiran subjektif yang berpotensi menghambat kritik publik kepada Pemerintah. Kritik publik dalam demokrasi justru bermanfaat bagi kehidupan bernegara karena menjadi kontrol kekuasaan.
Selanjutnya, pada bagian ketuju Kapolri memerintahkan “secara tegas tidak memberikan izin kegiatan baik unjuk rasa maupun izin keramaian lainnya”. Kemudian pada bagian kedelapan Kapolri memerintahkan “upaya harus dilakukan di hulu (titik awal sebelum kumpul) dan lakukan pengamanan (PAM) terbuka dan tertutup”.
“Hal ini diskriminatif dan melanggar amandemen UUD 1945,” tegasnya.
Pada bagian 10 Kapolri memerintahkan melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum dengan menggunakan UU Kekarantinaan kesehatan. Padahal berbagai laporan menunjukkan adanya cluster perkantoran tetapi Polri tidak pernah menggunakan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan untuk pengusaha ataupun pejabat yang memerintahkan pekerja/ pegawai tetap bekerja.
Untuk itu, YLBHI mengingatkan Kapolri bahwa dalam UUD 1945 & amandemennya Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah “alat negara” dan bukan alat Pemerintah. Mereka juga mendesak Presiden sebagai pimpinan langsung Kapolri untuk tidak mengganggu netralitas serta indenpendensi yang seharusnya diterapkan Polri.
“Meminta Presiden dan Kapolri untuk menghormati UUD 1945 & amandemennya serta UU 9/1998 yang menjamin hak setiap orang untuk menyampaikan aspirasinya termasuk pendapat di muka umum,” pinta Asfina.[]
Jakarta, 05 Oktober 2020
Hormat Kami,
Pengurus YLBHI
Cp :
Muhamad Isnur