More

    Para Dokter Minta Pemerintah Tidak Tergesa-gasa Datangkan Vaksin Covid-19

    JAKARTA, KabarKampus – Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dan Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia meminta pemerintah untuk tidak terburu-buru dalam mendatangkan vaksin-Covid-19. Karena menurut mereka vaksin yang didatangkan ke Indonesia harus diuji klinis sebelum disuntukkan ke masyarakat.

    Dalam surat resmi mengenai rekomendasi PAPDI mengenai vaksin Covid-19, mereka mengaku mendukung dan berterima kasih kepada pemerintah dalam menyedikan vaksin Covid-19 untuk masyarakat. Namun vaksin yang akan digunakan harus sudah terbukti efektif, aman, dan imunogenisitasnya telah melalui uji klinis yang sesuai dengan tahapan pengembangan vaksin baru.

    “Untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan waktu yang cukup, sehingga tidak perlu tergesa-gesa sambil terus mengingatkan kepada masyarakat untuk tetap menjalankan protokol kesehatan,” tulis dr Sally A. Nasution, ketua Umum PAPDI dalam surat yang ditulis tanggal 20 Oktober 2020 tersebut.

    - Advertisement -

    Begitu juga dnegan PDDI yang menghimbau agar semua jenis vaksin yang datang ke Indonesia harus melewati uji klinis pada populasi Indonesia sebelum disuntikkan kepad arang Indonesia. Kemudian mereka menyarankan, sebelum digunakan agar mendapat persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

    “PDPI menilai Kementrian Kesehatan Perlu untuk menyampaikan terkait syarat-syarat indikasi penerima vaksin yang resmi dari pemerintah,” ungkap dr Agus Dwi Susanto, Ketua Umum PDPI.

    Kemudian PDPI memohon kepada PD IDI agar membuat pedoman atau panduan pemeberian vaksin Covid-19. Sehingga dapat dijadikan pengangan dalam pemberian vaksin Covid-19.

    Rencananya pemerintah bakal mendatangkan vaksin covid-19 pada bulan November 2020. Vaksi tersebut bakal disuntikkan kepada masyarakat pada bulan Desember 2020.

    Para Dokter Galang Petisi

    Tak sampai situ saja, para dokter juga menggalang petisi untuk menolak vaksin yang belum diuji klinis atau setengah jadi. Petisi yang digagas oleh dr. Yohanes Wibowo, MSc, dokter dan peneliti bidang kesehatan ini menilai keputusan mendatangkan vaksin secara besar-besaran ke Indonesia pada bulan November atau Desember tersebut sebagai keputusan yang terburu-buru.

    Menurut dr. Yohanes, seluruh vaksin dari Cina (Sinovac, G42/Sinopharm, dan CanSino Biologics) belum ada yang lolos uji klinis fase III. Sehingga sehingga belum ada lembaga otoritas seperti Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang merekomendasikan penggunaan vaksin-vaksin tersebut.

    Kemudian dalih Emergency Use Authorization (EUA) berpotensi masalah dan tidak boleh dijadikan legitimasi mutlak. Apalagi EUA yang dikeluarkan oleh negara lain tanpa ada analisis data dan pertimbangan yang matang. Contohnya di Amerika Serikat saat EUA untuk obat Hidroksiklorokuin yang dipromosikan oleh Presiden Trump tiba-tiba diterbitkan oleh Food and Drug Administration (FDA) tanpa ada penjelasan ilmiah yang logis.

    “Akhirnya bukti riset terbaru (solidarity trial)menunjukkan obat ini tidak bermanfaat,” terang dr Yohanes dalam petisinya di laman change.org.

    Sehingga menurutnya, Vaksin “setengah jadi” ini berpotensi menimbulkan masalah baru jika timbul efek yang tidak diinginkan. Apalagi tenaga medis menjadi salah satu prioritas pemberian vaksin. Padahal sektor kesehatan sudah terpukul hebat saat pandemi ini.

    Untuk itu mereka menolak dengan keras keputusan pemberian vaksin “setengah jadi” ini jika tidak disertai transparansi data yang jelas. Kemudian mendesak pemerintah untu transparansi data yang dapat diakses oleh peneliti independen dan masyarakat terhadap hasil riset vaksin-vaksin tersebut karena sampai saat ini tidak ada publikasi riset vaksin-vaksin tersebut bahkan hasil sementara sekalipun

    Kemudian Jikalau sampai cara untuk menerbitkan EUA harus ditempuh, maka lembaga yang menerbitkannya, dalam hal ini BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) harus dijamin independensinya. Lalu, EUA perlu disertai transparansi data dan alasan ilmiah yang jelas, agar data yang dihasilkan dari uji klinik fase III dapat ditelaah bersama oleh peneliti independen lainnya.

    “Penolakan keras terhadap penggunaan vaksin sebagai jalan pintas untuk menutupi kegagalan Pemerintah dalam penanganan berbasis kesehatan masyarakat (3T dan 3M) selama ini,” ungkap dr. Yohanes.

    Petisi dr. Yohanes ini didukung juga oleh dr. Pandu Riono, MPH, PhD, dr. Rizal Nurohman, dan dr. Gregorius Yoga Panji Asmara, S.H. M.H., C.L.A. Hingga saat ini petisi telah mendapat 1800 dukungan.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here